Risma, Walikota Surabaya (Foto : Kompasiana)

Dari Kasus Pelaporan Risma

Deden F. Radjab (Gerakan Memilih Pemimpin Amanah/My Sharing)

 

Risma, Walikota Surabaya (Foto : Kompasiana)

Ada dua kejadian yang menarik perhatian masyarakat saat ini soal Kota Surabaya, pertama soal banjir yang sering terjadi di Surabaya yang anehnya seperti ditutupi oleh media massa, dan yang kedua adalah soal pelaporan seorang netizen yang dianggap menghina Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Netizen tersebut bernama Zikria Dzatil, seorang ibu rumah tangga dengan 3 anak yang masih kecil dan bahkan masih menyusui.

Saat netizen tersebut ditanggap, kita bisa melihat betapa para Ahoker, cebonger, dan turunan, seakan gegap gempita menghakimi. “Ayo Bu Risma, jangan kasih ampun!! Langsung bui, biar busuk dipenjara! Mampus loe! Rasain loe!” dan nada bullyan dan hinaan lainnya yang ditujukan kepada sang netizen, Zikria Dzatil.

Jujur, saya langsung merasa miris dengan kejadian ini.Tapi kini kasus pelaporan tersebut memasuki babak baru, setelah sebuah surat laporan pengaduan ditujukan kepada Ombudsman RI Jawa Timur, terkait dengan kasus ini, beredar.

Dalam surat itu Risma selaku Wali Kota Surabaya dianggap telah menyalahi ketentuan terkait pelaporan. Selain itu pihak kepolisian yang menangkap Zikria Dzatil juga dianggap melakukan tindakan cacat hukum.

Dalam surat dijelaskan bahwa pasal penghinaan pejabat negara telah dihapus. Hal itu didasarkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi 31/PUU-XIII/2015 tentang Judicial Review Pasal 319.

Yang intinya pasal penghinaan pada pejabat negara dihapus maka kedudukan pejabat negara setara dengan masyarakat biasa, dimana pasal tentang penghinaan negara adalah delik aduan.

Untuk itu jika ada pejabat negara yang merasa dihina, maka ia harus melaporkan secara pribadi, bukan menggunakan fasilitas negara. Karena hal itu dianggap penyalahgunaan fasilitas negara dan wewenang untuk kepentingan pribadi. Dengan begitu jika Risma merasa dihina maka dia harus melaporkan sendiri secara pribadi atau dikuasakan kepada penasihat hukumnya, dengan biaya pribadi. Dalam pelaporan ini, kasus Risma dikuasakan kepada Kabag Hukum Pemkot Surabaya, Ira Tursilowati, hal tersebut jelas melanggar aturan sebagai pejabat negara.

Dengan kata lain Tri Risma selaku Walikota telah menyalahgunakan wewenang jabatannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

Tindakan cepat polisi yang menangkap terlapor Zikria juga cacat secara hukum, karena menahan seseorang tanpa dasar hukum. Polisi dianggap melakukan penyalahgunaan wewenang dalam penangkapan itu.

Terkait laporan ke Ombudsman ini, baik Risma maupun kepolisian seakan berkongsi untuk saling mengiyakan dan saling sepaham. Risma beralasan bahwa dia melaporkan kejadian tersebut atas dirinya pribadi dan tidak menyalahi aturan. Yang jadi pertanyaan, apakah di kota Surabaya tidak ada lagi ahli hukum yang bisa anda gunakan untuk mengawal kasus anda ini Bu Risma? Dan kenapa harus menggunakan Kabag Hukum Pemkot Surabaya?

Pertanyaan sederhana lainnya, jika anda bukan seorang Wali Kota dan hanya rakyat biasa, apakah Kabag Hukum Pemkot Surabaya mau mengurusi kasus anda bu Risma? Sudah pasti 100% itu tidak mungkin dan itu mustahil.

Itulah yang namanya penyalahgunaan kekuasaan bu Risma. Karena anda wali kota lah maka pejabat hukum Pemkot mau mengurusi kasus remeh temeh anda. Ada nuansa dan pengaruh jabatan anda di sana walaupun anda tidak mengakui. Tanpa Anda bicara pun masyarakat pasti menilai.

Begitu pun dari kepolisian yang beralasan bahwa pihaknya sudah berjalan sesuai prosedur dan mengatakan bahwa dalam kasus ini ada dua pidana, murni dan delik aduan, dua duanya diproses. Delik murni, ialah delik tanpa permintaan menuntut, polisi akan segara bertindak untuk melakukan pemeriksaan. Sedangkan, delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan orang yang dirugikan.

Kalau alasannya seperti itu, kenapa polisi tidak bertindak saat masyarakat diresahkan dengan provokasi-provokasi dan penghinaan terhadap Islam yang dilakukan oleh Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando, dan gerombolannya yang sejenis, padahal bukan sekali dua kali masyarakat, umat Islam bahkan tokoh yang melaporkan mereka ke polisi? Atau kenapa polisi juga tidak langsung melakukan tindakan Delik Murni terhadap para penghina Anies Baswedan yang bahkan berkali-kali lipat lebih biadab dibandingkan kasus Risma? Kenapa dikasus Risma polisi begitu reaktif? Begitu gerak cepat? Begitu bersemangat? Begitu di-anak-emaskan? Apakah karena dia berasal dari partai penguasa? Apakah karena dia sedang berkuasa? Atau karena dia berada dikubu rezim penguasa?

Setelah masuknya laporan tersebut ke Ombudsman, pemberitaan soal kasus pelaporan Risma ini yang tadinya begitu garang, seperti layu ditengah jalan. Tiba-tiba Risma mengumumkan telah memaafkan pelaku, dan bahkan menghimbau warga Surabaya untuk ikut memaafkan. Dengan ini Risma seakan ingin memberi kesan bahwa kasusnya didukung oleh seluruh rakyat Surabaya. Seakan kasusnya merupakan kasus seluruh rakyat Surabaya, dan seakan dia ingin menanamkan kesan bahwa menghina dia sama dengan menghina seluruh rakyat Surabaya?

Saya berharap anda tidak sedang berwaham, bu Risma, karena yang melaporkan anda ke Ombudsman diketahui merupakan rakyat Surabaya. Yang melaporkan kesewenang-wenangan kasus anda ke Ombudsman adalah warga dan rakyat anda sendiri, lalu benarkah anda didukung oleh semua? Semoga anda tidak dalam kondisi meyakini sebuah delusi.

Terkait kasus pelaporan penghinaan ini seakan sangat ironis jika kita membuka rekam jejak sang Wali Kota. Risma merasa sangat terhina karena dia disebut seperti seekor kodok di medsos, dan langsung mempolisikan si netizen, tapi apakah dia pernah instrospeksi diri?

Dalam banyak jejak digital yang sudah tersebar di medsos dalam bentuk rekaman video, Risma pernah mencaci maki anak buah atau stafnya dengan bentakan yang sangat kasar, Guoblokk,,.!! Katanya, dan bentakan kasar bernada hinaan lainnya. Bukankah itu lebih menyakitkan dibandingkan dengan hinaan oleh seorang netizen di medsos? Apakah Risma pernah berpikir bagaimana sakit hatinya orang yang dia bentak dan hina tersebut?

Mungkin karena si anak buah takut dipecat, dia akan diam, tapi mereka juga punya anak, istri dan keluarganya. Melihat bagian dari keluarga mereka yang anda hina-hina secara terbuka seperti itu, sama saja anda menyakiti seluruh keluarganya.

Saya seorang karyawan swasta. Ditempat saya bekerja, mau setinggi apapun jabatan seorang atasan, dan semarah apapun dia, tidak boleh mengeluarkan kata-kata kasar dan hinaan, karena sekali dia melakukan serangan verbal yang dianggap menghina, bisa terkena laporan bahkan dipecat.

Apalagi anda bu Risma, Wali kota merupakan jabatan publik, gaji dan semua fasilitas yang anda gunakan dari ujung kepala sampai ujung kaki berasal dari pajak rakyat, lalu bagaimana bisa anda begitu reaktif dengan kritikan rakyat? Menjadi pejabat artinya anda harus siap menerima pujian dan juga hinaan. Jangan anda hanya senang dipuji dan langsung mempolisikan siapapun yang dianggap menghina anda.

Karena kalau itu anda lakukan, benar-benar anda tidak pantas menjadi seorang pemimpin. Seperti sebuah blunder, kasus ini juga seperti menampar wajahnya sendiri. Niat hati mungkin untuk mendapat dukungan, para netizen dan rakyat justru malah terpancing untuk membuka rekam jejak dan rekam digital Risma, dan hasilnya? Ehhmm ternyata anda juga…

Dari kasus ini, kita hanya bisa melihat apakah Ombudsman bisa bertindak objektif? Atau apakah sama seperti sebuah adagium yang banyak dipakai oleh para netizen saat ini, yaitu “Jika palu hakim diberikan kepada anjing, maka hukum hanya milik tuannya”

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur