Breaking News
Sembilan hakim MK ini yang memutuskan sengketa Pilpres 2019 (Foto : Istimewa)

Quo Vadis MK

Sembilan hakim MK ini yang memutuskan sengketa Pilpres 2019 (Foto : Istimewa)

 

Oleh: Refrinal Darlis

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat putusan tentang sangketa Pemilihan Umum (Pemilu) dengan Pemohon Badan Pemenangan Pemilu (BPN-02), Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pihak Terkait Tim Kampanye Nasional (TKN-01) dimana dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menolak seluruh Dalil yang disampaikan BPN-02 tanpa kecuali berkenaan dengan dugaan kecurangan Pemilu yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), Maka dengan demikian MK mengukuhkan keputusan KPU yang memenangkan Jokowi-KMA secara mutlak tanpa cacat dan tanpa keraguan.

Keputusan MK yang beranggotakan sembilan Hakim ini bahkan tanpa Disenting Opinion artinya kesembilan hakim yang komposisinya 3 hakim ditunjuk oleh Presiden, 3 Hakim ditunjuk oleh DPR dan 3 hakim ditunjuk oleh Mahkamah Agung sepakat menolak seluruh dalil TSM BPN-02 tanpa catatan sama sekali, dengan demikian meneguhkan bahwa Pemilu 2019 berlangsung jujur dan adil.

Jika menyimak sedari awal jalannya persidangan maka secara psikologis sangat terbaca bahwa kesembilan hakim sudah menyiratkan ketidakadilan bahkan dari keseluruhan sisi dan aspek dan menjadikan pihak termohon dan pihak terkait sebagai pihak yang diatas angin, bahkan jika dilakukan pembobotan atas seluruh jalannya sidang secara kualitatif sangat jelas bahwa sangat banyak fakta yang diabaikan oleh para hakim, bahkan mengabaikan keterangan para saksi fakta dan saksi ahli yang diajukan oleh BPN, dan tak satupun yang dijadikan sebagai materi dasar untuk membuat pertimbangan, padahal para saksi dengan sangat komprehensif telah menyampaikan tentang kejanggalan-kejanggalan yang terjadi bahkan sebelum proses pemilihan umum dilakukan. MK bahkan menolak seluruh keterangan tentang kejanggalan DPT, yang baru ditetapkan KPU 21 Mei 2019 padahal pencoblosan telah dilakukan sejak 17 April 2019. MK bahkan mengabaikan keterangan saksi ahli BPN yang memaparkan hasil pemeriksaan forensik atas form C-6 yang dijadikan sebagai dasar perhitungan yang penuh dengan kejanggalan.

Berbeda halnya dengan perlakuan MK atas saksi TKN dan KPU, yang bahkan seluruhnya diserap bahkan tanpa validasi dan tanpa verifikasi, sedemikian rupa sehingga menerima dan menelan mentah seluruh keterangan saksi TKN dan KPU, walau banyak kebohongan terjadi disana, seperti saksi ahli yang mengakui sebagai arsitek Situng KPU, dan saksi ahli lain yang ternyata cacat literatur berkenaan dengan analogi kisah pada masa Rasulullah, tidak bisa membesakan antara Yahudi dan Kafir Quraish, tidak bisa membedakan kisah itu terjadi pada Khalifah Umar atau Usman, bahkan tak bisa menelaah bahwa kisah itu terjadi setelah Rasulullah Wafat, padahal saksi Ahli menceritakan sebaliknya. Kedua saksi ahli tersebut adalah Professor dibidangnya masing-masing, namun MK mengabaikan aspek moral dan integritas kedua saksi ahli tersebut, karena ketika satu kebohongan itu terjadi maka selain melanggar sumpah juga cacat moral dan cacat integritas. MK pun bahkan mengabaikan keterangan saksi fakta TKN yang ternyata menguatkan keterangan saksi fakta BPN, dan tak menjadikannya pertimbangan sama sekali.

MK bahkan menyatakan bahwa tak ada yang dilanggar oleh KMA berkenaan dengan kedudukannya sebagai Ketua Dewan Pengawas di dua Bank Syariah, padahal Mahkamah Agung menyatakan bahwa kedua bank tersebut adalah Bank Syariah, bahkan dalam berbagai business process yang terjadi seharusnya MK memahami bahwa kedua bank syariah tersebut adalah BUMN, dan bukankan penetapan Direksi dan Komisaris dilakukan oleh Menteri Negara BUMN?

MK bahkan menjadikan jawaban Tim Hukum TKN dan KPU sebagai materi jawaban untuk menolak seluruh dalil BPN tanpa kecuali, walau dikemas dengan bahasa hukum, namun sungguh, bahwa yang terjadi seakan-akan bahwa sebenarnya keputusan itu sudah ada sebelum sidang sengketa pemilu dilakukan. Semoga dugaan ini salah.

Apa yang terjadi dengan MK? Walaupun Ketua MK menyatakan bahwa mereka mempertanggungjawabkan hasil keputusan tersebut pada ALLAH, namun menelaah keseluruhan transkrip putusan justru sebaliknya, kesembilan hakim telah menafikkan kesahihan dan memurahkan nama Tuhan dengan sangat murah, hanya untuk tujuan meyakinkan publik bahwa keputusan tersebut mereka ambil dengan mengedepankan azas keadilan yang seadil-adilnya, namun yang terjadi MK gagal meyakinkan publik tentang keseluruhan itu.

MK telah gagal menjadi penjaga gawang sekaligus wasit pada Pemilu 2019, bahkan dengan mengesampingkan track record seorang Hakim MK dimasa lalu yang kontroversial. MK telah melegitimasi sebuah proses pemilu yang berlangsung penuh dengan kecurangan, dan telah merampas keinginan sebagian besar warga negara republik ini yang menginginkan perubahan dan berikhtiar memilih seorang presiden baru yang dipilih melalui proses-proses yang jujur dan adil.

MK bahkan hanya menjadikan diskusi diantara mereka sebagai dasar pertimbangan utama, dan bahkan tak mengundang ahli independen untuk menguji sebuah keterangan dan bukti, MK telah melampaui segala kemampuan untuk menetapkan sebuah keadilan dan kejujuran dan mentransformasikan menjadi keputusan berdasarkan kesepakatan diatas meja, tanpa pernah menguji, bahkan tidak melibatkan kepolisian untuk menyelidiki keseluruhan video dan barang bukti, pun tidak melibatkan ahli independen satupun untuk membuktikan keseluruhan dalil dan langsung menolak dalil secara keseluruhan tanpa kecuali.

Negara ini kedepannya akan dihadapkan pada legitimasi pemilu yang menghasilkan pemimpin dari proses-proses yang tidak punya legitimasi, dan secara Moral MK bertanggung jawab dunia dan akhirat atas apa yang mereka putuskan itu, dan kelak akan mereka pertanggungjawabkan dihadapan ALLAH yang merupakan atasan mereka, walau sangat sulit untuk mendalilkan bahwa MK bebas atas segala bentuk intervensi dan kepentingan.

Perjalanan bangsa ini akan semakin rumit ke depan, karena dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang memiliki legitimasi rendah, bahkan bisa dikatakan terendah sepanjang sejarah demokrasi negara ini. Masalah terbesar bangsa ini selain ketimpangan hukum, hutang yang menumpuk, pengangguran yang tinggi, kesenjangan sosial, impor hampir seluruh produk pangan, kagagalan diplomasi presiden dalam diplomasi dunia karena masalah bahasa, ketidakkonsistenan roadmap tujuan pembangunan bangsa, banyaknya BUMN yang kolaps, tenaga kerja asing, pertumbuhan ekonomi yang buruk, daya beli yang kian rendah, angka kemiskinan yang meragukan menurun, kapasitas dan kapabilitas pejabat, diskriminasi dan kriminalisasi atas ulama dan masih sangat banyak jika diurut, maka negara ini lima tahun ke depan akan dihadapkan pada tantangan perpecahan antar masyarakat karena sangat sedikitnya tokoh bangsa yang bisa dijadikan suri tauladan baik dari perkataan, tindakan maupun perilaku. Negara ini selain akan mengalami krisis kepercayaan dan sosial, juga akan mengalami krisis moral yang kian akut, dan sepertinya akan sulit ditautkan dan dijahit karena berawal dari kemarahan dan kekecewaan atas ketidakadilan yang terpapar secara kasat mata.

Akan butuh sangat besar energi untuk merajut kembali, bahkan negara ini berpotensi mengalami shut down secara ekonomi, karena keseluruhan varabel mengindikasikan kegagalan pemerintah menjadikan rakyat sebagai subjek pembangunan dan pemerintahan, dan terus menerus menjadikan rakyat sebagai objek yang tak banyak punya pilihan.

Maka setahun ke depan pemerintahan ini akan bertaruh dan mempertaruhkan segalanya, untuk memperbaiki indeks kepercayaan dan bekerja dengan output-output terukur untuk mengatasi defisit legitimasi, paling tidak denga menurunkan harga-harga komponen dasar termasuk listrik, tol, BBM dan lainnya serta menampatkan orang-orang profesional yang benar-benar mampu bekerja untuk meraih simpati publik dan meningkatkan indeks kepercayaan dan indeks legitimasi pemerintah ini, yang memang sangat kritis..

Dan hal yang tak kalah penting yang menjadi prioritas pemerintah setahun kedepan adalah memperbaiki harga diri bangsa dan negara, mengembalikan semuanya sehingga negara ini kembali menjadi negara yang disegani, mampu menjaga harta dan uang negara tidak mengalir keluar, membuat roadmap pengurangan hutang menuju nol, menghilangkan pengaruh asing pada keseluruhan business process di negara ini.

Walau tidak ringan, namun hanya itu yang akan bisa membuat kekecewaan itu terkonversi menjadi kekecewaan yang tak lama atas rakyat, paling tidak bisa meredakan kemarahan yang terpapar masif.

Kembali ke asal pembahasan, MK tidak akan bisa lepas tangan atas apa yang terjadi lima tahun ke depan, apapun yang terjadi MK berkontribusi dan bertanggung jawab secara moral, karena MK telah memfasilitasi lahirnya sebuah pemerintahan yang berlegitikasi rendah.

Quo Vadis Mahkamah Konstitusi RI, Biarlah ALLAH mencatatkan seluruh hasil perbuatan anda, apakah akan menghasilkan pahala jariyah atau dosa jariyah, maka semua kini menjadi domain pemilik kehidupan ini, Hakim yang Maha Adil. Innaa lillaahi Wa innaa ilaihi Rooji’un

 

Refrinal Darlis (Anggota Fraksi PKS DPR-RI 2014-2019, Praktisi Riset Pemasaran & Strategi, Dosen Tidak Tetap UNJ)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur