Breaking News
(Foto : Mojok)

2020, The Winter is Coming (2)

BPJS adalah BLBI yang Dilegalisasi

Oleh: Tifauzia Tyassuma (Dokter, Peneliti, Penulis)

(Foto : Mojok)

 

Bagi yang langganan Netflix, mungkin suka sekali dengan film Money Heist (La Casa de Papel) seperti saya, film jenius bikinan Spanyol yang luarbiasa bagus dan presisi.

Menceritakan Sang Profesor dan kawanannya, dijuluki demikian karena saking geniusnya, Profesor yang menjadi Ketua Perampok, yang merampok Bank Nasional di depan mata semua orang, rakyat, polisi, juga politisi.

Saat itu disebutkan bahwa negara Spanyol terlibat dalam sejumlah skandal korupsi, baik di pemerintahan, parlemen, maupun polisi sendiri. Sehingga di mata masyarakat, mereka-mereka ini tak ubahnya seperti perampok yang merampok negaranya sendiri. Dari sinilah alur cerita mulai dibangun, Sang Perampok –Profesor dan kawanannya– bagaikan cerita Robin Hood dari Loxley menjadi Idola baru masyarakat. Mereka merampok, selain sebagian harta rampokannya di bagi-bagikan ke rakyat, juga menjadi simbol perlawanan rakyat atas korupsi yang di lakukan para politis, parlemen dan polisi.

Ingat peristiwa tahun 2008, BLBI, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dengan kasus mahkotanya adalah Bank Century, menjadi skandal terbesar Indonesia secara ekonomi, hukum, dan politik. Membuat banyak nama besar, termasuk menteri, politisi dan bankir mendekam ke dalam bui.

Pemerintah waktu itu, di bawah SBY, dengan Menteri Keuangan Ibu SMI waktu itu, melakukan kebijakan yang sangat kontroversial, melakukan bail out (pemberian dana talangan) untuk menolong bangkrutnya beberapa bank, termasuk Bank Century sebesar Rp 6,7 Triliun, yang akhirnya menjadi objek jarahan sejumlah pihak.

Simulasi permainan catur yang sedang berlangsung di kepala saya, menghadirkan suatu pola yang mengejutkan, antara bail out (pemberian dana talangan atas kebangkrutan) yang terus-menerus dilakukan Pemerintah cq Menteri Keuangan terhadap BPJS, dengan bail out BLBI terhadap Bank Century.

Kali ini BPJS, tidak main-main, keterlibatan dananya besar sekali jumlahnya, kurang lebih bila tak salah hitung, 500 Triliun, terdiri atas (1) saldo dana gabungan Askes, Jamkesmas, Jamkesda, sebagai Modal Awal pembentukan BPJS (yang ternyata entah kemana), (2) Dana Iuran BPJS Rakyat selama 4 tahun (3) Dana talangan dari Pemerintah atas defisit selama 5 tahun BPJS berjalan.

Walaupun begitu besar dana yang dimiliki dan telah dikucurkan, BPJS melaporkan terus-menerus mengalami kerugian setiap tahunnya. Seakan uang masuk dari berbagai sumber seperti air yang ditumpahkan ke dalam ember yang retak dan bocor.

Sementara dari tahun ke tahun, klaim yang tak terbayarkan makin lama makin besar. Jasa Medis Dokter dan Petugas Kesehatan lainnya, 7-8 bulan tak dibayarkan, Rumah Sakit kecil satu demi satu gulung tikar, akibat hutang BPJS yang makin lama makin membengkak.

Sementara itu yang mengherankan, selama 5 tahun ini pula, tak ada satupun Direksi yang di-lay off. Semua masih menduduki kursi masing-masing dari sejak mula. Dalam kerugian dan terancam kebangkrutan, gaji ratusan juta masih diterima, ketika difoto masih tersenyum dengan wajah ceria. Entah apa yang merasukimu, wahai Direksi BPJS?

Ataukah Direksi BPJS adalah pemegang kunci kotak pandora atas apa sesungguhnya yang terjadi dan bagaimana lalulintas aliran uang beredar kesana kemari?

Sementara dengan satu indikator, jumlah Rumah Sakit yang melonjak 2 kali lipat, dari 1400-an di tahun 2014 menjadi 3000-an di tahun 2019, mengindikasikan bahwa (1) jumlah pasien bertambah dua kali lipat bukan berkurang (2) Rumah Sakit adalah bisnis menguntungkan bagi orang-orang yang jeli. (3) Berangsur-angsur masuklah pendanaan PMA dengan group-group Rumah Sakit yang besar. Artinya kebijakan adanya BPJS tidak membuat jumlah penyakit makin berkurang, justru orang sakit makin bertambah secara cepat.

Saat ini dimunculkan semacam ikon baru. Yang akan menjadi ikon antitesis terhadap “korban BPJS”. Ikon ini saya sebut saja Dart Vader, adalah Seorang Pebisnis yang kebetulan adalah Dokter, yang sejak 2004 melihat celah bisnis dengan keuntungan luarbiasa besar, dengan menjajakan suatu alat diagnostik murah menjadi “alat terapi” yang mahal, biaya rata-rata pengobatan sebesar Rp 50-60 juta, menggunakan alat yang disebut DSA dengan cairan kimiawi bernama Heparin, suatu prosedur yang sebetulnya rutin dikerjakan oleh Dokter Bedah Saraf terhadap pasien stroke perdarahan akut.

Namun “Metode Pengobatan” itu dilakukan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Pokoknya asal kepala manusia masih ada otaknya, dan sanggup membayar, maka jadilah dilakukan “terapi cuci otak”, apakah dia stroke, mantan stroke, vertigo, pikun, suka pusing, hipertensi, penyumbatan akibat iskemia, bahkan autis atau sekedar lambat belajar. Apapun kondisi anda, semburan Heparinlah obatnya.

Bisnis ini, dengan testimoni Para Jendral dan Mantan Pejabat, dijalankan dengan mulus, dengan klaim 40.000 pasien telah menjalani terapi cuci otak dengan heparin (obat yang sebetulnya harganya murah). kalau dirata-rata sekali pengobatan Rp 50 juta, maka omzet dari Pebisnis Dokter ini tak kurang dari Rp 10 Triliun dalam 14 tahun praktek pengobatan alternatif tersebut.

Dart Vader ini adalah seorang Dokter yang bermasalah dalam etika profesi, bermasalah dengan organisasi profesi, mendapatkan sanksi tertinggi dari institusi tempat satu-satunya profesi Dokter menginduk, yaitu Pencabutan Izin Praktek.

TEMPO bersama Tirto.co melakukan serangkaian investigasi dan menemukan bukti-bukti yang sahih terkait dengan kejanggalan praktek pengobatan alternatif tersebut. MKEK IDI telah mencium praktek ilegal tersebut, tetapi justru MKEK mendapat hujatan dari fansboy dan fansgirl dari Pak Menteri baru ini. IDI Jakarta Pusat telah mencabut izin praktek Dokter, tetapi pak Dokter yang Jendral ini santuy saja tak peduli dengan hal tersebut. Dengan asik tetap melakukan bisnis alat diagnosterapi, yang dijalankan dengan menabrak rambu-rambu kompetensi dokter.

Apakah Pebisnis Dokter itu melakukan golden shake hand dengan Penguasa sehingga mendapat jatah jabatan Menteri? dan apa kaitannya dengan BPJS, seperti sumbangan dana kampanye misalnya?

Walaupun variabel-variabel yang menjadi kandidat novum atas praktek legalisasi bail out terhadap BPJS sama dan sebangun dengan praktek bail out Bank Century, saya belum bisa menarik simpulan yang final dan evidence-based.

Hal yang mengusik pikiran saya adalah, kesalahan atas defisit BPJS dilemparkan oleh Dart Vader ini ke satu-satunya kambing hitam: Para Dokter. Mulai dari Dokter kandungan, Dokter Mata, hingga Dokter Jantung.

Jadi Dokter, dalam era BPJS ini mengalami double victim. Menjadi Kuli Kerja Rodi yang tidak dibayar sampai berbulan-bulan, bahkan sering nomboki pasien, sampai dijadikan tersangka atas defisit yang terjadi. Saat ini melalui berbagai buzzer, sedang diarahkan bahwa kesalahan yang mengakibatkan kebangkrutan BPJS dilakukan oleh dokter-dokter yang melakukan fraud dan maltreatment. Yang menuduh adalah dokter yang melakukan pelanggaran etika kedokteran berat, dan membisniskan ketrampilannya dengan harga mahal selama belasan tahun.

Yang saya herankan adalah: IDI yang diam, Kolegium POGI, PERKI, PERDAMI, PERDOSI yang diam seribu bahasa, dan dokter-dokter yang dituduh juga diam begitu santunnya.

Apakah karena memang terjadi perampokan atas BPJS yang dilakukan semua pihak secara terselubung maupun terang-terangan, dengan blow up besar-besaran bahwa defisit yang terjadi memilik dua sebab: rakyat ngemplang iuran dan dokter-dokter mata duitan

Sementara perampok yang sesungguhnya, seperti Profesor dan kawan-kawannya di film Money Heits, sedang asyik berlibur di kepulauan tropis, menikmati hasil rampokannya dengan senyum yang manis.

Tak akan lama lagi BPJS akan bangkrut atau dibangkrutkan. Kapan? Nanti mungkin, sebelum atau setelah 2024.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur