Breaking News

Hak-Hak Orang Berusia Lanjut yang Wajib Ditunaikan (Bag. 2)

Hak-Hak Orang Berusia Lanjut yang Wajib Ditunaikan (Bag. 2)

 

thayyibah.com :: Hak-hak orang berusia lanjut lainnya yang wajib kita tunaikan adalah:

Ke lima: Memperhatikan kondisi badan dan fisik mereka yang lemah

Ini adalah perkara yang banyak dilalaikan oleh anak-anak muda. Kita hendaknya menyadari bahwa usia lanjut adalah salah satu fase di antara fase kehidupan manusia. Yaitu fase yang ditandai dengan lemahnya kondisi fisik, kondisi kesehatan dan panca indera, sehingga pergerakannya terbatas dan sulit mengerjakan perkara-perkara yang tampaknya mudah bagi kita. Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً

“Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS. Ar-Ruum [30]: 54)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ

“Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun.” (QS. Al-Hajj [22]: 5)

Oleh karena itu, perhatikanlah hak orang berusia lanjut ini. Apalagi kita jumpai sebagian di antara mereka perlu disikapi sebagaimana berinteraksi dan menyikapi anak kecil.

Sayangnya, kita jumpai di antara kita yang cepat bosan ketika berinteraksi dengan orang-orang berusia lanjut dan tidak sabar dalam memperhatikan kondisi mereka yang lemah. Jika kita menyadari bahwa suatu saat kita pun akan berada dalam fase tersebut, maka hendaknya kita pun menunaikan kewajiban kita dengan sebaik mungkin.

Sangat disayangkan juga perilaku sebagian anak yang menitipkan orang tuanya yang sudah berusia lanjut di panti jompo, lalu tidak pernah lagi menjenguknya selama bertahun-tahun lamanya. Jika kondisinya demikian, kita tanyakan kepada anak tersebut, apakah Engkau mau diperlakukan seperti itu di masa tuamu nanti? Tidak diragukan lagi bahwa si anak tersebut tentu tidak akan ridha. Sehingga kita sampaikan kepadanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ، وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga dan kematian mendatanginya dalam kondisi dia beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, maka hendaklah dia bersikap kepada orang lain dengan sikap yang ingin dia dapatkan dari orang lain.” (HR. Muslim no. 8442)

Oleh karena itu, sama saja apakah orang tua kita kondisinya pikun ataukah tidak, maka kita wajib menunaikan hak mereka dengan baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 14)

Di ayat tersebut, Allah Ta’ala menggandengkan hak orang tua dengan hak Allah, juga menggandengkan berterima kasih (bersyukur) kepada Allah dengan berterima kasih kepada orang tua.

Ke enam: Mendoakan mereka

Hendaknya kita mendoakan mereka untuk panjang umur dan dalam ketaatan kepada Allah tidak hanya semata-mata panjang umur saja, karena bisa jadi panjang umur dalam maksiat. Kita mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah dan taufik, agar Allah Ta’ala menjaga mereka, dan agar Allah Ta’ala mengkaruniakan kesehatan kepada mereka dan meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah. Juga mendoakan mereka agar termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang siapakah manusia terbaik, beliau menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Siapa saja yang berumur panjang dan baik amalnya.” (HR. Ahmad no. 17698, 17680 dan Tirmidzi no. 2251. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 3364 dan Ash-Shahihah no. 1836)

Ke tujuh: Kita tidak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا، إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ

“Seorang anak tidak akan mampu membalas kebaikan orang tuanya, sampai dia menjumpai orang tuanya menjadi budak, kemudian dia membeli dan membebaskannya.” (HR. Muslim no. 1510)

Diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar melihat seorang lelaki yang thawaf di ka’bah sambil menggendong ibunya. Orang tersebut bertanya kepada ibunya, ‘Apakah Engkau menilaiku bahwa aku sudah membalas jasamu, wahai ibu?’

Ibnu ‘Umar pun menyela, ‘Wahai anak yang kurang ajar, tidak demi Allah! Engkau belum bisa membalasnya meskipun satu rasa sakitnya ketika melahirkanmu.’” (Diriwayatkan oleh Al-Marwazi dalam Al-Birr wa Ash-Shilah, no. 37-38)

Inilah di antara hak-hak orang-orang berusia lanjut yang wajib kita tunaikan. Hak-hak tersebut tentu saja menjadi lebih besar ketika mereka adalah kerabat, tetangga, beragama Islam, atau orang tua kandung kita (ayah, ibu, kakek dan nenek). Bahkan jika mereka adalah non-muslim, mereka pun memiliki hak-hak tersebut. Hal ini karena syariat itu datang untuk menjaga hak-hak mereka, meskipun non-muslim. Dan bisa jadi sikap kita kepada mereka tersebut menjadi sebab masuknya mereka ke dalam agama Islam di akhir-akhir kehidupannya. Dan ketika kita menyia-nyiakan hak mereka, bisa jadi hal itu menjadi sebab mereka menjauh dari Islam dan tidak mau menerimanya.

[Selesai]

***

@Bornsesteeg NL 6C1, 27 Ramadhan 1439/ 12 Juni 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Referensi:

Disarikan dari kitab Huquuq kibaaris sinni fil Islaam karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 35-40.

About A Halia