Breaking News
Menara Azadi, ikon kota Tehera (Foto : steemit)

Sebuah Perjalanan ke Teheran

 

Menara Azadi, ikon kota Tehera (Foto : steemit)

SUBUH belum lagi menjelang ketika pada akhirnya kedua kaki saya menjejak tanah Persia untuk pertama kalinya. Suhu udara di bawah nol derajat yang menusuk tulang pada pagi buta itu tak mampu menghalau sunggingan senyum di bibir. Tak hanya saya, juga anggota rombongan yang sebelas orang jumlahnya. Lelah perjalanan hampir 15 jam (Surabaya-Kuala Lumpur-Tehran) seperti sirna. Sebagai seorang sarjana, perjalanan ke negeri Persia adalah sebuah impian bagi saya. Maka, kala mimpi itu menjadi nyata, tidak ada alasan untuk tidak bersuka cita.

 Perjalanan ke Iran adalah sebuah perjalanan ilmiah. Atas undangan Mustafa International University, Qum, saya hadir untuk mengikuti Kursus Singkat dalam bidang filsafat dan pemikiran Islam. Maka kedatangan di Tehran masih harus dilanjutkan ke Qum, yang berjarak sekitar 150 kilometer dari ibukota Iran tersebut. Saat tiba di Qum, adzan subuh belum juga mengumandang. Itu bermakna kami memiliki sedikit masa untuk melepas kepenatan. Di sebuah pusat pembelajaran yang bernama Mu’assasah al-Hikmah li al-Daurat al-Mukatsafah wa Furushi al-Bahtsi, atau dalam terjemahan bahasa Inggris al-Hikmah Institute for Intensive Course and Sabbatical Leave, kami belajar dan bertempat tinggal.

 

Bandara internasional Teheran (Foto : Istimewa)

Merencanakan perjalanan ke Iran tidaklah mudah. Kesulitan itu bukan berkaitan dengan soal teknis, seperti visa dan tiket; karena keduanya dengan mudah kami dapatkan. Namun, kerumitan lebih banyak berhubungan dengan soal batin dan ideologi. Pertama, fakta bahwa saat kami bertolak menuju Tehran, Iran sedang bersitegang dengan Amerika Serikat. Ini menjadikan keluarga dan sahabat yang mengetahui rencana keberangkatan saya, sering menyatakan kekhawatiran. Apakah Iran aman untuk dikunjungi dan apakah ada jaminan keselamatan jika berkunjung dalam situasi seperti ini? Begitulah di antara kekhawatiran itu. Sayapun sempat mengurungkan niat perjalanan. Namun karena segala sesuatunya sudah terlanjur dipenuhi dan telah terencana dengan matang, sehingga perjalanan itu tidak mungkin dibatalkan.

Musthofa International University di Kota Qum (Foto : Pars Today)

 Kedua, fakta bahwa Iran adalah negara dengan mayoritas penduduk penganut Syi’ah juga menjadi halangan psikologis tersendiri. Maka sejumlah pertanyaan muncul. Misalnya: apakah tidak takut terpengaruh oleh ajaran Syi’ah kalau belajar filsafat Islam di Iran? Atau peringatan seperti: Hati-hati! Sepulang dari Iran kamu akan dijauhi orang, karena bisa dianggap terindikasi Syi’ah. Terhadap pertanyaan dan peringatan seperti itu, saya hanya menanggapi dengan senyum. Bukan karena menganggap enteng. Tetapi karena kepergian saya ke Iran adalah untuk belajar, sehingga hal-hal yang terlalu spekulatif seperti itu tidak pernah terlintas dalam pikiran. Lagipula, saya telah belajar di banyak tempat dengan beragam orientasi dan ideologi (Australia, Eropa, Amerika) dan saya tetap memiliki prinsip dan pendirian. Sehingga, begitu pula saya menganggap perjalanan ke Iran ini.

 Lebih dari perjalanan ilmiah, ini adalah juga perjalanan spiritual. Saya memaknai spiritualitas di sini bukan dalam arti yang sempit. Spiritualitas saya maknai dalam cakupan yang lebih luas, yakni penghayatan, refleksi, dan penemuan kesadaran baru.

 Pada aspek yang paling mendasar, saya melakukan penghayatan yang mendalam pada perjalanan ini. Dari penghayatan itu, saya menjumpai sebuah teladan tentang sikap terhadap ilmu pengetahuan. Teladaan itu saya temukan di sebuah perpustakaan bernama Perpustakaan Mar’ashi Najafi. Nama perpustakaan ini diambil dari nama seorang ahli dan pemimpin agama, Ayatullah Mar’ashi Najafi. Keunikan perpustakaan ini adalah pada koleksi yang dimiliki. Di dalamnya terdapat ratusan ribu koleksi buku yang ditulis dengan tangan oleh ulama masa lalu. Menurut klaim pengelola perpustakaan itu, ada satu kopi al-Qur’an dalam tulisan tangan yang pertama kali ada dalam sejarah Islam dan tertulis dalam khat bergaya Kufi. Buku-buku kuno itu membawa alam pikiran saya ke sejarah intelektualisme Islam. Berabad-abad silam, dalam situasi dan fasilitas yang tak semudah zaman ini, para cerdik pandai itu mampu berkarya demikian hebat. Sementara di zaman ini, kita dimanja dengan aneka kemudahan, namun terlena dalam kemudahan itu, sehingga malah lupa berkarya.

 Tentu saja, koleksi perpustakaan itu mengagumkan. Namun ada hal yang lebih mengagumkan, yakni proses Ayatullah Mar’ashi Najafi mengumpulkan buku-buku itu. Pustakawan yang menemani rombongan kami berkeliling ke kompleks perpustakaan, menuturkan bahwa untuk membeli buku-buku yang diinginkan, Ayatullah Najafi seringkali berpuasa. Di samping dimaksudkan sebagai ibadah, puasa itu dimaksudkan untuk mengurangi jatah makan pada hari tertentu. Lalu, uang jatah makan yang tak terpakai itu dikumpulkan dan digunakan untuk membeli buku-buku langka yang diinginkan. Ada yang lebih dahsyat. Pustakawan juga mengisahkan bahwa Ayatullah Najafi selalu melaksanakan shalat hajat, ketika menginginkan satu buku tertentu.

 Tak hanya memuat koleksi buku-buku kuno yang langka, perpustakaan ini juga dilengkapi dengan sebuah pusat rehabilitasi buku yang mereka istilahkan dengan Rumah Sakit Buku. Seperti namanya, pusat rehabilitasi buku itu memang seperti rumah sakit tempat aneka penyakit buku disembuhkan. Buku-buku bernilai sejarah tinggi, namun telah rusak, dirawat sedemikian rupa sehingga bisa digunakan kembali, meskipun mungkin tak sempurna. Aneka alat canggih, dan pasti mahal, yang dimiliki oleh pusat perawatan buku ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa bangsa Iran memiliki perhatian yang sangat besar pada ilmu pengetahuan.

 Dalam setiap aktivitas, saya selalu berusaha melakukan refleksi, sehingga aktivitas-aktivitas itu tidak hampa makna. Ada fakta yang menjadikan saya melakukan refleksi lebih dalam, yakni tentang hubungan antara kesalehan ritual dan pemikiran intelektual. Di tanah air, kita sering mendengar orang melakukan dikotomi antara laku dan pikiran. Tegasnya begini. Jika ada orang yang berfikiran terbuka, pada umumnya itu dihubungkan dengan kesalehan. Demikian juga sebaliknya. Seolah-olah yang berfikiran terbuka kurang saleh secara ritual, dan yang berfikiran –katakanlah—konservatif, lebih saleh.

 Perdebatan semacam ini menjadi tidak relevan di Iran. Ada kombinasi yang sangat unik dan menarik. Para ulama, setidaknya yang kami jumpai, rata-rata berpikiran terbuka. Mereka sama sekali tidak menyoal filsafat. Sebaliknya, di semua lembaga pendidikan, filsafat dipelajari, karena filsafat merupakan salah satu landasan penting bagi semua generasi muda terpelajar di Iran. Tidaklah mengherankan, pemikiran mereka menyangkut hal-hal keagamaan bersifat sangat terbuka, yang dalam ukuran Indonesia hari ini sangat mungkin disebut liberal. Namun menariknya, mereka senantiasa menjaga kesalehan ritual. Dari pengamatan inilah, lalu saya berefleksi bahwa menjadi progresif pada wilayah pemikiran dan konservatif pada wilayah ubudiyah-ritual bisa diraih pada saat yang bersamaan.

 Di sisi lain, semakin sering melakukan perjalanan, semakin banyak saya memperoleh kesadaran baru untuk berbagai persoalan. Begitulah dengan perjalanan kali ini. Mengamati secara langsung bagaimana Islam dipraktikkan oleh mereka yang memiliki pandangan keagamaan berbeda, menjadikan saya berfikir bahwa seseorang atau sekelompok orang bisa sampai kepada keyakinan tertentu bukanlah persoalan sederhana. Fakta tentang saya sebagai penganut Muhammadiyah adalah sebuah contoh. Jika ada pertanyaan bagaimana awal mula saya menjadi Muslim dengan faham Muhammadiyah? Tentu itu tidak mudah diuraikan. Seseorang menjadi penganut suatu keyakinan tertentu, pastilah dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak bisa direduksi ke dalam konteks salah benar atau sesat dan lurus.

 Maka, jika ada yang tiba-tiba mengajak saya keluar dari Muhammadiyah karena Muhammadiyah dianggap tidak benar berdasarkan ukuran kebenaran faham yang dianut oleh seseorang tersebut, maka dengan sendirinya saya akan menolak. Mengamati secara langsung bagaimana mereka yang bermadzhab berbeda itu syahdu dan khusyu’ menjalankan keyakinannya membawa saya kepada sebuah kesadaran baru tentang makna perbedaan dalam dimensinya yang lebih spiritual. Bahwa saya harus menghormati perbedaan itu tanpa saya harus hanyut di dalamnya.

 Pada hari ketika saya harus meninggalkan Bandar Udara Internasional Imam Khomeini, Tehran, saya berdiri mematung. Persia telah terlalu banyak menebar pesona, sementara demikian terbatas masa yang tersedia bagi saya untuk meramu pesona itu menjadi hikmah. Dalam diam lisan, saya seperti terperangkap dalam pesona Persia, dan menanam harap agar bisa kembali menuai pesonanya pada masa yang tak lagi lama.

 (Dadang Simpati/Sahabat ICC Jakarta (12/2/20), Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang)

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur