Breaking News
Sidang perdana gugatan Pilpres 2019 di MK, Jumat 14 Juni (Foto : Kompas)

Mahkamah Penjaga Konstitusi, Bukan Penjaga Angka

Sidang perdana gugatan Pilpres 2019 di MK, Jumat 14 Juni (Foto : Kompas)

thayyibah.com :: Di dalam konsep Negara hukum kepastian hukum dan keadilan merupakan prinsip utama yang harus diwujudkan oleh negara. Demokrasi tumbuh di bawah perintah hukum dan konstitusi, untuk memastikan terselenggaranya demokrasi yang langsung, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah mengatur mekanisme pelaksanaan hukum dan demokrasi itu dengan lengkap dan ketat. Sehingga dalam penengakan hukum dan pelaksanaan demokrasi harus berjalan sesuai dengan rel konstitusi.

Artinya UUD 1945 tidak memberikan ruang pelaksanaan demokrasi yang tidak jujur dan tidak adil. Apabila ketidakjujuran dan ketidakadilan tersebut terjadi, maka hukum memerintahkan untuk menghukum pelaku tersebut, sekecil apapun pelanggaran yang ia lakukan.

Hukum tidak memberikan ruang bagi kecurangan dan ketidakjujuran serta ketidakadilan itu tumbuh dan berkembang dalam demokrasi pancasila. Karena itu, Kesalahan yang di buat oleh termohon (KPU) maupun terkait (Paslon 01) – dalam PHPU di MK – tidak bisa di barter dengan angka, melainkan harus di dalilkan sebagai pelanggaran hukum.

Karena itu, kalau terjadi pelanggaran hukum, Mahkamah harus memutuskan sesuai dengan kesalahan, bukan sesuai dengan angka. Hukum Indonesia tidak memberikan ruang sekecil alapun untuk melakukan pelanggaran dan kecurangan. Itulah yang harus menjadi dalil Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan wakil Presiden yang sedang diperiksa Mahkamah.

MK Sebagai Penjaga Konstitusi disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD menyebutkan “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.  Tugas daripada kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah untuk memastikan tegaknya hukum dan keadilan.

Disinilah pentingnya antara penegakkan hukum dan keadilan ini ditegakkan dalam satu nafas. Menegakkan hukum harus memastikan adanya keadilan, sehingga hukum tidak dijadikan alat untuk pihak-pihak tertentu, melindungi kelompok tertentu dan menghukum kelompok yang lain.

Dengan prinsip hukum dan keadilan tersebut, menjadi dasar MK memeriksa PHPU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jadi MK bukan hanya sekedar membuat kepastian hukum, tetapi MK juga juga harus memastikan keadilan itu terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mahkamah harus berani keluar dari tradisi yang mengadili hasil berdasarkan angka-angka. Pemeriksaan perkara Mahkamah Konstitusi wajib berpedoman pada konstitusi bukan pada angka. Menurut Pakar Hukum Tatanegara Yusril Ihza Mahendra (sekarang sebagai: Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf Amin) “Hasil Pilpres bisa dibatalkan Jika ada kecurangan, Bukan persoalan angka”. Oleh karena itu, Yang menjadi fokus Mahkamah adalah pelanggaran konstitusional, bukan perolehan angka suara pemilu. Bukankah MK selalu mengatakan dirinya sebagai The guardian of The Constitution?

Artinya MK menklaim bahwa ia merupakan penjaga konstitusi. Berarti MK harus memeriksa perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pandangan konstitusi. Prinsipnya terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Asas Luber dan Jurdil ini merupakan asas yang telah lama diperjuangkan, termasuk Partai saya dulu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Asas Luber dan Jurdil adalah asas konstitusional. Untuk memasukkan asas itu dalam pemilu selama orde baru sangat sulit. Namun asas itu baru dituangkan dalam norma konstitusi setelah reformasi, dan itu merupakan capaian demokrasi dan terwujudnya kedaulatan rakyat yang paling mendasar. Sebab di zaman Orde Baru Jujur dan Adil itu masih menjadi sebatas wacana, belum menjadi norma. Setelah Reformasi asas Luber dan Jurdil dalam pemilu dituangkan dalam bentuk Norma Konstitusi.

Sehingga dengan norma tersebut, Demokrasi dan kedaulatan rakyat dibangun atas dasar nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Kedaulatan rakyat juga tidak akan terwujud apabila kejujuran dan keadilan tidak diselenggarakan oleh negara. Sehingga  asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan akan sulit diwujudkan.

Untuk mewujudkan equlity before the law adalah dengan jalan menegakkan kejujuran dan keadilan dalam bingkai demokrasi Indonesia dibangun perdasarkan lima sila dalam Pancasila itu, yang nilai-nilainya berdasarkan pada Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan beradab. Apabila demokrasi dikotori dengan kecurangan, ketidakjujuran dan ketidakadilan, sekecil apapun itu, UUD memberikan perintah kepada Mahkamah untuk mengadilinya dan menyatakan benar itu benar dan salah itu salah.

Mahkamah harus menghindari pembayaran kesalahan atau kecurangan dengan angka perolehan suara pemilu. Sebab kecurangan  bukan untuk dibayar dengan angka-angka perolehan suara dalam pemilu, tetapi berdasarkan pada norma dan kaidah hukum yang berlaku. Tegasnya, siapapun yang salah (curang) wajib dihukum. Hukuman bisa berupa diskualifikasi dan pembatalan hasil pemilu.

Karena itulah, Mahkamah harus memeriksa dan mengadili perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini berdasarkan asas pemilu yang konstitusional, bukan sebatas angka-angka belaka. Sekiranya MK hanya mensengkatakan angka, maka asas dan norma Konstitusi tentang pemilu tidak memiliki arti sama sekali, karena yang di persoalkan hanya perselisihan angka. Dengan begitu keputusan Mahkamah akan menjadi keputusan berdasarkan Kalkulasi suara, bukan berdasarkan perintah konstitusi. Maksudnya adalah Mahkamah menilai kecurangan itu berdasarkan angka. Bahwa kecurangan itu dapat di benarkan apabila tidak mampu menutupi angka perolehan suara.

Betapa rusaknya prinsip Negara pancasila kalau saja itu terjadi. Mahkamah yang dianggap sebagai benteng terakhir untuk mengungkap kebenaran, seakan-akan hanya untuk menghitungan kecurangan vs selisih suara. Akhirnya, kalau kecurangan itu terjadi dan dilakukan oleh Pihak tertentu, tetapi tidak mampu menutup perbedaan suara, kemudian Mahkamah memutuskan perkara itu berdasarkan kemenangan angka, maka Mahkamah membiasakan kecurangan dalam demokrasi dan Negara hukum terjadi. Secara otomatis Mahkamah “menghinakan” diri dan tidak pantas disebut sebagai, “the Guardian of The Constitution”. Mahkamah hanya menjadi Mahkamah Kalkulator, bukan Mahkamah KOnstitusi.

MK: Konstitusi atau Kalkulator?

Mahkamah Konstitusi adalah merupakan peradilan yang berdiri sendiri dengan keputusannya yang final and banding. Keputusan Mahkamah adalah keputusan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu, Menyelesaikan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Lain lain yang menjadi tugas Mahkamah.

Yang di uji oleh Mahkamah adalah perkara konstitusionalitas, bukan perkara angka. Kalau Mahkamah terpaku pada Angka maka MK kehilangan marwahnya sebagai penjaga Konstitusi ia menjadi penjaga Angka. Kasarnya MK menjadi Singkatan dari Mahkamah Kalkulator.

Kebiasaan menjaga angka selama ini tidak boleh lagi menjadi fokus Mahkamah. Mahkamah harus mengalihkan perhatiannya pada persoalan Pelanggaran Pemilu yang disebut Sebagai Pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Massif. Apabila itu terbukti, meskipun tidak mampu membalikkan perolehan Suara maka MK harus memiliki terobosan sikap dengan mendiskualifikasi atau membatalkan hasil pemilu.

Tidak bisa lagi MK menganggap bahwa Pelanggaran TSM itu sebagai hal yang tidak perlu hanya karena tidak mampu menutup angka. Sekali lagi saya tegaskan Mahkamah harus mengambil sikap konstitusional dengan tidak memberikan toleransi pada pelanggaran dan kecurangan Pemilu.

Setelah Dua Kali Persidangan

Dalam sidang pertama tanggal 14 Juni 2019, Dalil dan argumen yang diajukan oleh Tim Hukum Prabowo-Sandi (02) baik secara Kualitatif maupun kuantitatif menggambarkan kecurangan Pemilu itu terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Massif.

Dalam sidang kedua tanggal 18 Juni 2019, kekuatan dalil dan argumentasi dengan mengkaitkan alat2 bukti yang diajukan oleh Tim Hukum 02 membuat Termohon maupun Pihak terkait sulit untuk menjawabnya. Hal ini nampak  terlihat dari jawaban atau sanggahan yang dikemukan oleh Pihak Termohon dan Pihak Terkait, yaitu tidak memiliki jawaban yang konkrit dan jelas ke pokok persoalan yang didalilkan oleh Pemohon yaitu pelanggaran terstruktur, sistematis, dan Massif.

Pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Massif bukan hanya mengenai hasil pemilu, tetapi berkaitan proses hingga sampai hasil. Ini berkaitan dengan prosedur serta tatacara pemilu itu sendiri. Jadi pelanggaran itu dapat di dilihat sejak penetapan DPT, Saat Kampanye, keterlibatan pihak-pihak yang dilarang oleh UU untuk berpihak, pembagian Undangan bagi pemilih yang tidak benar, pencoblosan, penghitungan, input, pengumuman juga terdapat banyak dugaan kecurangan.

Hal-hal tersebut menjadi tugas Mahkamah untuk mendalami baik dari dalil Pemohon, maupun sanggahan dari termohon dan Pihak Terkait. Patut kita apresiasi cara Mahkamah menghadirkan saksi satu persatu dalam persidangan, sehingga dapat digali keterangan dengan sedalam mungkin untuk mengungkapkan semua persoalan atas dugaaan kecurangan Pemilu 2019.

Penutup

Karena itu Kita berharap Mahkamah berani memutuskan berdasarkan dalil konstitusi. Dengan kata lain benar-benar menjadi the Guardian of the constitution, sebagai benteng terakhir untuk mengungkapkan kebenaran, dan menjadi penjaga kedaulatan rakyat dari kecurangan.

Sekali lagi kita berharap MK tidak terpaku pada Angka, melainkan pada pelanggaran konstitusi dalam pemilu, yang kita sebut sebagai pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Massif. Sehingga asas Pemilu yang Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur, dan Adil tidak terciderai dan dikotori oleh kecurangan-kecurangan. (thayyibah.com)

Oleh:

Dr. Ahmad Yani, SH. MH.
Politisi dan Praktisi Hukum

 

About Azah