Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor)
Suatu hari, Umar bin Khattab (RA) menjadi hakim atas dua orang yang berperkara. Umar bin Khattab (RA) berkata kepada penggugat, “Siapa saksi yang engkau ajukan?”. Sang penggugat menjawab, “Engkau ya Amirul Mukminin, bukankah engkau mengetahui perkara ini dengan terang-benderang”.
Umar bin Khattab (RA) menjawab,
ان شئتما شهدت ولم ٲحكم ٲو ٲحكم ولا ٲشهد
“Jika kalian berdua setuju, aku bersaksi, maka aku tidak akan menjadi hakim. Atau, aku menjadi hakim tetapi aku tidak bersaksi”.
Pernyataan Umar bin Khattab (RA) itu menjadi landasan teoritis dalam sistem peradilan Islam bahwa hakim tidak boleh memutus perkara berdasarkan pada pengetahuannya. Karena itu, hakim hanya boleh memutus perkara berdasarkan alat bukti (saksi, keterangan, dokumen, dll). Dengan kata lain, sebagian besar ulama mengatakan, bahkan bila seorang hakim melihat dengan mata kepala sendiri sebuah perbuatan pidana, hakim tetap tidak bisa memutus bahwa si A telah berbuat pidana semata karena pengetahuannya itu.
Kisah Umar bin Khattab itu sungguh bijak menyikapi sidang permohonan perselisihan pemilu presiden yang sedang berlangsung. Seperti diketahui, berdasarkan Undang-undang, sengketa pilpres harus diputus Mahkamah Konsitusi (MK) dalam waktu empat belas hari kerja sejak sidang pertama digelar. Artinya, betapa berat kerja para hakim MK. Di satu sisi, mereka harus memutus perkara seadil-adilnya. Dan, di sisi lain, mereka berkejaran dengan waktu.
Saya mencatat, setidaknya, ada dua hal menarik di sini.
Pertama: MK adalah benteng terakhir keadilan pemilu. Dalam terminologi bahasa Inggris, para hakim MK (juga hakim MA) tidak lagi disebut “honorable judge”, tetapi “honorable justice”. Apa maksudnya? Jika Anda telah duduk di kursi hakim MK, Anda sudah benar-benar bijak (wise) dalam memutus suatu perkara. Anda tidak lagi menjalankan Undang-Undang dengan pandangan kacamata kuda, tetapi melihat latar belakang sebuah perumusan Undang-Undang yang melingkupinya. Karena itu, sebagai judex-jurist, hakim MK adalah pembuktian prase, “judge made law”. Pada diri mereka tercermin “supreme and ultimate law”.
Maka, tak berlebihan sekiranya kita berharap pada MK untuk memutus seadil-adilnya. Sebagai konsekuensi doktrin social-contract yang kita sepakati melalui Undang-Undang Dasar, maka kelak apapun kuputusan MK wajib kita terima secara lapang dada. Karena itu, saya sungguh berbahagia mendengar ucapan Dr. Anwar Usman, ketua MK, “persidangan ini disaksikan oleh Allah SWT. Tuhan yang Maha Kuasa”.
Kedua: Selain pembuktian yang relatif mudah divalidasi seperti dokumen C1 Plano, membuktikan kecurangan yang “Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM)” sebagaimana diamanatkan Undang-Undang adalah hal yang tak mudah. Selain saksi, lawyer 02 juga memasukkan link berita. Di berkas permohonan pasangan Prabowo-Sandi (02), ada banyak kutipan berita dari media terpercaya seperti Republika, Kompas, Gatra, Media Indonesia, Kumparan.com, dan lain-lain yang melaporkan hal itu, namun pembuktiannya tetap tak mudah.
Dalam kaedah hukum pembuktian, (Law of Evidences) heresy (cerita) tak dapat diterima sebagai alat pembuktian. Betapapun telah melewati verifikasi editor, berita media massa tetap saja bernilai berita. Maka, kita mengerti ketika Bawaslu menolak gugatan 02 tentang kecurangan pemilu dengan merujuk pada link berita. Kira-kira, alur berfikir Bawaslu, bahwa link-berita itu BENAR ya adanya. Tetapi apakah konten beritanya BENAR, itu persoalan yang berbeda.
Penolakan “evidences” link berita di Bawaslu itu kembali disodorkan oleh lawyer 02 di MK. Di sini, para hakim MK akan diuji cara pandanganya atas hukum pembuktian. Maka, saya kira, madzhab para hakim MK ketika menempuh pendidikan hukumnya akan sangat mempengaruhi putusan kelak. Seperti kita tahu, dua madzhab hukum berkembang di Indonesia. Hukum progressif dimana Prof. Satjipto Rahardjo sebagai imam madzhabnya dan Hukum struktural dengan Prof. Mukhtar Kusumaatmadja sebagai imamnya. Para hakim yang terdidik di kampus-kampus hukum progressif umumnya membuat putusan yang mencengangkan.
Ingatlah ketika Prof. Mahfud MD sebagai ketua MK. Beliau mengabulkan sebagian permohonan Machicha Mukhtar yang menguji UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam amar putusannya disebutkan, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah juga memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan.
Prase “juga memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya” adalah revolusioner dalam ilmu hukum. Saya yakin, para perumus Undang-Undang Perkawinan dulu ketika hanya menyebutkan hubungan keperdataan “dengan ibunya dan keluarga ibunya” bersumber pada ajaran agama. Namun, asas kepastian hukum bagi anak itu dan semangat HAM, membuat hakim MK memutuskan hal di luar dugaan kita.
Lalu, pertanyaannya, apakah para hakim MK akan bersikap berbeda dengan Bawaslu dalam menilai link berita media massa (heresy) yang diajukan oleh lawyer 02 itu?
Apapun kesimpulan majelis hakim MK kelak, patut kita renungkan kaidah hukum Romawi yang berbunyi, “Bonus judex secundum aequum et bonum judicat et aequitatem stricto juri praefert” (Hakim yang baik memutus perkara sesuai dengan prinsip keadilan, dan mendahulukan kaidah hukum untuk tetap sesuai Undang-Undang”).
Kita tunggu.