Breaking News
Pidato SAS dalam Harla Muslimat NU di GBK (27/1). Selain NU semua salah. (Foto : VOAISlam)

MENYANDINGKAN IMRAN KUMIS DAN SAID AGIL SIRADJ

 

Oleh : Setiawan Budi

Pidato SAS dalam Harla Muslimat NU di GBK (27/1). Selain NU semua salah. (Foto : VOAISlam)

 

Di Mataram, hari Jumat tanggal 18 Januari 2019, Imran Kumis membuat postingan : “Bodohnya orang Islam yang memilih Jokowi. Dasar munafik”

Dianggap ujaran kebencian, karena menyebabkan kemarahan pada orang Islam yang memang memilih Jokowi. Mereka tidaak terima jika dikatakan munafik hanya gara-garamemilih Jokowi. Mereka juga tak terima Jokowi dijadikan penilaian tentang kebodohan dan kemunafikan. Lalu, melaporlah mereka dan Imran kumis langsung “dijemput” dalam Tempo 24 jam setelah ia membuat postingan tersebut.

Di Gelora Bung Karno (GBK), tanggal 27 Januari 2019. Sa’id Aqil Siradj (SAS) berkata dalam pidatonya, kutipannya : “Kita harus jadi imam masjid, kita harus jadi hkotibnya, kita harus jadi ketua KUA. Kalau bukan dari kita, salah semua.”

Sampai disini, apa persamaan dari postingan Imran dan perkataan si SAS? Apakah boleh jika perkataan si SAS kita masukkan dalam ujaran kebencian juga? Ujaran kebencian karena menganggap bahwa hanya mereka yang benar dan yang lain SALAH SEMUA. Sebagai non NU, saya sakit hati mendengar kebencian dia pada umat non NU.

Perkataan SAS bisa memantik permusuhan di tempat lain, sama dengan postingan Imran Kumis yang dia anggap pelapornya bisa memecah belah masyarakat. Kepolisian langsung bergerak cepat antisipasi hal tersebut, karena soal agama memang sangat riskan bila terus dibiarkan. Bagaimana dengan perkataan si SAS? Apakah polisi berani menindak dirinya yang sudah jelas menuding pihak lain sebagai pihak yang SALAH?

Saya bukan santri, tidak mendapatkan pendidikan pesantren. Tapi saya masih berpikir untuk berkata dengan menghina orang lain. Saya mencoba menjaga akhlak agar tidak membenci secara personal, jika ada kesalahan pasti saya akan meminta maaf untuk hal itu. Bagaimana dengan akhlak beliau ketika menuding SALAH pada pihak lain? Dirinya berkata dengan bangga di hadapan ribuan muslimat NU.

Mereka yang menganggap Islam rahmatan lil alamin justru merusak Islam itu sendiri dengan mengumbar kebencian pada pihak lain. Inikah gambaran Islam Nusantara itu?

Jika saya melaporkan SAS, apakah kepolisian akan menjemput paksa SAS seperti apa yang tejadi pada Imran Kumis? Apakah kepolisian bisa melekatkan baju orange pada diri SAS dimulai saat dia masuk ke dalam sel tahanan, layaknya Imran Kumis?

Saya tidak akan laporkan SAS, karena akan percuma. Lebih baik saya berbicara disini sebagai orang yang menilai perkataan SAS, walau saya tau esok atau lusa dirinya akan klarifikasi ucapan itu seolah dirinya tidak bersalah.

Dia yang katanya kyai. Dia yang katanya orang terpandang dalam agama. Dia yang katanya mempunyai ilmu. Tapi bagi saya, perkataan yang beliau ucapkan selalu menyakitkan pihak lain.

Banyak cara elegan merayakan ulang tahun tanpa harus menyakiti orang lain. Jauh sebelum hari ini, gembar-gembor persiapan perayaan harlah Muslimat NU sudah santer terdengar. Sebagai umat Islam non NU, sedikitpun saya tidak menaruh kebencian pada acara yang mereka lakukan.

Sampai malam tadi pun, saya melihat betapa hebohnya acara itu dengan mendatangkan seluruh muslimat NU dari seantero Nusantara. Satu kalimat dari saya, “luar biasa” menyaksikan puluhan ribu orang dalam satu tempat. Melaksanakan ibadah dengan tertib, dan mereka berasal dari agama saya, Islam.

Terharu, dan bangga, walau saya bukan orang NU. Tapi kebanggaan saya langsung musnah ketika mendengar pidato sang ketua yang mereka hormati. Ada kebencian dari apa yang diucapkannya pada pihak lain. Sebuah perayaan suci, harus ternoda dengan pidato yang sangat tendensius pada pihak lain.

Apakah ini ajaran NU yang di wariskan oleh Kyai Hasyim Asy’ari? Bukan, ini bukan ajaran NU yang saya kenal. Ini adalah ajaran penuh nafsu yang akan membuat negara ini berperang dengan sesama saudaranya.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur