Breaking News
(Foto : ksmui)

Kunti (3)

Amarah Lana

 Oleh: Cak Choirul

(Foto : ksmui)

 

Pohon randu tempat Sarjan dan Kunti suka membuat janji di tengah pegunungan Bukit Deret masih berdiri kokoh walaupun berusia belasan tahun. Demikian pula salah satu dahan tempat Gagak Hitam bertengger tampak kian kuat meninju langit. Anehnya, malam itu, Gagak Hitam tak terlihat. Bahkan sisa bulu yang biasanya berserakan di sekitar pohon juga lenyap seperti tersapu angin malam.

 “Kunti, apakah kamu ngumpet di balik pohon randu?”

 “Atau di semak belukar tak jauh dariku berdiri. Ayolah Kunti, perlihatkan wajahmu. Pasti dirimu seperti bidadari yang turun dari langit, parasmu putih bersih layaknya kain sutra yang tak tersentuh tangan kotor.”

 Kunti tak membalas panggilan Sarjan. Hanya ada angin berhembus keras ke arah Sarjan hingga dia terhuyung-huyung terjerembat ke tanah lempung. Lelaki penyuka soto itu berusaha berdiri, namun terpaan angin menghantam tubuhnya lagi menyebabkan dia terpental.

 “Aduh….kuat banget angin ini. Kuntiiii……, tolong bantu aku berdiri!”

 Sekali lagi, permintaan tolong Sarjan tak berbalas. Sarjan merayap meraih akar pohon yang menjuntai untuk pegangan. Baju kotak-kotak berwarna hitam putih merah dan biru yang dikenakan Sarjan terkoyak, celananya berlepotan lempung.

 “Mas……, Mas Sarjan….!” Suara Kunti terdengar dari balik gundukan batu kali.

 “Tega amat kamu. Aku memanggilmu berkali-kali minta tolong tapi tidak kamu indahkan. Ada apa denganmu, Kunti!”

 “Mas Sarjan, mana bisa saya membantu,…..”

 Sebelum Kunti selesai bicara langsung dipotong Sarjan dengan suara keras, “Oh gitu ya…., apakah kamu sudah tidak menyukaiku lagi. Sudahlah Kunti jangan banyak omong!”

 Setelah itu suasana senyap. Tak ada dialog antara Sarjan dan Kunti, kecuali tingkah kodok berlompatan di tanah lempung sambil menyanyikan lagu yang hanya dimengerti oleh makhluk selain manusia.

 Angin keras yang semula berhembus, kini, berhenti bergerak. Dedaunan tak lagi meliuk-liuk, tekukur yang bertengger di atas pohon kelapa terpekur lelap. Seluruh penghuni alam, malam itu, mendadak tak beraktivitas.

 Sarjan menyandarkan tubuhnya yang kelelahan di batang pohon kelapa, sementara kedua kakinya diselonjorkan. Dia tak menghiraukan semut hitam menggerayani kakinya, nyamuk sawah dibiarkan menggigit pipinya. Mata Sarjan memandang lurus ke arah bintang di langit sembari komat kamit tanpa mengeluarkan kata.

 Beberapa menit kemudian, suaranya terdengar pelan. “Kun…..Ti….Kun….Ti….Ti…Kun…”

 Hanya suara itu yang terdengar jelas, sisanya samar. Sarjan berusaha keras membelalakkan matanya meskipun dihantam kantuk. Aksi itu sengaja dilakukan demi melihat Kunti, gadis yang membuat hatinya kepincut.

 “Mas Sarjaaaannnn…..!”

 “Mas…berdirilah. Saya mau bicara sepenuh hati agar semuanya jelas, agar hubungan kita tak lagi berselimut kepalsuan!” Suara Kunti terdengar mengiang di kuping Sarjan kendati tak semua mekhluk bisa mendengarkannya.

 “Sebelum bicara tentang hubungan kita, saya meminta maaf lantaran terlambat datang. Tadi sore, saya ketemu Lana di dekat pohon beringin, tempat mangkal teman-teman. Mula-mula, kami bersendau gurau, bercerita tentang orang-orang yang ketakutan saat bertemu dengan kami. Padahal, kami berdua tidak ngapa-ngapain. Tapi mereka takut, dasar manusia!”

 Kunti melanjutkan cerita. “Namun, candaan kami berakhir duka. Lana tiba-tiba murka ketika nama Mas Sarjan saya sebut di depannya. Bahkan amarahnya meluap tatkala saya mengatakan telah membuat janji untuk bertemu Mas Sarjan malam ini. Lana merasa kecolongan karena bertekad menjadi pacar Mas Sarjan sejak tahun lalu. Saya dianggap pencuri, mencuri kekasih dia.” (Bersambung)

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur