Breaking News
BJ. Habibie (Foto : Solopos)

Selamat Jalan Pak Habibie

Oleh: Anif Punto Utomo

BJ. Habibie (Foto : Solopos)

 

  • Kurs rupah menguat dari Rp 16.000 menjadi Rp 6.500 per dolar AS
  • Suku bunga SBI turun dari 70 persen menjadi 13 persen
  • Cadangan devisa naik dari 19 miliar dolar menjadi 26,9 miliar dolar AS
  • Inflasi turun drastis dari 65 persen menjadi 0 persen
  • Pertumbuhan ekonomi naik dari -13,3 menjadi 0,2 persen
  • Jumlah penduduk miskin turun dari 32 persen menjadi 25 persen
  • Menyelesaikan 67 UU dan 1 Perpu
  • Penyelenggaraan Pemilu yang Jujur dan Adil
  • Pembebasan tahanan politik
  • Pers bebas tidak ada pembredelan

Itu semua tercapai dalam waktu 17 bulan!

Begitulah poin-poin penting yang disampaikan Presiden BJ Habibie dalam pidato pertanggungjawaban pada Sidang Umum MPR RI tanggal 14 Oktober 1999. Pidato yang dimulai pukul 20.30 itu diucapkan dengan lantang oleh Habibie, sementara di luar gedung DPR ada ribuan massa ingin memasuki ruang sidang.

Dengan pencapaian seperti itu, logika awam mengatakan tidak mungkin pertanggungawaban ditolak. Tetapi ketika yang bicara adalah logika politik, penilaian menjadi lain. Politik tidak mengenal benar atau salah, tetapi menang atau kalah. Politik tidak bicara kawan atau lawan, tetapi kepentingan. Untuk kepentingan itulah prestasi tidak menjadi pertimbangan. Tepat pukul 00.35 dini hari, 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan,’’Dengan demikian pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak!’’

***

Adi Sasono, mantan Menteri Koperasi (Foto : Istimewa)

 

Petikan cerita itu saya ambil dari buku Biografi Adi Sasono yang saya tulis pada 2013 lalu. Mas Adi (begitu biasa saya memanggil Adi Sasono) ingin agar ada satu bab yang menuliskan kekagumannya terhadap sosok Habibie. Bab khusus berjudul ‘Turun Bersama Habibie’ itu menceritakan tentang dialog Habibie dan Adi Sasono dalam perjalanan dari Patra Kuningan ke Masjid Istiqlal untuk sholat subuh, sekitar tiga jam setelah pertanggungjawaban ditolak.

‘’Kita harus memberi teladan moral pada generasi mendatang, memberi contoh bagaimana berbangsa yang baik. Tidak boleh mengejar kekuasaan dengan segala cara. Kita sudah bekerja keras selama satu tahun lebih dan memberikan hasil yang optimal, tetapi ternyata tidak diterima. Secara moral saya tidak bisa maju lagi mencalonkan sebagai Presiden. Monggo silakan MPR mencari Presiden baru yang lebih baik,’’ kata Habibie.

Tidak habis kekaguman Adi Sasono tentang betapa ikhlasnya Habibie dalam berpolitik, sehingga ketika sebagian orang-orang disekitarnya menelikung demi memenuhi syahwat politik mereka, Habibie sama sekali tidak kecewa. ‘’Being president is not everything for me pak Adi,’’ kata Habibie. Kekuasaan bukan segalanya. Politik kenegarawanan, itulah yang dibawa Habibie, sehingga ketika sudah tidak lagi menjadi presiden pun Habibie tetap memberikan yang terbaik buat rakyat demi kemajuan bangsa.

***

Habibie dan Adi Sasono bagi saya adalah salah dua dari orang-orang hebat di negeri ini. Keduanya pernah membesarkan ICMI, Habibie sebagai ketua umum, Adi sebagai sekretaris umum. Keduanya bekerja bersama membangun Indonesia, Habibie menjadi Presiden dan Adi sebagai Menteri Koperasi. Habibie membangun dignity bangsa, Adi membangun dignity ekonomi rakyat. Keduanya bersahabat, meski tak jarang berdebat. Habibie wafat 8 September 2019 menyusul Adi Sasono yang lebih dulu wafat pada 13 Agustus 2016.

