Breaking News

Koran Melon

Oleh: Joko Intarto

Heboh pelarangan pengecer menjual LPG 3 kg alias gas melon mengingatkan saya pada pengalaman membangun distribusi koran Indo Pos di Jakarta, 21 tahun lalu. LPG dan koran memang dua produk yang berbeda. Tetapi distribusi barang menggunakan ilmu yang kurang lebih sama.

Harus diakui: membangun sistem distribusi koran di Jakarta bukan perkara mudah. Apalagi pada tahun 2000-an yang lalu, saat bisnis media cetak masih begitu menggiurkannya. Ditambah lagi, sudah ada pemain raksasa yang menguasai pasar koran di Jakarta.

Sebagai pemain baru, harian Indo Pos bukan koran harian pertama yang diterbitkan Jawa Pos Group di Jakarta. Sebelumnya sudah ada harian Merdeka (Rakyat Merdeka) dan Pos Metro. Namun, kedua koran itu tidak dianggap ancaman oleh penguasa pasar, karena target pembacanya berbeda.

Harian Merdeka adalah koran politik. Bukan koran umum. Tidak mengganggu pemimpin pasar. Sedangkan Pos Metro membidik pembaca yang menyukai berita kriminalitas dan hukum. Bersaing langsung dengan Pos Kota dan Warta Kota.

Pemimpin pasar itu baru benar-benar merasa terganggu ketika mendengar Jawa Pos Group akan menerbitkan harian Indo Pos. Kegagalannya mempertahankan dominasi pasar di Jawa Timur pada dekade 1980-an tampaknya masih membekas. Dahlan Iskan berhasil mengerek Jawa Pos menjadi koran nomor satu di Jawa Timur, sekaligus nomor dua nasional dalam waktu hanya lima tahun!

Maka, hingga beberapa pekan pertama, pemasaran Indo Pos di Jakarta begitu sulit. Sub agen dan loper bersedia menjual koran Indo Pos. Tetapi tidak ada satu pun agen yang berani mengageni. ‘’Risikonya terlalu besar,’’ kata agen.

Risiko itu berupa ancaman dari pemimpin pasar: kalau sampai mengageni Indo Pos, maka hak keagenan di koran market leader berikut media-media dalam groupnya akan dicabut.

Ancaman itu tampaknya sederhana. Tetapi bagi agen, hal itu sangat mengerikan. Bisnis mereka pasti ambruk, kalau sampai hak agennya dicabut. Sementara mengageni Indo Pos belum tentu berhasil dan kaya raya.

‘’Jangan dilawan. Kita gak akan kuat. Kita buat jaringan agen sendiri, yang hanya mendistribusikan produk-produk Jawa Pos Group,’’ kata Pak Dahlan Iskan.

Selain Harian Merdeka (Rakyat Merdeka) dan Pos Metro, Jawa Pos Group juga memiliki beberapa tabloid mingguan yang cukup laku saat itu, seperti Nyata, Bunda, X-File, Posmo, dan lain-lain. Sedangkan di kawasan sub urban ada Radar Bogor, Satelite News Tangerang, Radar Banten dan Radar Karawang.

Bagaimana Caranya?

1. Distribusi koran memiliki infrastruktur yang sederhana, yakni penerbit  agen  sub agen  pengecer/loper  konsumen.

2. Karena agen eksisting tidak berani mengageni Indo Pos, maka Indo Pos mengangkat banyak sub agen dan pengecer/loper menjadi agen. Penerbit tidak bisa melarang, karena mereka anak buah agen, bukan anak buah atau karyawan penerbit.

3. Untuk menjadi agen, mereka yang berstatus sub agen dan pengecer umumnya belum memenuhi syarat. Namun, syarat tersebut dilonggarkan. Misalnya, boleh bayar mundur. Agen langganan bayar bulan kedua. Agen eceran bayar hari ketiga.

4. Kesiapan dalam manajemen juga dikesampingkan, bahkan penerbit melakukan intervensi dengan mencarikan pelanggan, membantu mengatasi keluhan pelanggan, bahkan menyediakan loper cadangan.

5. Selain menggunakan jaringan distribusi eksisting, Indo Pos juga menawari semua karyawan menjadi agen di rumah masing-masing. Saya sebagai direktur utama juga memiliki agen Bernama Bahenol Agency dengan area distribusi Kelapa Gading, Pulomas, Rawa Mangun, Cempaka Putih, Sumur Batu dan Sunter.

6. Jaringan agen Indo Pos akhirnya menjadi back bone distribusi media Jawa Pos Group di seluruh Jabodetabek, hingga memasuki masa pandemi COVID-19 pada 2020 silam.

Bagaimana Agen Melon?

1. Distribusi gas melon saat ini dilakukan dengan struktur Pertamina (produsen gas melon)  pangkalan (agen)  pengecer  konsumen.

2. Jaringan distribusi eksisting itu dinilai tidak tertib dalam mendistribusikan produk gas melon yang bersubsidi karena menjual jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 12.000 per tabung di tingkat agen/pangkalan dan Rp 16.500 per tabung di tingkat pengecer.

3. Untuk menertibkan jaringan distribusi tersebut, pemerintah melarang pengecer menjual gas melon, mulai 1 Februari 2025.

4. Selanjutnya, pemerintah akan mengangkat pengecer sebagai agen (pangkalan), agar masyarakat bisa membeli gas melon dengan mudah seperti sebelumnya, namun dengan harga baru, yakni Rp 16.500 per tabung.

Apakah akhir heboh gas melon ini akan memunculkan penguasa jalur distribusi baru, seperti kelahiran jaringan agen mandirinya Indo Pos? Saya sarankan agar Anda gelar tikar. Dramanya masih akan panjang dan seru.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur