Breaking News

Sepatu Bertumit Tinggi, Bolehkah?

thayyibah.com :: Di zaman sekarang sering kali kita lihat wanita yang memakai selop atau sepatu tinggi dengan dandanan yang mencolok, pakaian yang mengumbar aurat dan berbagai asesoris yang semua ini begitu menggoda kaum pria. Sungguh fenomena memprihatinkan tatkala wanita-wanita muslimah merasa bangga ketika gaya hidupnya meniru orang-orang non Islam yang notabene banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Dan ketika seorang wanita mencontoh model sandal atau selop dengan bertumit tinggi sebagaimana dilakukan para wanita kafir maka cara atau gaya berjalannya pun akan berubah menjadi berlenggak lenggok dan mampu membangkitkan syahwat kaum lelaki.

Dunia selebriti, para model dan berbagai ajang show digelar yang mana memakai sepatu bertumit tinggi menjadi trend dan bagian dari gaya hidup orang modern yang meniru orang-orang kafir. Begitulah para musuh-musuh Islam gencar mempromosikan produk-produk mereka dalam rangka menjauhkan kaum muslimin dari syariat Allah. Terlebih lagi kaum wanita, dimana mereka mudah tergoda untuk tampil modis dan trendi sehingga menjadi sasaran para musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Banyak dalil yang mengupas seputar hukum memakai sepatu atau selop yang bertumit tinggi. Islam melarang umatnya menyerupai orang-orang kafir dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Daud [4031], Ahmad [5114] Ath-Thabrani dalam Al-Ausath [8321], Ibnu Manshur dalam As-Sunnah [2370]. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah [4347]).

Dan kebiasaan-kebiasaan wanita fasik adalah gemar menarik perhatian sebagaimana hal tersebut dahulu dilakukan wanita-wanita Bani Israil untuk menggoda lawan jenisnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam bersabda, ”Dahulu di kalangan Bani Israil ada seorang wanita pendek. Dia membuat kaki kayu, lalu berjalan diantara dua wanita pendek, wanita itu membuat cincin emas. Di bawah permatanya ia isi dengan wewangian  yang  paling harum, yaitu misk. Jika ia ingin lewat pada suatu majelis (yakni majelis laki-laki), maka ia menggerak-gerakkan cincin itu. Lalu semerbaklah baunya. Di dalam riwayat lain wanita itu membuat penutup bagi cincinnya itu. Jika ia melewati orang banyak atau suatu majelis, maka ia mengangkat cincinnya, lalu ia membukanya. Lantaran itu, semerbaklah wewangiannya” (HR Ahmad dalam Al Musnad [3/40] dan [3/46]. Hadis ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dan Ash-Shahihah no. 486).

Begitulah wanita Bani Israel yang pendek ingin tampil tinggi dan memikat dengan sandal kayu tinggi. Dia ingin tampil beda dengan mengubah dirinya sehingga membuat laki-laki mengira dia wanita yang tinggi semampai. Dan perilaku ini ditiru para wanita Islam saat ini dengan model yang lebih memikat daripada yang dilakukan wanita Bani Israil dahulu. Sayangnya banyak wanita yang tertipu dan tak melihat pengharamannya dari sisi syahwat. Dan ditinjau dari segi kesehatan pun memakai sandal/sepatu bertumit tinggi berisiko bagi tubuh seperti terjatuh yang bisa berakibat buruk pada kesehatan tubuh.

Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, ”Dahulu para lelaki dan wanita di kalangan Bani Israil sholat secara bersama-sama. Seorang wanita memiliki kekasih (pacar). Wanita tersebut memakai dua sandal kayu yang dengannya ia menjadi tampak tinggi. Lalu ditimpakanlah haid (yang sangat lama) atas mereka” (HR. Abdur Razzaq dalam Al Mushannaf [5115] dengan sanad sholih).

Para wanita Bani Israel ditimpakan haid dalam waktu yang sangat lama sebagai hukuman bagi mereka atas maksiat-maksiat yang mereka lakukan. Seperti berpacaran, tidak menundukkan pandangan terhadap lawan jenis yang bukan mahram, membuat sandal beralas tinggi, menggunakan parfum untuk menarik perhatian dan membangkitkan syahwat kaum lelaki (Fathul Bari, 1/519).

Maka selayaknya wanita muslimah lebih banyak belajar lagi agar lebih memahami hukum-hukum syariat Allah Ta’ala. Dan bersandal atau bersepatu yang biasa saja sesuai fitrah wanita sehingga lebih aman dan selamat dari sisi syariah dan tidak membahayakan tubuh.

Wallahu a’lam.

 

Referensi :

  1. Majalah Akhwat vol 4/1431 H, kolom Akhamun Nisa, 47-49
  2. Al-Wala & Al Bara’ (Terjemah) Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauan, At-Tibyan, Solo, 2002

Penulis: Isruwanti Ummu Nafishah

 

Artikel Muslimah.or.id

About A Halia