Breaking News

Catatan Lansia (32)

Milad Ke-64

Oleh : Pipiet Senja

Anno 16 Mei 2020

Alhamdulillah wa syukurillah, sampai jua kaki -aki ringkih ini di tangga ke 64 tahun. Terimakasih kepada almarhum dan almarhumah Emak dan Bapak. Kalian yang senantiasa ikhlas merawat dan menyemangati anaknya ini sejak kecil. Bahkan sejak tahu sulungnya punya penyakit bawaan yang tak tersembuhkan.

Terimakasih kepada adik adik, terutama yang selalu siap membersamai di kala kakaknya ini tak berdaya di rumah sakit. Kepada dua anakku Haekal dan Butet dan satu mantu Lina. Untuk Lima cucu yang selalu membuat Manini sukacita: Zein, Zia, Rolin, Qania dan Zidan.

Sahabat pembaca karya Pipiet Senja yang telah mengapresiasi karya-karya saya. Tak lupa para sahabat donatur darah yang tak bisa disebut satu-satu saking banyaknya. Demikian pula para sahabat donatur yang dengan ikhlas berbagi rezeki. Meski belum pernah jumpa ya Allah. Semoga pahala berlimpah dan rezeki Anda semua barokah.

Saat ini sudah 3 bulan lebih saya di rumah saja. Hanya sesekali ke depan perumahan untuk ke ATM atau beli sayuran. Kondisi saya saat ini bertahan dengan HB 8. Tensi turun naik demikian pula gula darah.

Mari kita kenang saat dokter menambahkan list penyakitku. Ketika kutulis ulang memoar edisi revisi Dalam Semesta Cinta ini, kondisi kesehatanku berada pada titik nadir. Para dokter yang merawatku mendiagnosa, terdengarnya di kupingku, kurang lebih sbb; thallasemia, kardiomegali, hepatitis, diabetes mellitus.

Satu kondisi kesehatan yang luar biasa mengerikan, kalau tidak dibilang semuanya ini hanyalah berujung pada satu titik, yakni; kematian!

Sejujurnya, aku sempat limbung, syok berat dan terpuruk. Segala situasi mengerikan seketika berseliweran di benakku, mewarnai malam-malamku dalam ketegangan dan kesunyian. Kubayangkan diriku harus bolak-balik ke rumah sakit, menghabiskan dana, dan terutama semuanya itu akan menyusahkan anak-menantu.

Bulu romaku meremang hebat, tatkala membayangkan, seandainya diriku mendadak in-coma, kemudian tergantung pada peralatan, semuanya itu akan menghabiskan dana selangit. Ditambah kekacauan jiwa dan raga anak-anak dan menantu. Naudzubillahi min dzalik!

Beberapa hari, beberapa pekan lamanya, situasi kejiwaan yang lumayan menyeramkan ini hanya kupendam seorang diri. Paling aku menuliskannya sepintas-kilas, melalui statusku di BB, Twitter atau Facebook. Anak-anak belum kuberi tahu secara gamblang rincian kondisi kesehatanku.

Acapkali aku menyusuri lorong-lorong RSCM dengan perasaan hampa, kaki-kakiku serasa melayang. Sedih juga kalau hidup tanpa Imam menjalani Lansia begini. Pas ke rumah sakit kucluk-kucluk sendirian. Pas lihat pasangan kakek nenek melintas di depan mata. Menyaksi bagaimana saling mengasihi mereka hingga ajal menjemput. Alangkah indahnya. Alangkah mengharukannya. Duhai!

Kadang aku berpikir, buat apa juga segala prosedur BPJS ini harus kujalani? Toh pada akhirnya akan berujung di ruang jenazah jua? Namun kemudian terbayang wajah putriku, Butet. Pekerja keras, single parent dan sangat berbakti. Dia masih sangat butuh keberadaan emaknya ini. Setidaknya untuk menjaga anaknya dan terutama selalu mengingatkannya, agar kembali berhijab dan menemukan jodohnya yang baik.

Entah bagaimana jadinya jika aku menyerah saat ini. Lawan! Penyakit memang wajib dilawan. Bukan Ssekadar berdamai dan membiarkannya menggerogoti seluruh hidup kita. Ya, hanya ada satu kata jika kita terpuruk dalam keputusasaan. Lawan!

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur