Breaking News

SUARA HATI ANAK KAMPOENG

Awas! Komunis Bangkit

Oleh : Tarmidzi Yusuf

 

 

Era 1980 hingga 1990 pergolakan sosial politik tidak sehiruk pikuk sekarang. Sebagian orang menstigma rezim orde baru “otoriter”. Uniknya, rakyat hidup serba mudah dan murah. Sekolah murah. Naik angkot murah. BBM murah. Listrik murah. Berobat murah. Perjalanan antar kota murah kendatipun tiket pesawat selangit. Orang naik pesawat kaya banget. Walau di Sumatera tinggal di kampoeng. Akses ke ibu kota propinsi jalan aspal. Kawasan transmigrasi ekonomi bergerak. Penduduk asli dan pendatang membaur. Tidak ada sentimen sara. Hidup aman dan bersahabat.

 Pertama menginjakkan kaki di ibu kota. Kagum. Masyaallah tabarakallah. Jalan tol bertingkat seperti di Tomang tidak ditemui di Sumatera. Pembangunan infrastruktur pesat dan luar biasa. Jauh dari politisasi seolah-olah pembangunan hanya oleh rezimnya sendiri.

 Demikian pula ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung. Rakyatnya ramah, lemah lembut dalam bertutur kata dan sopan dalam pergaulan. Hidup dihawa yang dingin dan sejuk. Kini panas dan gersang. Masyarakatnya pun sedikit berubah tidak seramah dan selembut tahun 1980-an. Dulu orang kota berbahasa sunda. Sekarang orang kota bahasanya lo dan gue. Sedih dan prihatin. Rindu suasana Bandung tempo doeloe. Kota bagai kwali karena dikelilingi oleh pegunungan.

 Kita patut berterima kasih pada Pak Harto. Presiden RI ke-2. Pak Harto tidak memberikan ruang bagi paham komunis berkembang di Indonesia. Komunis ketika itu benar-benar menjadi musuh bersama. Bukan musuh rezim saja tapi musuh seluruh rakyat. Bahaya laten komunis hampir tiap hari didengungkan oleh rezim. Tidak ada yang berani menampakkan ke-komunisan-nya kecuali melalui gerakan bawah tanah. Sembunyi dan mengendap-ngendap agar tak terdeteksi intelijen.

 Pasca era reformasi semua terbalik 360 derajat. Orang tidak takut lagi bicara paham komunis. Ada kekuatan besar dibelakangnya. Bahkan komunis secara nyata telah tampak ke permukaan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Sebuah paham yang mengancam Indonesia. Mengancam Pancasila dan NKRI. Orang berbeda paham dan pilihan politik oleh antek-antek komunis dicap anti Pancasila. Komunis merasa lebih Pancasilais padahal anti Pancasila.

 Yang mengagetkan justeru sebaliknya. Ketika ada orang berbicara tentang bahayanya Komunis, dipersekusi, dikriminalisasi bahkan dipenjara seperti kasus Ustadz Alfian Tanjung. Dunia benar-benar terbalik. Dulu Komunis musuh bersama. Kini melalui “tangan-tangan” tersembunyi telah mengancam ideologi bangsa. Persatuan terbelah. Islam diframing ancaman bersama seperti Komunis pada zaman Orde Baru.

 Semua kompak. Persis seperti Orde Baru. Komunis menjadi ancaman. Semua takut bicara Komunis. Kini, Islam diframing musuh bersama. Islam disejajarkan dengan Komunis. Dulu orang takut bicara Komunis. Sekarang orang bicara Islam dengan berbagai stigma. Garis keras, tukang bom, radikal, teroris, intoleran hingga anti keragaman.

 Era Orde Baru hampir semua institusi dikontrol. Membendung bangkitnya Komunis. Sentralistik. Kritik pada zaman Orde Baru kini berulang. Segala upaya dilakukan membendung kebangkitan Islam. Predikat buruk dan mengerikan disematkan pada Islam.

 Di zaman yang katanya reformasi ternyata telah berubah menjadi repotnasi. Sembako mahal. Listrik mahal. Biaya hidup tinggi. Pendidikan hanya untuk orang berduit. Kesehatan mahal. Hidup serba sulit dan mencekik.

 Kita merindukan era 1980-an walaupun kita tidak bebas bicara. Karena demokrasi tidak mengenyangkan perut rakyat. Demokrasi hanyalah dagangan politik. Bahkan demokrasi menjelma menjadi “tuhan” baru. Seolah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia buah dari demokrasi. Standar kemajuan sebuah bangsa diukur dari demokrasi. Justeru dengan demokrasi, orang bodoh dan jahil bisa jadi Presiden. Orang berpaham komunis bisa jadi anggota parlemen dan menteri. Disinilah kesalahan besar demokrasi; suara penjahat dan suara orang baik dinilai sama. Parameter kebaikan manusia bukan pada iman dan taqwa tapi pada suara dan modal untuk mendulang suara.

 Kita merindukan pemimpin untuk semua. Pemimpin menyatakan perang terhadap komunis. Adil dan proporsional terhadap semua agama. Tidak hanya retorika. Ucapan dan kebijakannya terbukti anti komunis.

 Komunis bukan lagi bahaya laten. Ancaman itu kini ibarat kanker sudah stadium empat, benar-benar telah bangkit dan siap menerkam. Waspada dan sadarlah sebelum terlambat dan menyesal.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur