Breaking News

Budaya Berpura-pura

Munafik/ilustrasi
Munafik/ilustrasi
Jika tak ada keberanian berkata benar maka sejatinya ia hidup tanpa mahkota.

thayyibah.com :: Berkata benar ketika tidak ada tekanan tentu mudah saja. Namun, bagaimana sulitnya berkata benar ketika di bawah tekanan kekuasaan dan atasan? Nabi berpesan, “Katakan yang benar walau pahit rasanya.” (HR Ahmad). Itu punya makna bahwa kebenaran itu harus ditegakkan, bagi dan oleh siapa saja! Kebenaran milik semua orang. Sekali lagi, milik semua orang dan bukan milik mereka yang berkelas, atasan, dan berkuasa saja.

Jika kebenaran di bawah kuasa seseorang, lalu yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar, itu munafik namanya. Orang munafik ancamannya jelas, yaitu keraknya neraka (QS an-Nisa’: 145). Maka, berkata benar itu perlu dilatih sejak kecil. Dibiasakan dan dipraktikkan dalam ruang keluarga dan ruang kantor di mana kita bekerja, tidak hanya dinasihatkan atau diceramahkan saja tapi minus praktik di lapangan. Jika hal ini tidak dibiasakan maka saya yakin tidak semua orang berani berkata benar.

Apalagi jika kebenaran itu menyangkut nasib seseorang baik menyangkut ekonomi, pekerjaan, kedudukan, jabatan, dan kekuasaan, sudah pasti orang akan lebih memilih bersikap aman dengan berkata sebaliknya alias membelakangi kebenaran. Inilah yang saat ini sedang kita saksikan marak bermunculan di mana-mana termasuk di media sosial (medsos), terutama jelang pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung). Atas nama kebohongan dengan dibungkus kepura-puraan, orang dengan mudahnya merayu dan membujuk agar mengikuti apa yang dijanjikan. Padahal, sejatinya itu hanya “rayuan gombal tanpa nalar”. Di sinilah integritas dan keberanian seseorang diuji.

Untuk apa pengetahuan tinggi, pendidikan tinggi, dan punya pengalaman banyak, tetapi tak mampu dan tak berani berkata benar? Untuk apa? Keberanian bagi orang pandai dan berpengalaman adalah mahkota. Jika tak ada keberanian berkata benar maka sejatinya ia hidup tanpa mahkota. Ia berkuasa tanpa kekuasaan, ia memimpin tanpa kepemimpinan, ia memerintah tanpa pemerintahan, dan ia ada tetapi sejatinya tidak ada.

Efek lanjutannya, kebenaran semakin dibuat absurd alias tidak jelas. Akibatnya, kita akan berada pada kondisi serba kepura-puraan, seperti pura-pura patuh, pura-pura bertindak, pura-pura baik, pura-pura taat, pura-pura melakukan, pura-pura senang, pura-pura mendukung, pura-pura semangat, dan pura-pura lainnya. Jadilah peradaban pura-pura (budaya pura-pura). Hasilnya pun juga penuh kepura-puraan. Kebaikannya pun juga penuh kepura-puraan. Kalau sudah begini, untuk menghentikannya perlu sosok berani berkata benar meski harus melawan atasan dan kekuasaan sekalipun.

Adakah sosok itu? Tentu ada. Hanya, jumlahnya semakin berkurang karena orang akan lebih banyak bermain aman untuk keselamatan hidup dan keluarganya. Karena itulah, melalui kolom ini saya menyeru kepada dunia pendidikan dan keluarga agar mendidik anak dan generasi muda menjadi generasi berani berkata benar dan takut berkata salah. Bagaimanapun, bangsa besar Indonesia harus dipimpin orang-orang yang punya mental berani agar mampu mengantarkan menjadi bangsa yang disegani di dunia. Bukan sebaliknya!

Ingat pesan Nelson Mandela, pejuang pemberani yang sampai saat ini harum namanya karena keberaniannya: “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear,” (Saya belajar bahwa keberanian timbul bukan karena tidak adanya rasa takut, tetapi kemenangan atas (rasa takut) itu. Orang pemberani bukanlah orang yang tidak merasa takut, tetapi dia yang mengalahkan ketakutan).

Sumber: republika

About A Halia