Breaking News
Ustad Abdurrahman Sesfao di rumahnya di Amanuban Timur, TTS (Foto : Darso Arief)

WAJAH MUSLIM PEDALAMAN TIMOR (Bag. 2)

Ustad Abdurrahman Sesfao di rumahnya di  Amanuban Timur, TTS (Foto : Darso Arief)
Ustad Abdurrahman Sesfao di rumahnya di Amanuban Timur, TTS (Foto : Darso Arief)

Guru dan Pendakwah yang Sederhana

thayyibah.com :: Bagi kami Muslim di Papela, Pulau Rote, nama Abdurrahman Sesfao cukup istimewa. Pria asal Oe Ekam, Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) ini telah mengambil posisi penting dalam pengembangan Islam di kampung kami.

Abdurrahmah Sesfao adalah alumni sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), Kupang. Sejak berdiri di Kupang hingga ditutup tahun 1988, PGA Kupang lebih banyak diisi oleh mereka yang berasal dari Flores dan Alor, baik sebagai guru maupun murid. Orang Timor, Rote, Sabu atau Sumba tidak tercatat di sekolah ini kecuali Abdurrahman Sesfao orang Timor asal Amanuban ini.

Seperti diketahui, Muslim di Pulau Rote sangat sedikit dibanding masyarakat Protestan. Muslim yang sedikit itu tinggal dengan membentuk komunitas tersendiri sebagai perkampungan nelayan di beberapa titik. Komunitas Muslim terbesar adalah kampung kami, Desa Papela di Kecamatan Rote Timur.

Di Papela ada sebuah SD Negeri yang sudah lama berdiri. Sampai awal reformasi, sekolah ini menjadi satu-satunya di Kecamatan Rote Timur yang punya murid beragama Islam dengan jumlah yang signifikan.

Baru pada tahun 1980 SD kami itu mendapat guru bidang studi Agama Islam, dia adalah Abdurrahman Sesfao, yang diangkat oleh Dapertemen Agama langsung dari Jakarta. Abdurrahman Sesfao pada waktu itu adalah satu-satunya guru bidang studi Agama Islam di Pulau Rote, dan kami adalah muridnya.

Sebelum kedatangan Abdurrahman Sesfao di Papela, anak-anak usia sekolah di Papela hanya mendapat pendikan agama Islam di tempat mereka mengaji, yakni di rumah Guru Mengaji. Kegiatan pengajian anak-anak kampung ini muncul tenggelam sesuai kesempatan sang guru mengaji.

Abdurrahman Sesfao kemudian melembagakan pengajian anak-anak kampung ini di masjid dan meminta pengurus masjid menjadi penyelenggaranya. Status pengajian anak-anak ini berkembang hingga saat ini dan mendapat perhatian dari Kanwil Depag dengan meningkatkan statusnya menjadi Madrasah Diniyah. Saat ini madrasah ini dikepalai oleh Ustad Muhsin Bakuama dengan beberapa guru yang membantunya.

Penulis adalah salah satu murid Abdurrahman Sesfao, baik di sekolah maupun di masjid. Di tangan ustad orang Timor ini penulis mengkhatamkan Qur’an di bangku SMP. Bagi anak sekarang atau muslim di daerah lain, khatam Qur’an untuk pertama kali pada usia SMP sudah dianggap ketinggalan. Akan tetapi, pada zaman Methode IQRA belum ada, apalagi di Pulau Rote yang tak ada tradisi Islam-nya, mengkhatamkan Qur’an pertama kali dalam usia ini termasuk istimewa.

Karena dianggap istimewa dari puluhan anak kampung saat itu, Abdurrahman Sesfao kemudian mendorong orang tua agar penulis bisa berangkat ke podok pesantren di Jawa setamat SMP. Akhirnya, dengan memanfaatnya jaringan dakwah di Kupang, Abdurrahman Sesfao bisa mendorong penulis berlabuh di Pondok Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi pada tahun 1987.

Sejak menjadi Guru Agama Islam di Papela, Abdurrahman Sesfao sudah menampakkan sikap fanatismenya. Walau sebagai PNS, Abdurrahman Sesfao tidak pernah mau mengikuti upacara bendera. Dia beralasan, dalam upacara bendera ada sikap hormat kepada bendera dan pemimpin upacara yang menurutnya sebagai perbuatan syirik. Banyak peraturan dan tata tertib kepegawaian yang diabaikan Abdurrahman Sesfao jika itu nilainya bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang diyakininya.

Tahun 1990, Abdurrahman dipindahkan ke Kupang dan menjadi Guru Agama Islam di SDN Naikoten. Di Kupang, Abdurrahman lebih mendapat tempat untuk mempertebal integritas dakwahnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di masjid. Di sini dia lebih sering bertemu para pendakwah dan mengikuti gerakan mereka yang berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain.

Aktifitas dakwah Abdurrahman Sesfao makin melebar tak sebatas Pulau Timor. Dari satu daerah ke daerah lain, dari masjid satu ke masjid lainnya. Hidupnya seperti hanya dari masjid ke masjid. Kecintaanya kepada masjid melebihi pekerjaan dan profesinya sabagai guru dan PNS

Tugas utamanya sebagai guru diabaikan, statusnya sebagai PNS tak dihiraukan. Sampai pada suatu waktu, Walikota Kupang SK Lerik memecatnya sebagai PNS. Pemecatan ini, oleh Abdurrahman Sesfao dianggap cacat hukum, karena walikota tak berhak memecatnya. “Yang berhak memecat saya adalah Menteri Agama yang menerbitkan SK saya,” begitu alasan Abdurrahman Sesfao kepada penulis dalam tahun 2013 lalu di Masjid Nurul Iman, Oebobo, Kupang setelah lama mencarinya.

Sebelum bertemu dengannya di tahun 2013 itu, penulis dititipkan sebuah surat dari PT. Askes yang dikirim ke SDN 1 Papela. Surat yang dikirim dari Jakarta itu sudah sampai beberapa bulan sebelumnya. Ketika penulis bertanya apa isinya, Abdurrahman Sesfao hanya menjawab, “Ini adalah hak-hak saya yang diakui PT. Akses.”

Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 2015 lalu, bersama relawan dari Dompet Dhuafa Imam Al Faruq, penulis bersua kembali dengan Abdurrahman Sesfao, sang guru. Kali ini di rumahnya yang sederhana di Oe Ekam, Amanuban Timur.

Selalu bersarung, baju koko dan kepala yang selalu tertutup peci, Abdurrahman mengaku merasa tersanjung dikunjungi penulis, muridnya. Jenggotnya yang selalu basah dengan air wudhu dibiarkan terurai dan memutih. Abdurrahman tinggal bersama ibunya yang sudah renta. Sedangkan adik-adiknya, Nurdin dan Siti menjadi PNS di Jakarta dan jarang pulang ke Oe Ekam.

Rumahnya yang berlantai tanah hanya berisi meja dan kursi kayu dan setumpuk buku dan majalah bekas di meja. Atap rumah dari seng sudah mulai lapuk dan terlihat bolong di sana sini. Dinding rumah yang terbuat dari pelepah aren sudah mulai lapuk dan berlubang.Beberapa Qur’an lusuh terletak di pojok-pojok rumah. Ada sebuah radio kecil teronggok di pojok rumah. Hanya itu benda yang terkesan modern di rumahnya. Tak ada hiasan apalagi barang elektronik.

Lahan rumah Abdurrahman Sesfao terbilang luas. Di sinilah dia bertanam jagung, ubi, pepaya dan kelapa. Semua itu hanya untuk makan menyambung hidup bukan untuk dijual. Dia benar-benar meninggalkan status dan profesinya, yang bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah profesi yang harus diperjuangkan sekaligus membanggakan.

Dalam usianya yang berkepala enam, Abdurrahman Sesfao tetap berbicara semangat tentang ketauhidan, kecintaan kepada Rasul dan Qur’an serta ibadah.

Ketika saya bertanya tentang status surat dari PT. Askes itu, Abdurrahman hanya tersenyum dan bertutur, “Itu adalah hak saya. Tapi untuk mendapatkannya saya harus menghamba kepada pejabat pemerintah di Kupang sana. Jadi biar saja. Allah Maha Kaya.” Saya hanya mengangguk dan tak punya argumen lagi.

Sebelum berpisah dengannya di siang yang terik itu, saya memeluknya dengan erat. Air mata ini jatuh melihat keteguhan dan kesederhanannya. Teringat saya akan jasa-jasanya pada saya dan pada kami muslim di Papela.

Dari kejauhan saya masih melambaikan tangan kepadanya yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Dalam hati saya meminta kepada Yang Maha Kaya dan Yang Maha Memberi. Jika saya diberi kemampuan, ingin saya memperbaiki rumahnya, mewujudkan keinginannya. Tapi apakah dia mau? Wallahu a’lam.

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.