Breaking News

Ketika Kaum Muslim ‘Terpelajar’ Menolak Cadar

thayyibah.com :: Entah kenapa cadar bagi Muslimah kini seolah menjadi barang tabu. Sejumlah negara-negara Eropa kenakan aturan yang ketat terkait cadar, semisal Perancis, Inggris, ataupun Spanyol. Negara-negara tersebut semula berdalih bahwa cadar merupakan identitas kaum ekstremisme, namun dalam praktiknya aturan itu membuat masyarakat justru bersikap ekstrem terhadap individu yang hendak mengekspresikan identitas keagamaan.

Kekerasan verbal hingga fisik dilakukan sebagai sikap anti-cadar dalam bingkai Islamophobia. Di Barcelona, Spanyol, misalnya, seorang ibu bercadar harus merasa kesakitan ketika perutnya ditendang orang tak dikenal. Sementara di Sunderland, Inggris, seorang muslimah yang tengah menunggu suaminya terhempas ke tanah setelah cadar yang dipakainya ditarik paksa seorang fanatik. Tak hanya itu, ia pun menerima ucapan kasar dari penyerang yang meneriakinya “bodoh”.

Jauh dari Eropa, sikap anti-cadar juga terjadi di Indonesia meski bukan sikap resmi diterapkan pemerintah. Kasus yang pertama kali sempat terdengar terjadi pada akhir di era Orde Baru pada 30 November 1999. Dua mahasiswi kedokteran USU (Universitas Sumatera Utara) menerima surat resmi pelarangan cadar. Alasannya karena cadar dapat menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen.

Seorang mahasiswi bercadar akhirnya keluar karena tak sanggup menerima perlakuan diskriminatif dosen. Sementara satu lainnya bertahan untuk tetap lulus di tengah sikap keras kampus. Keduanya dilaporkan kerap diusir dari ruang kelas, selain ancaman dari para dosen yang tak akan memberinya nilai selama masih mengenakan cadar. Kasus ini akhirnya memicu demo dari sejumlah kampus di Sumatera Utara.

Waktu terus bergulir, “serangan” terhadap cadar di Indonesia tak kunjung berhenti. Cadar dianggap hanya sebagai produk budaya yang identik dengan Arab, sehingga dituding dapat menggerus sikap keindonesiaan. Padahal katanya Indonesia itu berbhineka. Menerima perbedaan dalam bingkai kebangsaan. Slogan yang manis, semanis gula-gula. Namun praktiknya jauh dari nyata.

Ada juga anggapan bahwa wanita cadar diidentikkan dengan terorisme, terutama ketika muncul aksi-aksi pengeboman. Sementara, tuduhan bahwa cadar menghalangi komunikasi dan berinteraksi dengan sesama tetap dijadikan alasan. Tuduhan semacam itu terus digulirkan, sehingga menimbulkan sikap diskriminatif terhadap para muslimah yang bercadar.

Islam mengajarkan, penggunaan cadar ialah sebuah pilihan. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mewajibkan. Namun, perbedaan pendapat tidak menafikan bahwa cadar bukan bagian dari ajaran Islam.

Baru-baru ini, pelarangan cadar kembali terjadi di kampus Universitas Pamulang (Unpam). Dalihnya mirip seperti kasus di Universitas Sumatera utara, yakni cadar dapat menghambat komunikasi dan menyulitkan dosen untuk berinteraksi. Pihak kampus menganggap bahwa aturan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena merupakan aturan rumah tangga yang wajib ditaati oleh civitas kampus.

Arogansi pihak kampus yang memberlakukan aturan diskriminatif merupakan cerminan dari tindakan intoleran. Bagaimanapun, penggunaan cadar, secara ilmiah tak pernah mengganggu efektifitas dan kinerja seseorang baik di lingkungan pendidikan maupun pekerjaan. Lebih jauh dari itu, ekspresi beragama dan keberagaman harusnya bukan hanya sekadar retorika belaka, tapi diresapi dan dipraktikkan.

Mirisnya, ini terjadi di lingkungan civitas akademik yang identik dengan tempat para kaum terpelajar. Seharusnya mereka bisa menyadari, bahwa penggunaan cadar bukanlah budaya impor dari negeri seberang, akan tetapi sebuah keyakinan syariat yang datang dari Ilahi. Jika kaum akademis yang sering dianggap obyektif saja memandang sebelah mata pada kaum bercadar, bagaimana mereka yang bukan? [kiblat/berdakwah]

About A Halia