Breaking News

Melajang di Usia Matang

kaus-kaki-akhwat-muslimah-daun-gugur

 

Usia terus bertambah, namun  jodoh tak kunjung datang. Si lajang pun resah. Tapi, tentu tak cukup hanya resah.

thayyibah.com :: Kegamangan mesti dialami perempuan yang belum juga menikah di usia yang terbilang matang. Apalagi keluarga juga menuntut agar si lajang cepat menikah. Padahal, jodoh bukanlah perkara mudah.

Kesadaran untuk menikah

Psikolog Indri Savitri, Manajer Divisi Konseling dan Edukasi LPTUI Jakarta, menjelaskan penyebab seorang masih melajang di usia matang. Salah satunya karena kondisi yang memaksa. “Mereka mau fokus dulu dalam karir untuk menopang ekonomi keluarga. Mungkin karena orangtua tak mampu secara ekonomi atau sudah meninggal. Hingga di usia mudanya, perempuan ini tak sempat membina hubungan dan hanya fokus pada pekerjaan,” katanya. Ketika usia bertambah tua, sang gadis baru tersadar.

Sementara Dini Rahma Bintari, S.Psi, M.Psi, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, memberi alasan lain. Menurutnya keengganan para lelaki sekarang ini untuk menikah, entah karena kurang percaya diri dan sebagainya, otomatis membuat berkurangnya kesempatan perempuan untuk menikah. “Selain itu perempuan juga ingin mencapai prestasi yang tinggi hingga mengabaikan jalan untuk menemukan pasangan,” tambahnya lagi.

Standar tertentu yang ditetapkan para lajang dan orangtua dalam menentukan pasangan hidup juga bisa mempersempit kesempatan mendapatkan jodoh. Ini antara lain, kata Dini, karena si lajang sendiri memiliki constraining belief (keyakinan yang dipaksakan). Misalnya, yakin bahwa ia hanya bisa hidup bahagia dengan satu pria tertentu yang terus ditunggunya, harus cinta 100 persen baru mau menikah, harus siap 100 persen secara psikologis, materi, dan sebagainya. Padahal dalam kenyataannya, keyakinan-keyakinannya tersebut tak selalu benar. “Tak ada kesiapan 100 persen dalam pernikahan, karena banyak hal yang harus terus dipelajari lagi,” imbuhnya.

Kesadaran akan kehadiran pasangan pada setiap perempuan sebenarnya sudah dirasakan saat usia pubertas. Tak heran, sebagian gadis mengartikan secara salah, yaitu dengan berpacaran, bahkan sampai melakukan hubungan seksual.

Kesadaran untuk menikah sendiri dirasakan saat usia semakin bertambah, walau dalam setiap masyarakat usia menikah ini jadi relatif. Di pedesaan, contohnya, gadis belasan tahun dipandang sudah seharusnya menikah. Sementara di daerah perkotaan dengan standar hidup yang lebih kompleks, gadis usia belasan dianggap terlalu muda untuk menikah dan diharapkan menyelesaikan pendidikannya lebih dulu. “Hal ini membuat kesadaran harus menikah baru muncul pada usia 23 tahun ke atas, atau setelah menyelesaikan kuliah,” ujar Dini.

Usia 30 tahun dianggap usia yang “kritis” saat seorang gadis belum juga menikah. “Karena ini berhubungan dengan faktor fisiologis perempuan dan tingkat kesuburan. Semakin bertambah usia, tingkat kesuburan semakin berkurang,” tambah Indri. Mau tak mau, menginjak usia kepala tiga si lajang pun mulai resah.

 

Berdamai dengan diri dan lingkungan

Kondisi masih sendiri ini bisa membuat perempuan lebih tersiksa mana kala ia pernah menolak pria yang pernah datang kepadanya. Ini menyisakan penyesalan yang panjang. “Sebenarnya ini wajar saja. Semakin menanjak usia, kesempatan mendapatkan pasangan yang sesuai jadi lebih sedikit. Tapi atasi rasa sesal ini dengan pernyataan yang positif bahwa saat dia menolak dulu, itulah keputusan terbaik saat itu. Itu akan membuat tenang,” saran Indri.

Saat si lajang sudah bisa berdamai dan kondisinya, tak serta merta lingkungan bisa memahami keadaannya. Bahkan, justru orangtua yang sering berkeluh kesah karena anak gadisnya tak kunjung menikah. Tanpa memedulikan perasaannya, teman dan kerabat pun acap bertanya, kapan menikah?

Dini mengungkapkan, sebenarnya bila si lajang selalu bersikap positif pada keluarga dan tetap aktif dalam kehidupannya, orangtua mungkin bisa memahami keadaannya dengan lebih baik. “Apalagi bila kondisi lajang ini ternyata membawa manfaat bagi keluarga yang membutuhkan kehadirannya, misalnya ia jadi bisa  merawat orangtua yang sakit, atau memberi bantuan finansial bagi keluarga,” lanjut Dini.

Indri menggambarkan, inilah sisi lain dari eratnya kekeluargaan dalam masyarakat kita sehingga para kerabat merasa berhak untuk ikut campur kehidupan pribadi seseorang.

Sesungguhnya si lajang bisa memilih untuk bertemu atau tidak dengan orang-orang yang kerap mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang memojokkan itu. Sesekali, ia juga bisa membalas komentar mereka secara lugas, “Jangan cuma terus bertanya, bantu saya mencarikan jodoh juga, dong.”

Agar tak selalu diterpa opini miring, sudah semestinya si lajang membuktikan diri sebagai orang yang bermanfaat dan mampu meraih prestasi pada satu atau banyak bidang. Siapa pun akan segan dan tak sembarang melempar komentar kepadanya.

 

Oleh: Asmawati

 

 

About A Halia