thayyibah.com :: Pemerintah Iran telah mendeklarasikan bahwa mereka tak akan lagi mematuhi semua pembatasan yang diterapkan kesepakatan nuklir pada 2015 lalu.
Dalam pernyataan resmi, pemerintah Iran menegaskan tidak lagi menaati pembatasan kapasitas pengayaan uranium, taraf pengayaan, jumlah penyimpanan materi pengayaan, atau riset dan pengembangan.
Pengumuman itu dikemukakan setelah Jenderal Qasem Soleimani, pemimpin pasukan elite Quds yang menjadi bagian Garda Revolusi Iran, tewas dibunuh militer Amerika Serikat di Baghdad, Irak.
Secara terpisah, laporan dari Baghdad menyebutkan kedutaan besar AS menjadi target serangan pada Minggu (05/01) malam.
Sebuah sumber mengatakan kepada BBC empat “tembakan tidak langsung” telah diluncurkan ke arah lokasi kedutaan. Sejauh ini tidak ada laporan korban jiwa.
Apa yang terjadi pada hari Minggu?
Ratusan ribu warga Iran berbondong-bondong pada Minggu (05/01) untuk menyambut jasad Soleimani menjelang pemakamannya pada Selasa (07/01).
Sebelumnya, para anggota parlemen Irak meloloskan resolusi tidak mengikat berisi seruan kepada semua pasukan asing untuk angkat kaki dari negara itu setelah Jenderal Soleimani tewas dalam serangan drone di Bandara Baghdad, pada Jumat (03/01).
Sekitar 5.000 serdadu AS berada di Irak sebagai bagian dari koalisi internasional melawan kelompok ISIS. Koalisi tersebut menangguhkan operasi melawan ISIS di Irak sebelum pemungutan suara pada hari Minggu.
Presiden AS, Donald Trump, berulang kali mengancam bakal menyerang balik ke Iran jika Iran melakukan serangan balas dendam atas kematian Soleimani. Trump mengatakan AS dapat melakukannya “mungkin secara tidak proporsional”.
These Media Posts will serve as notification to the United States Congress that should Iran strike any U.S. person or target, the United States will quickly & fully strike back, & perhaps in a disproportionate manner. Such legal notice is not required, but is given nevertheless!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) January 5, 2020
Apa sikap baru Iran soal kesepakatan nuklir?
Melalui kesepakatan 2015, Iran sepakat membatasi kegiatan nuklir yang sensitif serta mengizinkan para pengawas internasional. Sebagai gantinya, beragam sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran, akan dicabut.
Akan tetapi, Presiden Donald Trump mengabaikan kesepakatan itu pada 2018. Trump beralasan dirinya ingin memaksa Iran merundingkan kesepakatan baru yang akan membatasi program nuklir hingga batas waktu tak tertentu sekaligus menghentikan pengembangan rudal balistik Iran.
Iran menolak langkah Trump dan sejak itu secara bertahap melonggarkan komitmennya dalam kesepakatan 2015.
Setelah laporan kematian Jenderal Soleimani mengemuka, media pemerintah Iran mengumumkan pada Minggu (05/10) bahwa negara tersebut tidak akan mematuhi semua pembatasan yang disepakati pada 2015.
“Iran akan melanjutkan pengayaan nuklir tanpa pembatasan dan berdasarkan keperluan teknis,” sebut pernyataan itu.
Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak menyebutkan bahwa Iran benar-benar mengundurkan diri dari kesepakatan 2015. Bahkan, ditambahkan dalam pernyataan itu, Iran akan terus bekerja sama dengan badan pemantau nuklir PBB, IAEA.
Lebih jauh, Iran disebutkan siap kembali pada komitmennya setelah menikmati manfaat kesepakatan 2015.
Menurut para koresponden, sikap ini merujuk pada ketidakmampuan Iran dalam menjual minyaknya dan akses pada penghasilannya lantaran dibelenggu sanksi-sanksi AS.
Seberapa cepat Iran mengembangkan bom nuklir?
Iran senantiasa berkeras bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai—namun kecurigaan bahwa program nuklir Iran diam-diam dipakai untuk mengembangkan bom membuat Dewan Keamanan PBB, AS, dan Uni Eropa menerapkan berbagai sanksi yang melumpuhkan ekonomi pada 2010 silam.
Kesepakatan pada 2015 dirancang agar program nuklir tersebut dipastikan dapat dikekang dengan pencabutan sanksi-sanksi sebagai timbal balik.
Melalui kesepakatan 2015, pengayaan uranium Iran—yang dipakai sebagai bahan bakar reaktor tapi juga dapat dipakai sebagai senjata nuklir—dibatasi hingga 3,67%.
Iran juga diharuskan merancang ulang reaktor air berat karena sisa-sisa bahan bakar yang digunakan mengandung plutonium—bahan pembuat bom. Iran juga wajib membolehkan reaktor itu diperiksa para pengawas internasional.
Sebelum Juli 2015, Iran punya pasokan uranium yang telah diperkaya dalam jumlah besar dan hampir 20.000 mesim pemutar—cukup untuk menciptakan delapan sampai 10 bom, menurut Gedung Putih saat itu.
Kala itu, para pakar AS memperkirakan jika Iran memutuskan untuk segera membuat bom, maka negara itu memerlukan dua-tiga bulan sampai punya stok uranium yang telah diperkaya 90% dalam jumlah memadai untuk membuat senjata nuklir. Periode itu diiistilahkan ‘breakout time’.
‘Breakout time’ Iran saat ini, kalau negara itu berupaya membuat sebuah bom nuklir, diperkirakan sekitar satu tahun. Tapi masa ini bisa diperpendek hingga setengah tahun atau beberapa bulan jika taraf pengayaan ditingkatkan 20%, misalnya.
Bagaimana reaksi komunitas internasional?
Para pihak kesepakatan 2015—Inggris, Prancis, Jerman, China, dan Rusia—berupaya menjaga kesepakatan tetap hidup setelah AS memutuskan hengkang pada 2018.
Pada Minggu (05/01), Kanselir Jerman, Angela Merkel; Presiden Prancis, Emmanuel Macron; dan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak Iran meninggalkan langkah-langkah yang bertentangan dengan kesepakatan.
“Kami siap melanjutkan perundingan dengan semua pihak untuk berkontribusi pada peredaan ketegangan dan menciptakan kembali stabilitas di kawasan,” sebut mereka.
PM Inggris Boris Johnson berkata “kami tidak akan meratapi” kematian Soleimani, yang menurutnya “ancaman bagi semua kepentingan kita”.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, telah mengundang Menlu Iran, Mohammad Javad Zarif, untuk berkunjung ke Brussels guna mendiskusikan kesepakatan nuklir dan cara meredakan krisis pascapembunuhan Soleimani.
Sumber: bbc.com