Sebuah Tragedi 1981
Oleh : Didin Amarudin
Hari ini 25 Januari, 38 tahun lalu terjadi musibah yang memilukan yaitu terbakarnya KM Tampomas 2 di perairan Masalembo Sulawesi Selatan. Tragedi ini menewaskan 431 penumpang baik karena tenggelam maupun hangus terbakar.
Ada dua musisi yang mengabadikan peristiwa itu yaitu Iwan Fals dengan menulis lagu “Tampomas” dan Ebiet G. Ade dengan dengan menggoreskan syair “Sebuah Tragedi 1981” dalam album kelima “Langkah Berikutnya” (Jackson Record, tahun 1982).
Kalau Iwan Fals liriknya memotret keculasan pengadaan Tampomas 2, Ebiet mendeskripsikan secara apik kepahlawanan kapten Abdul Rivai, Sang Nakhoda.
Adalah insting manusia untuk menyelamatkan dirinya saat terjadi ancaman, namun tidak dengan Abdul Rivai. Rivai tidak meninggalkan kapal untuk menyelamatkan diri, namun ia berjuang maksimal untuk menyelamatkan penumpang sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan keselamatan dirinya.
Di saat yang lain sibuk menyelamatkan diri, Rivai
sibuk membagikan pelampung dan berteriak agar orang-orang yang takut dan ragu untuk segera terjun ke laut.
Tidak itu saja. Dalam kondisi genting ia masih sempat menyolati beberapa jenasah sebelum ia melemparkannya ke laut. Bahkan di detik-detik terakhir saat kapal mulai tenggelam, Abdul Rivai, kapten yang taat beribadah ini, masih terlihat berada di anjungan kapal sambil berpegangan pada jendela kapal, sementara para anak buah kapal sudah menyelamatkan diri satu jam setelah terjadi kebakaran.
Dan 27 Januari 1981 Rivai, di usia 44 tahun dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil, benar-benar tenggelam bersama tenggelamnya Tampomas 2 ke dasar laut.
Abdul Rivai benar-benar teladan.
Ia tidak saja pahlawan. Ia syuhada.
Ini syair kepahlawanan Abdul Rivai yang ditulis Ebiet G. Ade:
SEBUAH TRAGEDI 1981
Dia nampak tengah berdiri, gagah perkasa
Berteriak tegas dan lantang, ia nakhoda.
Sebentar gelap hendak turun
Asap tebal rapat mengurung
Jeritan yang panjang, rintihan yang dalam,
derak yang terbakar, dia tak diam.
Dia nampak sigap bergerak di balik api
Seperti ada yang berbisik, ia tersenyum.
Bila bersandar kepada-Nya
terasa ada tangan yang terulur.
Bibirnya yang kering serentak membasah
Tangannya yang jantan tak kenal diam
Bertanya kepada-Nya, ‘Mesti apalagi?’
Semua telah dikerjakan tak ada yang tertinggal.
Geladak makin tenggelam, harapan belum pudar
Masih ada yang ditunggu mukjizat dari-Nya.
Atau bila segalanya harus selesai
Pasrah terserah kepada-Nya.
Dia nampak duduk terpekur tengah berdoa
Ia hadirkan semua putranya, ia pamitan.
Tanggung jawab yang ia junjung
dan rasa kemanusiaan
ia telah bersumpah selamatkan semua
ia rela berkorban jiwa dan raga.
Di tengah badai pusaran air tegak bendera
Ia t’lah gugur begitu jantan, ia pahlawan.
Pengorbanannya patut dikenang, jasa-jasanya pantas dicatat
Taburkanlah kembang di atas kuburnya
Berbelasungkawa bagi pahlawan.”