***

Pemakakaman BJ Habibie di TMP Kalibata, Kamis 12 September 2019 (Foto : Anif Punto Utomo)

 

Pada 16 September 2006, Habibie meluncurkan buku ‘Detik-Detik yang Menentukan’. Saat itu saya diajak oleh pak Makmur Makka, mantan pemimpin redaksi Republika untuk bergabung di acara tersebut. Beruntung saya menjadi bagian dari sedikit orang yang hadir dalam peluncuran tersebut. Dan saya pun mendapatkan buku dengan tanda tangan asli Habibie.

Pertemuan sebelumnya adalah ketika Habibie berkunjung ke Republika, saat awal-awal Republika terbit. Republika, koran pengimbang opini umat yang lahir 4 Januari 1993 tidak akan terbit jika tidak ada Habibie. Beruntung juga saya ikut merintis Republika sehingga cukup tahu betapa sulitnya saat itu tahun 1992 memperoleh izin untuk menerbitkan koran.

Berikutnya, pertemuan dengan Habibie adalah ketika kami dari Republika mewawancarai Habibie di kediamannya. Waktu itu awal 1998, Habibie sudah menjadi Wakil Presiden. Sebetulnya pertemuan itu bukan wawancara sebagaimana media mewawancarai Habibie, tetapi lebih ke pertemuan informal karena kedekatan Habibie dengan Republika.

Tak berapa lama setelah itu, Habibie menjadi Presiden. Itulah saatnya Republika membalas budi terhadap Habibie. Ketika semua media menyerang Habibie, Republika menetralkan dan sekaligus melawan pembentukan opini yang menyudutkan Habibie. Setiap hari media massa mengutuki tanpa pernah memberi ruang berargumentasi secara positif. Ada yang karena perbedaan ideologi, tapi sebagian besar ‘sok’ populis, berlagak membela rakyat.

Makian, cacian, hinaan menjadi makanan sehari-hari bagi Habibie. Tetapi Habibie tidak terpengaruh. Bahkan makian, cacian, dan hinaan itu ‘diolah’ menjadi energi untuk bekerja lebih keras memulihkan situasi negara yang berada di titik nadir. Hasilnya luar biasa. Ekonomi yang tergoncang hebat, dalam waktu singkat stabil. Pemilu yang jujur adil terlaksana. Disintegrasi yang semula dikhawatirkan sebagaimana Uni Soviet tidak terjadi. Kalaupun Timor Timur lepas, itu karena Timtim memiliki sejarah berbeda.

***

Satu-dua dekade setelah Habibie lengser, baru banyak yang menyadari kehebatan Habibie dalam menjalankan roda pemerintahan selama 17 bulan. Mereka yang tadinya hanya mencibir menyadari keteledorannya. Perbedaan politik telah membutakan mata hati mereka sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Politik kepentingan telah membelenggu nalar para lawan politiknya.

Di masa senjanya, Habibie menunjukkan sikap kenegarawanannya. Ia terus berhubungan baik dengan presiden, siapapun presidennya, mulai dari Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, maupun Jokowi. Habibie senantiasa memberikan masukan jika diminta. Haibie juga terus memompa semangat anak muda untuk terus maju, memajukan Indonesia.

Kini, Habibie sang teknokrat pembuat pesawat terbang itu telah tiada. Kita mengenang Habibie adalah pembangun pondasi iptek-imtaq, Habibie adalah peletak dasar kebebasan pers, Habibie adalah peletak dasar demokratisasi.

Selamat jalan pak Habibie, bapak bangsa. Warisan semangat untuk terus berbakti bagi negeri masih terus menyala. Semoga segera bertemu dengan bu Ainun, sang istri yang sangat pak Habibie cintai.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur