thayyibah.com :: Ada tiga akhlak yang baik yang disebutkan dalam hadits nomor #15 dari Hadits Arbain An-Nawawiyah berikut ini.

الحَدِيْثُ الخَامِسُ عَشَرَ

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.

رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Hadits Ke-15

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”

(HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47]

Penjelasan Hadits

 

Kalimat “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir” adalah kalimat syarat dan jawab syaratnya adalah kalimat setelahnya, yaitu “hendaklah ia berkata baik atau diam”,  “hendaklah ia memuliakan tetangganya”, “hendaklah ia memuliakan tamunya”.

 

Faedah Hadits

 

Pertama: Hadits ini menunjukkan adab yang sangat mulia sama dengan hadits keduabelas sebelumnya, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits keduabelas dari Arbain An-Nawawiyyah mengajarkan adab yang sifatnya umum. Sedangkan hadits mengajarkan tiga adab khusus yaitu berkata baik, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu.

Kedua: Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban itu ada dua macam: (1) kewajiban kepada Allah dan (2) kewajiban kepada sesama. Kewajiban yang terkait dengan hak Allah adalah menjaga lisan. Artinya kalau kita beriman dengan benar kepada Allah dan hari akhir, maka disuruh untuk menjaga lisan. Bentuknya adalah (1) berkata yang baik, atau jika tidak bisa (2) diperintahkan untuk diam.

Dalam ayat disebutkan,

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisaa’: 114)

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Siapa yang menjamin (menjaga) di antara dua janggutnya (lisannya) dan di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan jaminkan baginya surga.” (HR. Bukhari, no. 6474).

Artinya diperintahkan untuk menjaga lisan, tidak berkata jelek yang nanti dicatat oleh malaikat pencatat amal jelek. Juga tidak menggunakan kemaluan untuk sesuatu yang diharamkan. Hadits ini menunjukkan bahwa berbagai maksiat itu terjadi karena lisan dan kemaluan. Siapa yang selamat dari kejelekan keduanya, maka ia akan selamat dari kejelekan yang besar. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Batthol dalam Syarh Al-Bukhari.

KetigaIkram dalam hadits yang dimaksudkan adalah memuliakan dengan sebaik-baiknya, yaitu memuliakan dengan sempurna pada tetangga dan tamu.

Keempat: Memuliakan tetangga bisa melakukan sebagaimana saran dari Imam Al-Ghazali berikut ini.

  1. Memulai mengucapkan salam pada tetangga.
  2. Menjenguk tetangga yang sakit.
  3. Melayat (ta’ziyah) ketika tetangga mendapatkan musibah.
  4. Mengucapkan selamat pada tetangga jika mereka mendapati kebahagiaan.
  5. Berserikat dengan mereka dalam kebahagiaan dan saat mendapatkan nikmat.
  6. Meminta maaf jika berbuat salah.
  7. Berusaha menundukkan pandangan untuk tidak memandangi istri tetangga yang bukan mahram.
  8. Menjaga rumah tetangga jika ia pergi.
  9. Berusaha bersikap baik dan lemah lembut pada anak tetangga.
  10. Berusaha mengajarkan perkara agama atau dunia yang tetangga tidak ketahui.

Selain sepuluh hal tadi, ada juga hak-hak sesama muslim secara umum yang ditunaikan.

Disebutkan dalam Al-Ihya’, 2:213, dinukil dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 16: 219 saat membahas perintah menunaikan hak pada sesama tetangga.

Salah satu ayat yang menyebutkan perintah berbuat baik pada tetangga adalah,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa’: 36)

Juga di antara dalilnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril tidak henti-hentinya mengingatkan padaku untuk berbuat baik pada tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa Jibril hendak menjadikannya sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari, no. 6015 dan Muslim, no. 2624)

Siapakah tetangga kita?

Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa yang menjadi tetangga adalah 40 rumah dari segala arah (depan, belakang, kanan dan kiri). Mereka berdalil dengan hadits, “Hak tetangga adalah 40 rumah seperti ini dan seperti itu.” Namun hadits ini dha’if.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa disebut tetangga jika berdempatan dilihat dari berbagai penjuru atau antar rumah itu hanya dipisah jalan sempit, bukan dipisah pasar besar atau sungai lebar yang melintang. Begitu pula disebut tetangga kalau dikumpulkan oleh satu masjid atau berada di antara dua masjid yang berdekatan. Bisa jadi pula disebut tetangga dengan patokan ‘urf (anggapan masyarakat) walau tidak memakai batasan tadi.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa disebut tetangga jika berdampingan atau menempel. Sedangkan ulama Hanafiyah lainnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa tetangga itu yang berdampingan dan yang disatukan oleh masjid. Definisi terakhir ini adalah definisi syar’i dan definisi menurut penilaian masyarakat (‘urf). (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 16:216-217)

Ringkasnya, tetangga adalah siapa saja yang berdampingan dan dekat dengan rumah kita. Mereka ini berhak dapat hak hidup bertetangga. Di antara haknya adalah tidak mengganggu mereka.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ياَ رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ، وَتَفْعَلُ، وَتَصَدَّقُ، وَتُؤْذِيْ جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟

“Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”

Para sahabat lalu berkata,

وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ، وَتُصْدِقُ بِأَثْوَارٍ ، وَلاَ تُؤْذِي أَحَداً؟

“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”

Beliau bersabda,

هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Dia adalah dari penduduk surga.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 119. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Ash-Shahihah, 190)

Kelima: Hadits ini juga memotivasi untuk berbuat baik pada tamu dengan memuliakannya.

Adab melayani tamu sudah diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz-Dzariyat: 24-30)

Salah satu adab yang disebutkan dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Diin karya Imam Al-Ghazali, “Adab keempat: Janganlah seseorang mengatakan pada tamunya, “Mau tidak saya menyajikan engkau makanan?” Akan tetapi yang tepat, tuan rumah pokoknya menyajikan apa yang ia punya.

Imam Sufyan Ats-Tsauri menyebutkan, “Jika saudaramu mengunjungimu, maka jangan bertanya padanya, ‘Apakah engkau mau makan?’ Atau bertanya, ‘Apakah aku boleh sajikan makan untukmu?’ Akan tetapi yang baik, jika ia mau makan apa yang disajikan, syukurlah. Jika tidak mau menikmatinya, tinggal dibereskan sajian tersebut.” (Ihya’ ‘Ulum Ad-Diin, terbitan Darul Ma’rifah, 2:12, penomoran Maktabah Syamilah)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Darul ‘Ashimah.

Diselesaikan di atas awan, Garuda Airlines, 2 Rabi’ul Awwal 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com