Breaking News
Abang Raman (Foto : Komaruddin Ibnu Mikam)

Bang Raman

Oleh : Komaruddin Ibnu Mikam

 

Abang Raman (Foto : Komaruddin Ibnu Mikam)

Ahad pagi. Cuaca di Kota Bekasi bagian Utara cocok untuk malas-malasan. Satu salam dari halaman rumah menghangatkan udara yang dingin. Saya sangat mengenal suara pemilik salam itu. Pria optimis yang sukses, yang sholeh, yang inspiratif. Pria itu adalah Bang Raman. Meski kami dulu sekelas, namun sapaan ‘abang’ di depan namanya adalah sebuah rasa hormat saya pada dirinya. Dikunjungi Bang Raman adalah sebuah rezeki. Selain datang dengan cerita-cerita barunya, Bang Raman datang dengan dua tangan yang terisi. Ada buah dan kue, untuk kami sekeluarga.

Abang Raman ini adalah laki-laki hebat. Saya menilainya sebagai orang sukses. Menyandang predikat sebagai guru di SMA Negeri 1 Sukawangi, Bekasi. Mempunyai dua rumah untuk masing-masing istrinya. Anaknya-anaknya kuliah di perguruan tinggi yang baik. Salah satu anaknya disiapkan menjadi ulama. Kini kuliah di universitas ternama di Sudan dan sudah menjadi hafidz.

***

Bekasi tahun 1985 – 1990, tiga puluh tahun yang lalu. Cerita tentang Bang Raman, bocah kurus asal kampung Gombang, Bekasi. Orangtuanya tak mampu dan tak berpendidikan. Jam 21.00 Raman sudah tidur karena dia harus bangun jam 02.00 dini hari. Bekerja menyiapkan segala sesuatu untuk memasak makanan. Usaha catering rumahan. Raman harus bekerja, mencari uang sendiri membiayai sekolah dan hidupnya. Untuk bisa bertahan hidup dan bisa bersekolah, rajin bekerja dalah keharusan. Tak ada alasan untuk malas.

Jam 06.00, Raman mudah sudah harus berangkat. Naik angkutan umum jenis elf dari Kampung Utan, Tambun ke Bekasi. Karena ngantuk yang sangat, duduk dalam angkutan umum dimanfaatkan Raman untuk tidur. Saking lelapnya malah kadang ia bablas sampai ke Kranji. Dibangunkan pak supir. Terburu-buru Raman turun.

Sampai sekolah, kadang gerbang sudah terkunci. Berhadapan dengan Pak Maman, Kepala Sekolah SMA I Bekasi, waktu itu, adalah hal biasa bagi Raman saat jam pelajaran pertama. Di gerbang sekolah, Pak Maman berdiri seperti Tembok Berlin. Tanpa senyum. Sisiran rambutnya bergaya betel. Rapih dan licin. Klimis. Plus kacamata setebal pantat gelas. Makin jadi kekakuannya.

“Kamu lagi, kamu lagi, mengapa kamu terlambat terus?”

Kalimat yang keluar dari mulut Pak Maman bagai gledek hingga tercekat di telinga dan dada Raman. Tak sanggup bicara dia. Meski begitu, dengan terbata, Raman yang berdiri seperti patung bernapas ini menjelaskan. Bahwa demi melanjutkan sekolah, dia harus bekerja disebuah usaha catering rumahan. Bangun tengah malam dan tidur kebablasan dalam angkot.

Kepada Pak Maman, Raman tunjukkan kesungguhan dan kejujurannya. Dia membayar lunas SPP yang sudah ditunggaknya enam bulan. Pak Maman begitu bangga padanya, memujinya dan memberikan apresiasi khusus ketika Raman bisa tunjukkan nilai-nilai terbaiknya.

Perjuangan Bang Raman sesungguhnya sudah dimulai ketika dia tinggalkan kampungnya menuju Jakarta sesaat setelah dia menerima ijazah SD. Supaya bisa belajar di SMP, Raman kecil harus hidup dengan menjadi tukang minyak keliling. Sepulang sekolah, dengan gerobak dan kaleng minya, Raman kecil masuk keluar pemukiman, menelusuri gang demi gang, menjajakan minyak.

Raman adalah anak cerdas. Buktinya dia bisa lolos dan diterima di SMA 1 Bekasi, Jalan Haji Agus Salim. Di SMA inilah saya bertemu Bang Raman. SMA kami adalah sekolah favorit di Bekasi. Di sini berkumpul anak dari semua latar belakang. Mulai dari anak bupati, anak pejabat, anak pengusaha, anak eksekutif, anak jawara, anak kiyai, anak pengusaha, anak petani, anak sopir, anak tukang becak dan anak orang tak mampu lainnya, seperti Bang Raman. Ada anak yang datang sekolah dengan mobil mewah, ada yang dengan motor gede, motor biasa, dengan sepeda, dengan angkot dan juga berjalan kaki. Sungguh sebuah perjuagan yang tidak ringan bersekolah di sini.

Bila waktu istirahat tiba. Bang Raman biasanya terburu-buru masuk masjid An Naba, masjid sekolah kami. Itu bukan karena dia sholeh bangat, tak selalu sholat dhuha, tak juga selalu membaca Qur’an. Tapi, itu adalah sebuah pelarian sekaligus sebuah jalan keluar. Hanya karena tak punya uang untuk jajan, menghindari kantin dengan datangi masjid. Bang Raman terpaksa sholeh. Terpaksa terlihat alim.

Hari ini, ketika Sekolah Alam Prasasati yang saya dan kawan-kawan persembahkan untuk masyarakat Bekasi berjalan, Bang Raman adalah “mata pelajaran” wajib bagi murid-murid saya. Sebagai figur pekerja keras, tak mudah menyerah dan rela bersakit demi masa depan yang lebih baik.

Pagi ini, ketika mendung masih bergelayut di Utara Kota Bekasi, saya kembali dikunjungi Bang Raman. Menjabat tangannya, memeluknya erat. Seketika, seperti ada butiran air hangat basahi kelopak mata saya.

Terimakasih Bang Raman, terimakasih sudah berkunjung. Terimakasih, hidupmu sungguh menginspirasi.

 

(Ditulis kembali oleh Darso Arief, tanpa merubah konten artikelnya)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur