Breaking News
Berita hoax kue klepon itu (Foto : Istimewa)

Klepon Rasa PKI

Oleh: Yons Achmad  (Praktisi Komunikasi)

Berita hoax kue klepon itu (Foto : Istimewa)

Isu klepon tidak Islami adalah permainan (kotor) komunikasi. Sang komunikator saya kira tidak sekadar iseng belaka. Menggoda umat beragama, khususnya orang Islam untuk merespon arus komunikasi itu. Tentu dengan berharap respon negatif yang muncul. Saya menilai, ada agenda lain lebih besar dari yang disasar. Berhasil? Tidak. Saya membaca sepintas, sebagian besar warganet memang ikut mengomentaari isu atau postingan itu. Tapi, saya melihatnya masih dalam tahap kewajaran.

Permainan kotor dalam komunikasi (politik) demikian sudah sering dilakukan dengan wajah yang berbeda-beda. Dulu, misalnya coba benturkan budaya lokal dengan Islam. Dalam sejarah Indonesia, partai yang dikenal begitu sentimen terhadap agama (Islam), termasuk para aktivisnya, jelas sudah, mereka adalah gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Memang, partai ini sudah dibubarkan, tapi saya kira gaya dan rasanya masih bisa tercium dan kita kenali sampai saat ini. Gayanya serupa, termasuk suka melakukan standar ganda.

Misalnya mengelak kalau PKI sudah bubar, tidak bakal bangkit lagi. Di saat yang sama, orang-orang dengan gaya PKI ini sering misalnya menuduh riak-riak gerakan politik anti NKRI dan ingin mengganti Pancasila itu dalangnya HTI. Padahal HTI sudah dibubarkan rezim. Begitulah. Padahal, mengganti Pancasila jelas tak bisa dilakukan ormas, tapi hanya partai politik dengan para anggota DPR yang bercokol di Senayan sana yang bisa melakukannya. Kemarin, kita lihat ada yang mencoba memeras-meras Pancasila sesuai selera penafsirannya semata. Sebenarnya, ini yang seharusnya diwaspadai.

Ada yang bilang klepon tidak Islami itu, bukan kerjaan PKI, jangan asal tuduh saja. Baiklah. Tapi, begitu jelas rasa PKI-nya. Sebagai sebuah upaya adu domba. Lagu lama yang begitu mudah kita kenali. Sebuah propaganda yang pasti penuh dengan agenda. Dalam kajian media, propaganda, seperti yang dijelaskan Ana Nadhya Abrar dalam buku “Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan” diartikan sebagai usaha menyakinkan berbagai pihak akan sebuah kebenaran melalui informasi. Yang menjadi sasaran utama propaganda adalah emosi khalayak. Artinya pula, khalayak diangankan tidak berdaya menghadapi informasi yang sampai kepada mereka.

Nah, siapa yang kemudian terpancing? Aktivis-aktivis Islam saya kira tidak begitu terpacing. Yang terpancing memang terlihat juga dari kalangan Islam. Tapi, siapa mereka? Kita bisa pantau di lini massa.

Mereka ini adalah orang-orang yang selama ini memang nyinyir dengan gerakan Islam. Orang-orang yang sering menghantam kelompok-kelompok seperti misalnya HTI, Salafi atau mereka menyebutnya wahabi, kelompok alumni 212, termasuk partai (berbasis) Islam. Orang-orang inilah, termasuk para buzzer yang begitu gegap gempita menilai pesan “Klepon Tidak Islami” itu sebagai sebuah wajah kolot dan sempitnya pandangan. Padahal, jelas itu hanya permainan komunikasi semata. Sebuah propaganda receh dan murahan. Ternyata, mereka terpancing juga. Di mana nalar dan daya kritisnya?

Ke depan, saya kira cara-cara kotor demikian akan terus bermunculan. Mengundang kehehohan dan akhirnya publik lupa akan isu-isu yang lebih substantif. Isu tentang misalnya kesejahteraan rakyat juga isu tentang kepemimpinan. Seperti kenyataan yang kita alami sekarang, kesejahteraan rakyat sangat jauh dari yang diharapkan. Sementara, isu kepemimpinan, penguasa masih terus menghegemoni dalam menciptakan oligarki atau dinasti politik. Isu ini harus mendapatkan porsi perlawanan. Isu-isu ini yang sebenarnya perlu kita sorot lebih serius. Bukan hanyut dalam gegap gempita isu receh berbau propaganda yang sekadar mengaduk-aduk dan menyita emosi semata.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur