Ada kaedah memahami riba yang patut dipahami pula bahwa riba itu tidak terkait dengan jenis mata uang. Riba bukan hanya pada uang kertas, bisa pula pada dinar dan dirham.

Kaedah #05

 “TIDAK DIPERKENANKAN ADA KENAIKAN HARGA, PADA TRANSAKSI HUTANG PIUTANG.”

 

Contoh:

kita di tahun 2000 menghutangi teman kita 50 juta, hingga di tahun 2016 ini, nilai uang kita tersebut menyusut jauh. Namun inflasi ini, tidak bisa jadi alasan bagi kita, untuk nambah nilai utang.

jika kita mau minjami teman dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yg lama, maka solusinya adalah hutangi dalam bentuk emas, bayarnya juga dalam bentuk emas.

 

Kaedah #06

“RIBA BERLAKU UNTUK SEMUA JENIS MATA UANG.”

 

Ada yang berpendapat riba hanya berlaku untuk uang kartal (uang logam dan kertas), tapi tidak berlaku pada dinar dan dirham, hal ini tidak benar.

Riba seperti telah kita ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa. Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.

Pembicaraan mengenai riba dapat kita lihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584).

Hadits di atas menunjukkan menunjukkan bahwa jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus tunai (yadan bi yadin) dan harus dengan timbangan yang sama (mitslan bi mitslin). Jika emas ditukar dengan sesama barang yang masih memiliki ‘illah yang sama yaitu sama-sama sebagai alat untuk jual beli dan sebagai alat ukur nilai harta benda, maka satu syarat yang mesti dipenuhi yaitu harus tunai (yadan bi yadin). Mata uang memiliki ‘illah yang sama dengan emas dan perak. Oleh karenanya jika emas ingin ditukar dengan mata uang, atau kita katakan bahwa emas ingin dibeli, maka syarat yang harus dipenuhi adalah yadan bin yadin.

Jika syarat yang diberlakukan di atas tidak terpenuhi, maka akan terjerumus dalam riba. Jika ada kelebihan timbangan dalam penukaran barang sejenis –semisal emas dan emas-, maka terjerumus dalam riba fadhel. Sedangkan jika emas dibeli secara tidak tunai atau emas dijual via internet, maka terjerumus dalam riba nasi-ah karena adanya penundaan dalam penyerahan emas. Karena sekali lagi syarat dalam penukaran atau penjualan emas adalah adanya qobdh atau serah terima tunai. Ini syarat yang tidak bisa ditawar-tawar.

Jelaslah di sini bahwa riba pada mata uang kertas terjadi bukan karena nilainya yang fluktuatif. Riba pada uang kertas bisa terjadi karena ia sebagai alat tukar dalam jual beli atau alat pengukur kekayaan seseorang. Dan ini pun berlaku pada emas dan perak. Jadi emas dan perak pun bisa terdapat riba. Ini yang mesti dipahami.

 

File presentasinya, silakan didownload dari Google Drive:

1- File PDF: 10 Kaedah Memahami Riba

2- File Image: 10 Kaedah Memahami Riba

Bersambung insya Allah. Semoga bermanfaat.

@ Darush Sholihin, Panggang, Sabtu malam, 17 Rabi’uts Tsani 1438 H (14-01-2017)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal