Breaking News
Satu rumah tahfidz di bilangan Senen, Jakarta. Seorang dermawan jadikan rumahnya sebagai pondokan tahfidz dan semua biaya santri dan guru ditanggungnya. Diregistrasi Yusuf Mansur sebagai bagian dari Daarul Qur'an. (Foto : Darso Arief)

Darul Qur’an, Mahal tapi Masih Minta Sedekah

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

Yusuf Mansur tak henti-hentinya meminta sedekah, sementara santri Daarul Qur’an dipungut bayaran yang sangat mahal (Foto: Istimewa)

Jumat pekan lalu, kami dapat kiriman permintaan “Sedekah Jumat Untuk Penghafal Al-Qur’an” dari Yayasan Darul Qur’an Nusantara yang didirikan oleh Yusuf Mansur. Muncul pertanyaan,untuk menjadi santri di Daarul Qur’an itu biayanya mahal, kok masih minta sedekah dari umat? Untuk mengetahui kiprah Daarul Qur’an di tengah masyarakat, mari kita bedah pesantren yang katanya mencetak para penghafal Quran itu.

Sekolah Formal

Ini berupa sekolah formal yang cita-citanya sekaligus mencetak para penghafal Qur’an. Pondok Pesantren Daarul Qur’an berdiri tahun 2003 di Cipondoh itu kini sudah punya cabang di Cikarang (khusus putri), Semarang, Lampung, Jambi, dan Banyuwangi. Di Cipondoh, sebagai pesantren pusat untuk laki-laki, tak kurang dari 1000 santri. Sementara di cabang-cabang, masing-masing punya santri sekitar 250 anak.

Menariknya, PP Daarul Qur’an yang ada di Cipondoh itu, dikelilingi oleh pondok-pondok pesantren Tahfidz yang dikelola dengan sangat sederhana. Berbeda dengan PP Daarul Qur’an yang berdiri megah di atas lahan yang luas.

Penulis bersama pimpinan sebuah pesantren di Karawang. Mengelola pesantren tahfisz secara mandiri. Daarul Qur’an Yusuf Mansur hanya sebatas spanduk dan nomor registrasi
(Foto : Darso Arief)

Yang tidak kalah menariknya, di Daarul Qur’an biaya masuknya cukup mahal untuk ukuran rata-rata penduduk Indonesia. Biaya untuk santri SD misalnya, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 40 juta dan SPP per bulan Rp 4 juta. Sedangkan untuk SMP dan SMA, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 31,5 juta, dan SPP per bulan Rp 2,7 juta.

Uang masuk itu lazimnya diprioritaskan untuk membangun gedung atau kelas. Dengan uang masuk Rp 40 juta per santri, cukup 2 santri bisa membangun satu kelas. Di Daarul Qur’an, ruang-ruang kelas justru minta sedekah dari para jamaah atau donator. Ini terjadi akhir 2019 lalu, dimana ada program untuk mendirikan 30 ruang kelas yang per kelasnya dibutuhkan dana Rp 81 juta. Untuk membangun ruang-ruang kelas ini Yusuf Mansur minta sedekah dari para jamaah.

Satu rumah tahfidz di bilangan Senen, Jakarta. Seorang dermawan jadikan rumahnya sebagai pondokan tahfidz dan semua biaya santri dan guru ditanggungnya. Diregistrasi Yusuf Mansur sebagai bagian dari Daarul Qur’an. (Foto : Darso Arief)

Pesantren-pesantren tahfidz pada umumnya, juga yang ada di sekitaran Daarul Qur’an di Cipondoh, kondisinya bersahaja, biaya yang dikeluarkan oleh wali santri hanya untuk keperluan santri sehari-hari dan itu pun tidak mahal. Bagi mereka yang tidak mampu, digratiskan. Justru di pesantren-pesantren yang nampak bersahaja ini telah menelorkan santri-santi yang benar-benar unggul dalam hafalan Al-Qur’annya.

Adapun santri-santri yang ada di Daarul Qur’an, hampir bisa dipastikan tidak ada dari kalangan tetangga-tetangga Daarul Qur’an sendiri. Mereka tidak mampu memasukkan anak-anaknya ke Daarul Qur’an, karena biayanya terlalu mahal. Mereka memasukkan anak-anaknya ke pesantren di sekitaran Daarul Qur’an, berbaur dengan anak-anak lainnya yang datang dari berbagai pelosok tanah air.

Taman Pendidikan Al-Qur’an

Selama ini, Yusuf Mansur selalu menjual nama Daarul Qur’an, sebagai pencetak para penghafal Al-Qur’an. Daarul Qur’an sudah tersebar di 21 provinsi dengan jumlah mencapai 1300 rumah tahfidz. Ada tiga model kerjasama antara pihak rumah tahfidz dengan Daarul Qur’an yang berpusat di Tangerang, Banten, tersebut.

Pertama, Pola Mandiri. Ini mulai dari sarana dan prasarana, dikelola secara mandiri. Mulai dari mencari dan memberi honor para ustadz sampai mencari santri. Pihak Daarul Qur’an hanya memberi panduan dan metodologi cara menghafal Qur’an. Mereka boleh mengedarkan proposal, tapi atas nama yayasan atau perkumuplan yang ada. Tidak boleh mengajukan proposal atas nama Daarul Qur’an. Jika pun mereka mengedarkan proposal atas nama Daarul Qur’an, maka hasilnya harus disetorkan pada Daarul Qur’an pusat.

Kedua, pola Mitra Mandiri. Pihak penyelenggara menyediakan sarana dan prasarana serta santri, sedangkan pihak Daarul Qur’an mensuplai ustadznya. Jadi, ustadznya akan ditanggung oleh pihak Daarul Quran. Metode menghafal Qur’an juga disiapkan oleh Daarul Qur’an.

Ketiga, adalah Mitra. Model yang ketiga ini, seseorang atau yayasan mewakafkan bangunan kepada pihak Daarul Qur’an, selebihnya pihak Daarul Qur’an yang akan mengelola rumah tahfidz tersebut. Jadi, dari santri sampai ustadznya, akan diurus dan didanai oleh Daarul Qur’an pusat.

Kini, pola mandiri yang dikembangkan. Dasar pemikirannya sederhana. Mereka, para pengelola yang ada di berbagai daerah itu, ingin mengelola sesuai dengan kemampuan yang ada. Lalu, bagaimana kondisi riil Daarul Qur’an yang ada di berbagai daerah tersebut? Karena mayoritas dikelola secara mandiri atau mitra mandiri, keadaannya pun beragam. Dari rumah tahfidz yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki sampai dengan yang bisa diakses dengan kendaraan roda empat. Kondisi fisiknya juga berbeda, dari yang bangunan modern sampai rumah dengan keadaan apa adanya, bahkan terkesan kumuh.

Para pengelola rumah-rumah tahfidz tersebut, terlihat keihlasannya. Mereka hanya memasang tarif minimalis, bahkan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Ada juga yang semua aktifitas belajar mengajar gratis semuanya. Jika ada kekurangan dana, mereka mencari dari sumber-sumber yang halal. Ada juga para pengelola rumah-rumah tahfidz tersebut yang merintis menjadi sebuah pesantren. Mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas dan mengabdi untuk memasyarakatkan Al-Qur’an. Daarul Qur’an di daerah-daerah ini lebih pas jika disebut sebagai Taman Pendidikan Al-Qur’an.

Oleh Yusuf Mansur, keihklasan para pengelola Daarul Qur’an daerah ini dimanfaatkan dan dikapitalisasi. Caranya, setiap rumah tahfidz diminta datanya, lalu, data tersebut yang dijual ke jamaah. Contohnya, beberapa tahun lalu, Yusuf Mansur sering berpromosi akan membuat 1000 rumah tahfidz dan mencetak 1 juta penghafal Qur’an. Saat ini, angka 1000 rumah tahfidz sudah terlampaui, karena jumlah rumah tahfidz sudah mencapai 1300 di seluruh tanah air. Jika dihitung dengan mereka yang belajar Al-Qur’an hanya untuk bisa membaca dan tilawah, jumlahnya bisa puluhan dan bahkan ratusan ribu. Di satu rumah tahfidz misalnya, santri penghafal Qur’an hanya ada 11 orang, sedangkan santri untuk membaca dan tilawah jumlahnya bisa mencapai 250 orang. Oleh Yusuf Mansur, data yang dikapitalisasi adalah data yang 250 orang tersebut.

Para pengelola Daarul Qur’an di berbagai daerah dan kota, baik itu yang mandiri, mitra-mandiri maupun mitra, telah bersungguh-sungguh mengelola Taman Pendidikan Al-Qur’an tersebut. Tetapi, mereka ini dikapitalisasi, dimintakan sedekah yang hasilnya untuk Daarul Qur’an pusat. Wallahu A’lam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur