Breaking News
Masjid Haram ditutp sementara akibat merebak wabah virus corona. Thawafpun berhenti sementara (Foto : Liputan6)

KA’BAH YANG “SALAH”

Oleh : Salim A. Fillah/@salimafillah

 

Masjid Haram ditutp sementara akibat merebak wabah virus corona. Thawafpun berhenti sementara (Foto : Liputan6)

Saya tidak tahu siapa yang pertama mencetuskan mitos bahwa thawaf ada hubungannya dengan keseimbangan bumi. Kita tidak mendapati dalilnya dari Qur’ an, Sunnah, maupun Aqwal Salaf. Dalam sejarah, telah sekira 40 kali Masjidil Haram ditutup dan ummatpun tak berhaji. Dan itu absah menurut syari’at demi kepentingan yang lebih besar. Rangkaiannya bisa dicek di postingan IG @jejakimani @jejakimani.yogyakarta.

Tentu kita berharap penundaan ini akan segera usai dan ummat dari segala penjuru bisa segera kembali bertamu pada Allah, menyusuri senyum dan airmata Rasulullah ﷺ.

Kali ini kita akan berkisah hikmah tentang Ka’bah. Banjir parah di Makkah itu terjadi sekira lima tahun sebelum bi’tsah dan turunnya wahyu pertama.

Dinding-dinding Ka’bah yang dibangun Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihimassalaam di atas pondasi aslinya turut rubuh. Al Walid ibn Al Mughirah, pemimpin Bani Makhzum memimpin pembangunan kembali rumah suci itu dengan meminta Quraisy menyumbangkan hanya harta halal mereka. Tetapi tipu-tipu, riba, penjualan barang haram, judi dan melacurkan budak menjadi bahagian besar pendapatan para pemuka. Maka betapa sedikit harta halal yang dapat mereka kumpulkan.

Akibatnya, menjadi jauh lebih kecillah Ka’bah yang dapat mereka bangun dibanding aslinya. Hijir Isma’il yang semula berkedudukan di dalam menjadi ada di luarnya. Bahkan nyaris pertumpahan darah terjadi saat Hajar Aswad hendak dipasang kembali, andai saja Al Amin ﷺ tidak menjadi pengadil yang ditaati. Pintunya pun lalu ditinggikan, dan tetua Quraisy mengatur siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak.

Lebih dari seperempat abad setelah itu, sembari bersandar mesra di pangkuan Ibunda kita ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah ﷺ menyampaikan isi hatinya sebagaimana dicatat oleh Imam Muslim.

“Kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kesyirikan, niscaya aku perintahkan untuk membongkar dan meratakan Ka’bah, serta membangunnya kembali di atas asasan yang dibina Ibrahim ‘Alaihissalaam. Kemudian pintunya aku buat menjadi sejajar dengan tanah setelah dulu kaummu meninggikannya dan membatasi sesiapa yang boleh masuk ke dalamnya. Dan aku akan membuat dua pintu baginya; pintu sebelah timur dan pintu sebelah barat. Lalu akan aku tambahkan untuk Ka’bah dari Hijir Isma’il sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya mereka menguranginya di saat membangunnya.”

Wasiat Rasulullah ﷺ ini disampaikan ‘Aisyah kepada para muridnya, termasuk putra saudarinya Asma’ yang amat beliau sayangi, ‘Abdullah ibn Az Zubair. Lelaki pemberani putra Hawari Rasulillah dan Dzatun Nithaqain ini kelak dibai’at menjadi Khalifah di Makkah sepeninggal Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, karena penunjukan Yazid di Syam beliau anggap tidak sah.

Sementara Yazid lalu digantikan Mu’awiyah ibn Yazid dan kemudian Marwan ibn Al Hakam memerintah dari Damaskus; daerah Hijjaz, Yaman, dan sebagian ‘Iraq tetap setia pada ‘Abdullah ibn Az Zubair. Dan salah satu hal yang beliau lakukan sebagai Khalifah adalah merombak Ka’bah sesuai hadits Ibunda kita ‘Aisyah. Maka Ka’bah kembali ke bentuk balok raksasa, bukan lagi kubus.

Roda sejarah berputar. ‘Abdul Malik ibn Marwan yang memerintah di Damaskus menginginkan persatuan kembali kaum muslimin di bawah satu khalifah. Pilihannya pahit memang; menyingkirkan ‘Abdullah ibn Az Zubair. Dari ‘Iraq, gubernur Al Hajjaj ibn Yusuf Ats Tsaqafi menyanggupi tugas itu dengan bersemangat. Dengan gegap gempita pasukannya mengepung Masjidil Haram. Manjaniq-manjaniqnya melontarkan batu-batu besar yang lagi-lagi merubuhkan Ka’bah. ‘Abdullah ibn Az Zubair gugur syahid, menggenapi sekira 120.000 lainnya korban Al Hajjaj yang dalam mimpi ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz semua diizinkan mengqishashnya di akhirat.

Al Hajjaj tak sudi membangun kembali Ka’bah yang seperti buatan ‘Abdullah ibn Az Zubair. Meski dikatakan berulangkali bahwa itu wasiat Rasulullah ﷺ, dia membangunnya justru seperti buatan Quraisy.

Roda sejarah berputar lagi. Khalifah Harun Ar Rasyid dari Daulah ‘Abbasiyah menghadap Imam Malik. “Bagaimana pendapatmu Ya Imam”, ujarnya, “Sekiranya kubangun kembali Ka’bah sesuai binaan Ibrahim, sesuai wasiat Rasulillah ﷺ, dan sesuai bangunan paman kami ‘Abdullah ibn Az Zubair?”

Imam Malik menjawab dengan berat, “Jangan lakukan itu Ya Amiral Mukminin.”

“Mengapa?”

“Aku khawatir setelahmu nanti datang penguasa lain yang membencimu, lalu dia robohkan Ka’bahmu dan bangun lagi berbeda, lalu datang lagi yang lain dan begitu seterusnya. Aku takut Baitullah ini akan menjadi permainan para penguasa.”

“Jadi?”

“Biarkanlah ia seperti ini. Agar tidak makin berkurang atau hilang wibawanya di dalam hati manusia.”

Fatwa Imam Malik ditaati oleh Harun Ar Rasyid. Maka jadilah Ka’bah itu seperti hari ini, yang dibangun Al Hajjaj sesuai bangunan Al Walid ibn Mughirah, bukan di atas asasan Ibrahim dan tak sesuai cita-cita Rasulillah ﷺ. Ia dibiarkan “salah” demi mencegah hal yang lebih buruk: menjadinya ia mainan para penguasa. Dan demi hajat yang lebih besar: menjaga wibawanya di hati manusia.

Hingga kini, fatwa Imam Malik berdasar “saddudz dzar’iah” atau ‘menutup pintu kerusakan’ ini diterima sebagai ijma’ kaum muslimin. Tak ada yang mempersoalkannya kecuali sebagai catatan saja. Tak ada pula yang sampai hati menyebut beliau “menyelisihi sunnah”.

Inilah keluwesan Fiqh itu. Ada yang lebih besar dari soal “tepat” atau “tidak tepat”. Ada ‘illat yang mesti dipertimbangkan dalam tiap penetapan hukum. Ada rasa-rasa yang harus dijaga di dalam dada manusia meski ada nash yang “terlanggar”.

Jika soal seakbar Ka’bah, rumah Allah dan kiblat muslimin sedunia saja ditoleransi, furu’iyyah fiqhiyyah yang lebih ringan dari itu tentunya mendapat tempat. Lapang dada pada sesama Ahli Kiblat adalah niscaya. Dan bersatunya ummat dengan sama-sama menggenggam tali Allah adalah hajat yang agung.

Ah, iya, ini tak kalah penting. Ada hikmah tambahan yang amat indah bagi kita dari fatwa Imam Malik ini. Yakni, kita dapat shalat di dalam Ka’bah tanpa perlu memasukinya. Ya, undangan Raja untuk masuk ke Ka’bah sangat terbatas. Maka shalatlah kita di dalam lengkung Hijir Isma’il; itulah bagian dalam dari Ka’bah yang terbuka. Terbuka bagi semua.

Semoga Shalih(in+at) semua dilimpahi rizqi menjadi tamuNya.

 

(Dari akun fb Salim A. Fillah)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur