Oleh: Joko Intarto
Walau produknya ‘hanya’ tempe, ternyata butuh strategi juga dalam memasarkan. Menjual tempe tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Seperti apa?
Untuk lali pertama saya menerima laporan penjualan tempe Mbah Bayan dari warung-warung. Laporan sementara yang disampaikan Cuplis, penanggung jawab pemasaran, cukup menggembirakan.
Dari tiga warung yang menjual, dua di antaranya kehabisan stok. Produk tempe murni berbahan kedelai lokal Grobogan itu ludes dalam waktu sehari. Kemarin dikirim, tadi siang sold out. “Dua warung itu malah langsung minta dikirimi stok baru sekarang juga,” papar Cuplis.
Memang stok tempe yang dikirim ke warung-warung belum banyak. Setiap warung baru mendapat jatah 10 bungkus.
Saya minta Cuplis makukan pemantauan tren penjualan setiap warung hingga beberapa hari sebelum memutuskan apakah stok harus ditambah atau dikurangi. Jangan buru-buru mengambil keputusan. Lihat data penjualannya secara cermat.
Hari ini penjualan tempe Mbah Bayan mulai memasuki kota Purwodadi, ibukota Kabupaten Grobogan. Tempe dipasarkan melalui beberapa warung kecil yang menjual sembako.
Lokasinya memang masih sporadis karena produksi tempe masih dibatasi. Selain itu, tidak semua pemilik warung mau menjualkan, walau dengan sistem konsinyasi 5 – 1.
Tantangan dalam pemasaran memang sering bikin heran. Misalnya, warung itu jelas tidak menjual produk tempe. Sistem kerjasamanya konsinyasi yang tidak berisiko. Sistem pembayarannya 5 -1. Pada kiriman hari kelima, baru bayar penjualan hari pertama.
Pendek kata, hingga waktu tertentu, manajemen tempe Mbah Bayan menawarkan kerjasama yang sangat mudah. Syaratnya hanya punya warung sembako dan mau memasarkan saja.
Problem pemasaran di jalur warung sembako sudah teridentifikasi. Saya minta Cuplis menjajaki jalur pemasaran lainnya: warung makan dan pedagang gorengan.
Kelompok ini berbeda dengan warung sembako karena mereka membeli tempe untuk dijual dalam bentuk produk olahan. Apakah mereka juga punya resistensi terhadap produk tempe merk baru? Kita lihat seminggu ke depan.
Itulah senangnya punya bisnis sendiri. Selalu dihadapkan dengan masalah dan dipaksa untuk menemukan solusi. Tapi sebagian besar justru stres kalau menghadapi masalah. Mereka adalah orang-orang memilih aman dengan menjadi karyawan.