Breaking News
Mike Tyson (Foto : Istimewa)

Rekonsiliasi Model Mike Tyson

Oleh: Asp Andy Syam

Mike Tyson (Foto : Istimewa)

 

Mike Tyson alias Malik Abdul Aziz atau julukan internasionalnya Iron Mike karena keras fisiknya. Mike Tyson namanya menjadi besar karena seringkali berhasil memukul jatuh lawannya. Karena itu, gelar tinju kelas berat sering kali diraih, walaupun prestasinya belum menyamai Muhammad Ali.

Tapi ada satu ciri khas yang menjadi kebiasaan Mike Tyson, yaitu ketika lawannya terjatuh dan mengaku kalah, Mike Tyson tanpa ragu memeluk lawannya. Dia seorang kesatria yang belas kasih dan rendah hati.

Itulah barangkali konsep rekonsiliasi yang ingin dirajud TKN 01 yang telah memenangkan Jokowi (01) ingin merangkul lawan Prabowo (BPN 02) setelah dipukul jatuh dan disebut kalah. Jokowi dan BPN 01 ingin pula disebut belas kasih dan murah hati setelah memukul telak lawannya.

Tetapi sesungguhnya ada perbedaan yang sangat fundamental. Mike Tyson menang secara gentlemen, sportif dan jujur. Dia tidak melanggar aturan main. Tak ada penonton yang berteriak curang. Semua penonton merasa puas. Wasit tidak salah mengambil keputusan yang memenangkan Mike Tyson. Tak ada yang perlu diperkarakan. Lawan Mike Tyson dengan rela menerima kekalahan. Mike Tyson pun dengan bangga dan terhormat menerima gelar tinju kelas berat dunia. Ratusan juta pemirsa tv menyaksikan pemberian gelar itu.

Sedangkan Jokowi dengan simbol 01, ketika bertanding lawan Prabowo 02 telah diteriaki lawannya curang. Rakyat dan media sosial pun berteriak curang. Lalu terjadilah perkara di MK. MK   kemudian memutuskan bahwa bukti-bukti tuduhan kecurangan dinilai MK tidak cukup untuk diterima menurut hukum. Akibatnya wasit KPU mengukuhkan Jokowi (01) terpilih sebagai Presiden.

Tentu adalah manusiawi kalau ada yang tidak rela kalah karena merasa dicurangi. Tapi kenapa mesti rekonsiliasi dan apa yang mau rekonsiliasi?

Pilpres itu hal umum, biasa dan acara rutin secara periodik. Di AS negara kampiun demokrasi usai Pilpres sekalipun bagi yang kalah banyak kehabisan dana, tapi tak ada gagasan rekonsiliasi. Yang menang menjadi gagah terhormat masuk Gedung Putih (White House). Yang kalah merelakan nasibnya dan juga merasakan kepuasan. Tidak ada yang perlu berteriak dan protes, karena semua berjalan menurut Konstitusi dan aturan main.

Disini usai Pilpres hujan himbauan rekonsiliasi, terutama dari 01 dan para tokoh pendukungnya. Mereka sadar telah membuat sakit hat 02. Mungkin ada rasa tidak nyaman karena perbuatannya yang kurang pantes caranya mengalahkan lawannya Juga mungkin ada rasa tidak aman ke masa depan.

Dalam ajaran Islam, tawaran rekonsiliasi layak disambut. Ajaran Islam selalu membuka perdamaian bila ada yang menginginkan.

Tapi dalam masalah politik kenegaraan, masti ada kejelasan dasar dan tujuan rekonsiliasi. Kalau sekedar temu muka dan tawar-menawar jabatan sepertinya pemberian hadiah (suap) bagi yang mau direndahkan dan dimunafikkan. Tentu cara ini tidak akan pernah bisa membangun dan memperbaiki kwalitas Pemilu/Pilpres yang akan datang.

Berpikirlah dan buatlah rekonsiliasi yang bermakna, elegan dan bermartabat. Rekonsiliasi pada nilai-nilai yang tertinggi yaitu kembali kepada Konstitusi (UUD 1945) sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah. Konstitusi adalah Kitab Kenegaraan. Karena itu, jangan   biarkan pasal-pasal dalam Konstitusi sebagai ketentuan yang mati tanpa arti dan makna. Masalah dan sengketa makin banyak yang timbul apabila Konstitusi tidak dijadikan rujukan.

Mari buka kembali lembaran UUD 1945 terutama mengenai Pemilu. Ditentukan azas-azas Pemilu/Pilpres yaitu : Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Azas-azas itu wajib dihormati, baik oleh penyelenggara maupun para Kontestan Pemilu/Pilpres.

Rekonsiliasi akan sangat elegan dan bermartabat, apabila, pihak yang merasa ada melakukan perbuatan yang melanggar azas-azas tersebut, selayaknya minta maaf pada rakyat Indonesia. Minta maaf itulah jadi semangat rekonsiliasi. Suatu kemuliaan bagi yang memberi maaf.

Tetapi, apabila ada arogansi politik, merasa tidak ada melakukan pelanggaran, tentu   timbul pertanyaan apa yang jadi masalah besar sehingga harus rekonsiliasi.

Semua kembali kepada rakyat. Sejauh mana rakyat merasa hak-hak dalam demokrasi telah dihargai secara sungguh-sungguh untuk membangun dan memperbaiki demokrasi di masa depan.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur