Breaking News
Habib Rizieq (Foto : Kumparan)

Imam Besar yang “Menakutkan”

oleh : Iramawati Oemar

 

Habib Rizieq (Foto : Kumparan)

 

Berawal dari sebuah pesan yang masuk lewat Whatsapps tadi malam, saya tertarik ikut challenge memasang foto Habib Rizieq Shihab. WA dari salah satu follower saya itu mengajak untuk memposting foto HRS di semua platform medsos – facebook, instagram dan twitter – pada esok siangnya, Minggu, tepat jam 12.

 Saya pun menyanggupi, bahkan Minggu seusai subuh, saya meneruskan ajakan itu ke beberapa WAG. Sebagian besar member tertarik untuk ikut aksi itu dan mulai searching foto HRS. Saya sendiri sudah menyiapkan 3 kolase foto-foto HRS. Ada 1 kolase yang khusus menggabungkan foto-foto keharmonisan dan kebahagiaan keluarga HRS, bersama istri dan putri-putri beliau.

 Tepat jam 12 siang, saya kirim reminder ke beberapa WAG agar segera posting. Saya sendiri memposting 3 foto kolase yang sudah disiapkan. Saat itulah saya baru tahu bahwa sinyal internet di HP saya sedang down, sama sekali tak sanggup mengirim pesan text via, apalagi mengunggah foto ke media sosial. Saya juga baru menyadari kalau listrik ternyata padam sejak beberapa menit sebelumnya.

 Sekitar 10 menit kemudian sinyal internet kembali pulih meski masih ‘lemot’, dan 5 menit kemudian barulah 2 postingan saya bisa tayang di facebook. Jadi kemungkinan foto HRS yang pertama berhasil diunggah ke FB sekitar jam 12.15. Setelah itu saya masih sempat update status tentang pemadaman listrik.

 Sekitar jam 13.14 saya buka FB, sudah tidak bisa. Saya pikir karena sinyal yang lemah. Ternyata bukan karena sinyal, tapi karena saya kena punishment FB. Postingan saya yang mengunggah kolase foto HRS dianggap melanggar standar komunitas FB, karena itu saya dikenai hukuman “suspend” selama 24 jam! Pada notifikasi peringatan dari FB itu, terlihat postingan saya baru tayang selama 53 menit. Entah kapan tepatnya postingan itu sudah tidak lagi muncul di akun saya, mungkin bisa jadi sebelum 53 menit.

 Tragis! Pengguna medsos, pemilik akun facebook, tidak bisa melakukan aktivitas apapun di FB selama 24 jam hanya karena memposting foto HRS plus caption nama lengkap beliau.

 Sekitar 2 pekan sebelumnya, saya pernah menuliskan status – ketika ramai kontroversi pemulangan HRS sebagai bagian dari syarat rekonsiliasi – dimana pada status itu saya tuliskan nama lengkap HRS dengan tanpa memakai huruf “alay” atau bentuk penyamaran lainnya, dan… dalam tempo sesingkat-singkatnya, hanya 24 menit, status tersebut dihapus FB. Untung saja sebagian nettizen sudah sempat meng-capture status itu, ada pula yang meng-copas lalu memviralkannya di WAG.

 Kali ini saya capture peringatan suspend akun FB saya, lalu saya kirim ke WAG. Bung Canny Watae yang ada di salah satu WAG berkomentar : “hebat ya FB Indonesia. Di Amerika saja, mau ngomongin Osama bin Laden sekalipun, gak ada suspend-suspend an”.

 Saya mikir : iya juga ya.

Kalau alasan si abu janda – seperti dia sampaikan di acara ILC – bahwa semua platform medsos di Indonesia sensitif dengan foto HRS itu karena FPI sudah dimasukkan sebagai organisasi teroris oleh salah satu situs, lalu kenapa Osama bin Laden yang sejak belasan tahun lalu dianggap dalang bahkan “bapak”/”guru” dari semua teroris di dunia, kok tidak ditabukan menyebut namanya?!

 Bukankah Osama bin Laden dianggap dalang dari peledakan menara kembar WTC di Newyork pada 11 September 2001, sekaligus upaya penyerangan terhadap markas besar Pentagon saat itu?!

 Bukankah semua jaringan terorisme di berbagai negara kemudian dikaitkan dengan organisasi Al Qaida bentukan Osama bin Laden?!

 Bukankah karena itu pula Amerika bersama sekutunya punya legitimasi untuk menggelar pasukan perang di Afghanistan dan memburu Taliban?!

 Oh come on! Baper dan sensi berat model begini hanya ada di Indonesia, di jaman now!! Tidak di negara lain, tidak pula di masa-masa sebelumnya.

Di negara lain, kalau sebuah organisasi dianggap teroris, apalagi sampai diakui “ke-teroris-annya” sampai level internasional, ya diperangi! Perang beneran, di dunia nyata. Bukan memerangi yang memposting tokohnya di dunia maya.

 Saya yakin facebook internasional juga tidak akan melakukan suspend terhadap foto personal, kecuali jika foto itu jelas menunjukkan ketelanjangan, pornografi, kekerasan, serta hal-hal yang bertentangan dengan norma kemanusiaan dan kesusilaan secara universal.

 Jadi, kalau FB Indonesia menjadikan foto HRS atau tulisan (text) yang menyebut nama Habib Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (baik ditulis lengkap maupun disingka) akan otomatis dianggap melanggar standar komunitas, itu pastilah karena ada “permintaan” atau perintah dari “invisible hands”.

 Percaya atau tidak, akun FB asli milik saya dengan nama akun Iramawati Oemar, pernah disuspend 30 hari, hanya gegara saya memposting foto nasi bungkus! Ya, nasi bungkus yang saya terima saat ikut aksi Reuni 212 tahun 2017 di Monas. Masalahnya, pada bagian luar bungkus nasi itu yang dikemas plastik, ada stiker berlogo dan bertuliskan “FPI”!

Astaganaga…., saya tak tahu harus tertawa ngakak karena geli dengan phobia berlebihan ini, ataukah miris dan sedih.

 Sebuah media asing ternama memberitakan bahwa Front Pembela Islam selalu tampil terdepan dan tiba paling awal di lokasi bencana, setiap kali terjadi “disaster” di Indonesia. Sebuah reportase dari jurnalis asing, lengkap dengan dokumentasi fotonya. Jadi, argumen bahwa FPI adalah organisasi yang dikategorikan sebagai “teroris” oleh situs internasional oleh karena itu gambarnya tidak boleh ditayangkan di internet, jelas gugur!

Ah, si abu janda memang cara berpikirnya mengenaskan, dia bukan saja kurang piknik, tapi juga kurang literasi, hahahaa…!

 Kembali ke soal sensitifitas media sosial di Indonesia terhadap nama HRS. Nettizen sampai harus membuat tulisan “alay” agar postingannya selamat dari “pisau” mesin pencari FB yang otomatis akan mengeksekusi postingan dengan keyword itu.

 Kenapa nama seorang warga negara yang tidak punya pasukan bersenjata begitu ditakuti?! Hanya menyebut namanya saja, “DIHARAMKAN”. Seakan ada upaya agar nettizen di Republik Indonesia jangan membicarakan beliau, jangan sebut namanya, jangan pasang fotonya.

 Semakin keras upaya membendung postingan terkait HRS dan FPI, sebenarnya menunjukkan semakin tingginya level PHOBIA terhadap apa yang dilarang tersebut. Kalau boleh saya menyebut gejala ini “hyper-phobia”!

Sampai-sampai ada wacana untuk membubarkan FPI, padahal tidak ada aksi FPI yang makar terhadap negara dan pemerintahan yang sah.

Organisasi di Papua yang bolak balik makar, ingin memisahkan diri dari NKRI, menyandera rakyat, memblokade akses jalan, bentrok dengan TNI dan Polri, itu saja cuma disebut kelompok kriminal bersenjata, dan… TIDAK PERNAH diancam dijadikan organisasi TERLARANG!

 Nah, dengan semakin sensitifnya media sosial di Indonesia terhadap foto wajah dan tulisan nama HRS, foto aksi sosial dan tulisan nama FPI, saya semakin yakin bahwa wacana pemulangan HRS ke Indomesia makin jauh panggang dari api.

 Meskipun Moeldoko pernah berkata akan membelikan tiket kalau tak punya uang – padahal akar masalahnya bukan soal tiket, bukan pula soal denda overstay – saya tidak yakin pemerintah di bawah pak Jokowi berani memulangkan HRS. Walaupun Ali Ngabalin sesumbar dia sendiri yang akan mengurus kepulangan HRS ke Indonesia, semua itu omong kosong belaka!

 Hyper-phobia itu semakin menjadi karena penguasa menyadari sepenuhnya bahwa pengaruh HRS semakin kuat. Meski secara fisik beliau sudah meninggalkan Indonesia sejak akhir April 2017, namun “fatwa”nya selalu ditunggu ummat dan diikuti. Upaya mengkriminalisasi dari berbagai kasus yang diada-adakan, gagal! Tak cukup bukti kuat untuk mengkriminalkan HRS.

 Apa tandanya pengaruh HRS masih kuat dan makin kuat?

 Buktinya, reuni 212 yang diadakan 2 Desember 2018 lalu, dihadiri massa yang jauh lebih banyak dari Aksi Super Damai 212 di tahun 2016. Kalau waktu itu ada pemicunya, ucapan Ahok yang melecehkan surat Al Maidah ayat 51, itu saja dihadiri kurang lebih 7,5 jutaan orang, maka reuninya di tahun kedua justru dihadiri sekitar 11 jutaan orang. Artinya 1,5 kali lipat, ada kenaikan 50%, dimana orang yang dulu tidak ikut Aksi 212, anehnya di tahun 2018 yang tidak ada sentimen pemicunya, justru ingin bergabung dengan alumni 212.

 Itu maknanya : sebagai sebuah GERAKAN, 212 terus membesar. Gerakan 212 bukan lagi sekedar penolakan terhadap penistaan agama, melainkan sudah menjelma menjadi simbol keinginan rakyat akan adanya perubahan, kerinduan akan adanya keadilan dan ketenteraman hidup.

 Tanpa kehadiran HRS secara fisik saja, massa 212 terus bertambah banyak. Militansi mereka tidak bisa dianggap enteng.

 Lho, tapi kok, Pilpres kemarin paslon capres yang diusung alumni 212 kalah?!

Aaah…, itu sih “you know why” lah!

 Justru itulah “bahaya”nya jika HRS kembali. Jika secara fisik beliau berada di tanah air, maka kekuatan menghimpun massa akan terulang. Apalagi beliau kukuh memperjuangkan nahi munkar, melawan kebathilan.

Itu sebabnya, upaya mengecilkan HRS baik di dunia nyata maupun dunia maya terus dilakukan.

 HRS benar-benar sosok “Imam Besar” bagi ummat Islam Indonesia saat ini. Yang patuh pada perintahnya bukan hanya FPI, tapi ummat Islam yang bernaung di bawah ormas Islam lainnya pun banyak yang bersikap “sami’na wa ‘atho’na” pada HRS.

 Dan…, itu fakta “mengerikan” bagi siapapun yang menggenggam kekuasaan secara tidak benar.

 Sebegitu “mengerikan”nya bayangan sosok HRS, sampai menampilkan gambarnya, mengunggah video orasinya, bahkan sekedar menuliskan nama lengkapnya saja, harus dikenai sanksi.

 Mungkin HRS satu-satunya tokoh yang bisa begini, bukan hanya di Indonesia, tapi di dunia. Sebab di negara lain tidak ada yang begini : memerangi tokoh sampai ke dunia maya.

 Coba tanya om Kim Jong Un, adakah dia sedemikian ketakutan pada nama salah satu tokoh lawan politiknya, bahkan lawan ideologinya.

Saya rasa kok gak sampai segitunya.

 Selamat, Habib Muhammad Rizieq bin Husein Shihab! Jangankan bayangan anda, nama anda saja sudah “menakutkan”!

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur