Breaking News
Sorban merah - Ilustrasi gambar

Wahabi itu Siapa?

Sorban merah - Ilustrasi gambar
Sorban merah – Ilustrasi gambar

thayyibah :: Orang-orang biasa menuduh “wahabi ” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits shahih . Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi:

إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فا ستعن با الله
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepa-da Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih )

Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang diminta-nya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”

Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”

Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d!” dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyam-paikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”

Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu.”

Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.”

Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyeleng-garakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuk-nya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”

Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,

إن الحمد لله نحمده ونستغفره ……..
“Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam biasa membuka khut-bah dan pelajarannya.

Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akh

ir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi . Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”

Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”

A. PENGERTIAN WAHABI

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa’ul Husnaa).

Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberi-kan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

B. MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau ter-sentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed de-ngan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultus-kan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah , hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam , serta berdo’a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam . Al-Qur’an menegaskan:

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فا ستعن با الله
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika eng-kau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo’a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), ada-lah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menja-dikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهاً وَاحِداً إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghe-rankan.” (Shaad: 5)

Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan meme-rangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dak-wahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab “Mukhtashar Siiratur Rasuul “. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam penga-jian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan:

اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا، قالوا وفي نجدنا، قال : هنا لك الزلازل والفتن وبها يطلع قر ن الشيطان
“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasu-lullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallaahu anhu dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan:
Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dar
i
kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga. (put/thayyibah)

Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

About A Halia