Breaking News

Jangan Bunuh Saudaramu!!!

Salah seorang korban tewas penembakan teroris di Selandia Baru. (Foto Press TV)

 

thayyibah.com :: Syariat Islam yang mulia telah datang salah satunya untuk menjaga nyawa manusia. Nyawa seorang muslim memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Alloh ta’ala. Namun manusia yang zolim ini telah banyak menyalahi syariat yang mulia dari Robb tabaaraka wa ta’ala. Nyawa manusia sekarang seakan sangat murah sekali. Berita tentang pembunuhan bukanlah hal asing lagi yang menghiasi berita di negara kita. Hutang ratusan ribu saja harus ditebus dengan hilangnya nyawa, wal ‘iyadzubillah.

Di sisi lain muncul orang-orang yang mengatasnamakan Islam, membunuh orang-orang yang notabene beragama Islam baik dengan pengeboman maupun tindakan brutal lainnya. Padahal dengan tegas Alloh subhanahu wa ta’ala telah melarang perbuatan tersebut bahkan mengancam pelakunya dengan ancaman yang sangat tegas, kekal dalam Jahanam, mendapatkan murka dan laknat Alloh.

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93)

Makna Lafal Ayat:

“Dan barang siapa” (وَمَن) dalam Bahasa Arab, kata tersebut merupakan kata syarat. Dalam ilmu Ushul Fiqh kata syarat tersebut memiliki makna umum. Sehingga seluruh orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan pada ayat tersebut akan mendapatkan balasan yang disebutkan pada ayat tersebut.

“Membunuh seorang mukmin” yaitu yang membunuh orang yang beriman pada Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena itu, orang yang membunuh orang kafir atau orang munafik tidak termasuk dalam ayat ini. Akan tetapi membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai atau yang tunduk kepada pemerintah muslim atau yang meminta perlindungan keamanan kepada pemerintah muslim, adalah suatu perbuatan dosa. Namun pembunuhnya, tidak diancam dengan ancaman sebagaimana yang disebutkan pada ayat ini. Adapun orang-orang munafik, maka syariat Islam menjaga darah mereka selama mereka tidak menampakkan prilaku kemunafikannya.

“Dengan sengaja”, berdasarkan kalimat ini, maka anak kecil ataupun orang gila tidak termasuk dalam ayat ini. Demikian juga orang yang membunuh tanpa kesengajaan. Karena ketiga jenis orang ini, melakukan perbuatan tanpa disertai niat yang teranggap.

Alloh ta’ala telah memberikan ancaman yang sangat besar dan tegas pada ayat ini bagi orang -siapa pun dia- yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Alloh menyebutkan empat buah balasan bagi orang ini adalah sebagai berikut:

  1. “Jahanam” : Alloh ta’ala akan memasukkan orang ini ke dalam neraka jahanam.
  2. Tidak cukup dengan sekedar memasukkan ke dalam jahanam, namun Alloh menjadikan orang tersebut tinggal di dalamnya dalam waktu yang sangat lama “Ia kekal di dalamnya.”
  3. “Alloh murka kepadanya” : Kalimat ini juga menunjukkan bahwa Alloh memiliki sifat Al Ghodhob (murka).
  4. “dan (Alloh) melaknatinya.” : Yaitu Alloh menjauhkan orang ini dari rahmat-Nya.

Demikianlah 4 buah balasan yang Alloh berikan pada orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Jika seandainya disebutkan satu buah balasan saja, maka hal ini akan menjadi penghalang bagi seorang mukmin yang takut akan Robb-Nya untuk tidak melakukan dosa ini. Maka bagaimana jika disebutkan empat buah balasan sekaligus!!?? Wallohul musta’an.

Apakah Seorang Pembunuh Kekal di Neraka ?

Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja bisa kekal di neraka padahal dosa pembunuhan tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam sehingga dia akan kekal di neraka? Para ulama telah menjelaskan ayat ini dengan beberapa pendapat untuk mengompromikan hal ini. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab yang telah mereka tulis. Oleh karena itu kita tetap membutuhkan penjelasan para ulama baik melalui perkataannya maupun tulisan-tulisan mereka tentang makna ayat yang terkadang kita anggap bertentangan padahal tidak demikian. Setidaknya ada enam pendapat para ulama tentang maksud “kekal di neraka” pada ayat ini.

Pendapat pertama menyebutkan bahwa ancaman kekal di neraka pada ayat ini adalah jika seorang kafir membunuh seorang mukmin. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Karena orang yang kafir, tidak beriman pada Alloh dan Rosul-Nya akan dibalas dengan neraka jahanam dan kekal di dalamnya selamanya, sama saja, apakah dia membunuh seorang mukmin atau tidak. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا لاَيَجِدُونَ وَلِيًّا وَلاَنَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong.” (QS. Al Ahzab: 64, 65)

Pendapat kedua menyebutkan bahwa ancaman kekal di neraka pada ayat ini ditujukan untuk orang yang menghalalkan untuk membunuh seorang mukmin. Sehingga orang yang mengatakan bahwa membunuh orang mukmin adalah halal maka orang ini telah kafir dan ia kekal di neraka. Pendapat ini juga adalah pendapat yang lemah. Imam Ahmad telah membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa orang yang menghalalkan untuk membunuh orang mukmin adalah kafir walaupun dia tidak melakukan pembunuhan tersebut. Padahal sebagaimana kita pahami, bahwa ayat ini mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.

Pendapat ketiga menyebutkan bahwa pada kalimat ini terdapat kalimat lain yang merupakan kelanjutannya (dalam bahasa arab disebut, taqdir syarat). Sehingga ayat tersebut bermakna, “maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal di dalamnya, jika Alloh membalasnya.” Namun pendapat ini perlu ditinjau kembali. Apa faedah penyebutan, “maka balasannya adalah jahanam” kalau maksudnya terkait dengan jika Alloh membalasnya? Kemudian jika Alloh ta’ala membalasnya apakah balasannya adalah kekal di neraka? Jika orang itu menjawab “Ya,” maka masalahnya akan kembali muncul (bahasa Jawa: mbulet) yaitu bagaimana mungkin dosa yang bukan kekufuran dapat menyebabkan kekal di neraka?

Walhasil, ketiga pendapat ini adalah pendapat yang masih perlu ditinjau kembali. Karena ketiganya, tidak lepas dari pertentangan satu sama lain.

Pendapat yang keempat menyebutkan bahwa ayat ini merupakan salah satu penyebab yang dapat menyebabkan seseorang kekal di neraka. Namun jika didapati adanya penghalang lain, maka sebab tersebut tidak dapat memunculkan akibat. Misalnya, status sebagai seorang anak dapat menyebabkan seseorang mendapatkan warisan dari orang tuanya. Namun jika si anak tersebut adalah orang yang kafir, maka statusnya sebagai orang kafir, akan membatalkan hak warisnya. Maka, perbuatan membunuh seseorang merupakan penyebab kekalnya seseorang di neraka namun statusnya sebagai seorang mukmin maka ia tidak kekal di neraka. Akan tetapi ada sedikit permasalahan yang muncul di benak kita, yaitu apa manfaat Alloh menyebutkan ancaman yang sangat keras ini?

Tidak, tentunya Alloh ta’ala tidak akan berfirman tanpa ada faedah di dalamnya. Tidak ada satu pun perkataan Alloh dalam Al Quran maupun apa yang Rosululloh sampaikan dalam sunnahnya hanya sekedar main-main tanpa hikmah di dalamnya. Faedah penyebutan hukuman kekal di neraka adalah bahwa orang yang melakukan pembunuhan terhadap seorang mukmin dengan sengaja telah melakukan sebuah hal yang menyebabkan dia kekal di neraka. Padahal, hal yang menghalangi orang tersebut untuk bebas dari kekalnya jahanam (yaitu keimanan), bisa jadi ada dan bisa pula tidak ada. Maka orang ini berada dalam ancaman bahaya yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin akan senantiasa berada pada kelapangan dalam agamanya selama ia tidak menumpahkan darah yang haram.” (HR. Bukhori 6862, Ahmad 2/94, Baihaqi dalam Sunan-nya 8/21 dan lain-lain). Maka jika seseorang menumpahkan darah yang haram, ia berada pada kondisi yang sangat kritis dalam agamanya bahkan dapat menyebabkan ia kufurwal’iyadzubillah.

Kesimpulan dari pendapat ini, bahwa melakukan pembunuhan dapat menyebabkan seseorang mati dalam keadaan kafir dan hal ini bisa menyebabkan dia kekal di neraka. Namun jika orang ini memiliki keimanan, maka hal ini akan menyebabkannya terbebas dari ancaman kekal di neraka. Namun bukan berarti dia tidak akan diazab dalam neraka, orang tersebut hanya bebas dari hukuman kekal di neraka, walaupun boleh jadi dia akan diazab dalam panasnya api neraka dalam waktu yang sangat lama.

Pendapat kelima menyebutkan bahwa “kekal di dalamnya” pada ayat ini memiliki makna bahwa orang ini akan tinggal di jahanam alam waktu yang sangat lama bukan dalam waktu yang kekal. Hal ini sebagaimana jika disebutkan, “Fulan dihukum di penjara selamanya”, padahal penjara tidaklah kekal.

Pendapat ini adalah pendapat yang mudah dan tidak terlalu sulit untuk merenunginya. Pada ayat ini, Alloh tidak menyebutkan keabadian. Alloh tidak menyebutkan (خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً), “kekal di neraka selama-lamanya.” Akan tetapi, Alloh hanya menyebutkan (خَالِدِينَ فِيهَا ), “kekal di neraka” sehingga ayat ini memiliki makna bahwa orang tersebut tinggal di neraka jahanam dalam waktu yang sangat lama.

Pendapat keenam, menyebutkan bahwa ayat ini merupakan ancaman Alloh pada orang-orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Namun ancaman ini bisa jadi dilaksanakan dan boleh jadi tidak dilaksanakan. Hal ini sebagaimana jika ada seorang bapak yang berkata kepada anaknya, “Jika kamu keluar rumah, aku akan memukulmu dengan sapu.” Kemudian anaknya keluar rumah, namun bapaknya hanya memukulnya dengan tangannya. Maka hukuman yang diberikan pada anaknya lebih ringan dari pada ancaman yang diberikan. Demikianlah, Alloh ta’ala mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka jika Alloh mengampuni dan memaafkan orang ini, hal ini adalah sebuah kemurahan dari Alloh. Namun pada pendapat keenam ini juga terdapat keganjilan, jika ancaman yang dijanjikan terjadi maka si pembunuh akan kekal di neraka. Padahal hal tersebut tidaklah benar berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Walhasil, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kelima yang menyebutkan bahwa makna “kekal di neraka” adalah tinggal dalam waktu yang sangat lama. Atau pendapat yang keempat yang menyebutkan bahwa membunuh seorang mukmin dengan sengaja merupakan penyebab seseorang kekal di neraka, namun jika si pembunuh memiliki keimanan, maka hal tersebut akan menjadi penghalang sehingga dia tidak kekal di neraka. Kedua pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.

Bertaubatlah !!!

Dosa membunuh seorang muslim dengan sengaja tanpa hak, bukanlah sebuah dosa yang ringan, apapun cara yang dilakukannya. Beratnya ancaman yang Alloh janjikan bagi pelakunya merupakan bukti besarnya dosa perbuatan ini. Maka jalan yang harus ditempuh bagi para pelaku pembunuhan ini adalah bertaubat.

Alloh ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَيَزْنُونَ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ يَلقَ أَثَامًا يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Alloh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 68-70)

Dengan sangat jelas, Alloh telah memberikan janji bagi orang yang bertaubat dari dosa-dosa untuk mengganti kejelekan mereka dengan kebaikan. Walhamdulillah ‘ala ni’matihil ‘adhiimah.

Sebesar apapun dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, Alloh subhanahu wa ta’ala pasti akan mengampuninya jika ia bertaubat. Bahkan dosa pembunuhan yang telah Alloh ancam pelakunya dengan kekal di neraka, akan Ia ampuni jika pelakunya mau bertaubat. Mari kita renungkan kembali sebuah kisah yang telah disampaikan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang seorang pemuda dari Bani Israil yang telah membunuh sekian banyak manusia.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan sebuah kisah tentang seorang pemuda dari Bani Israil yang telah membunuh 99 jiwa, kemudian Alloh menyadarkan pemuda tersebut untuk segera bertaubat. Maka pergilah sang Pemuda tersebut kepada seorang ahli ibadah (‘abid) kemudian dia mengatakan pada ahli ibadah bahwa ia telah membunuh 99 jiwa, apakah dia masih bisa bertaubat? Maka sang ahli ibadah ini membesar-besarkan permasalahan kemudian dia memutuskan bahwa tidak ada kesempatan bagi pemuda ini untuk bertaubat. Maka sang pemuda tadi membunuh ahli ibadah ini sehingga genaplah 100 jiwa yang dia bunuh. Kemudian datanglah sang pemuda tadi kepada seorang ahli ilmu (ulama) dan dia berkata bahwa dia telah membunuh 100 jiwa, apakah dia masih bisa bertaubat? Ulama tadi menjawab, “Ya, siapa yang dapat menghalangimu dai taubat?” Kemudian ulama tadi melanjutkan, “Akan tetapi, penduduk negeri tempat tinggalmu adalah orang-orang yang zalim. Pergilah ke negeri Fulan, penduduk di sana adalah orang-orang yang baik dan shalih!”

Kemudian sang pemuda tadi pergi bersafar ke negeri yang telah ditunjukkan oleh ulama tadi. Dia berhijrah dari negerinya menuju negeri yang penduduknya baik dan shalih, namun dia wafat di tengah-tengah perjalanannya. Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab saling memperebutkan siapa yang berhak membawa ruh pemuda tadi. Kemudian Alloh mengutus seorang penengah di antara kedua malaikat tadi. Sang penengah tadi berkata, “Ukurlah jarak pemuda ini antara kedua negeri tersebut (negeri asalnya dan negeri tempat dia berhijrah), mana di antara keduanya yang lebih dekat dengannya maka dia termasuk penduduk kota tersebut.” Ternyata sang pemuda tadi lebih dekat dengan negeri yang penduduknya orang-orang shalih, kemudian Malaikat Rahmat membawa ruhnya. (HR. Bukhori 3470, Muslim 2766)

Perhatikanlah, Alloh subhanahu wa ta’ala telah menerima taubat dan mengampuni seorang pemuda dari Bani Israil padahal Alloh telah menjadikan tali dan belenggu atas mereka. Sedangkan umat Islam, Alloh telah mengangkat tali dan belenggu itu dari kaum muslimin, maka bertaubat adalah sebuah hal yang lebih mudah bagi umat ini. Jika Alloh mau mengampuni dosa seorang dari Bani Israil, maka terlebih-lebih lagi dengan umat Islam ini. Wallohul musta’an.

Perkataan Ibnu Abbas: “Tidak Ada Taubat Bagi Pembunuh”

Dalam suatu atsar yang shahih, telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu berkata,

أن القاتل ليس له توبة

“Tidak ada taubat bagi seorang pembunuh.”

Bagaimana kita mengompromikannya? Maka -sekali lagi- kita membutuhkan penjelasan para ulama dalam hal ini. Duhai, betapa nikmatnya orang yang diberi pemahaman yang benar dalam agamanya.

Para ulama telah menyebutkan bahwa perkataan Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu ini dapat dibawa pada dua kemungkinan yaitu:

Pertama, bahwa beliau rodhiallohu ‘anhu memaksudkan bahwa seorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, sangat sulit untuk bertaubat bahkan dia tidak diberi taufik untuk bertaubat. Jika si pembunuh ini tidak diberi taufik untuk bertaubat, maka dosanya tidak bisa terhapus dan dia akan di hukum sesuai dengan apa yang Alloh kehendaki.

Kedua, bahwa seorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, tidak mungkin bertaubat pada taubat yang terkait dengan orang yang dia bunuh. Karena seorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia memiliki tiga bentuk taubat yang harus dia tunaikan, bertaubat pada Alloh, bertaubat yang berkaitan dengan hak keluarga orang yang dibunuh dan bertaubat yang berkaitan dengan hak orang yang dibunuh.

  1. Taubat yang terkait dengan hak Alloh, maka tidak diragukan lagi, Alloh akan menerima taubat hambanya dari segala macam dosa termasuk dosa membunuh seorang mukmin dengan sengaja jika si pelaku bertaubat dengan taubatan nasuha. Alloh berfirman,قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً“Katakanlah, Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az Zumar: 54)
  2. Taubat yang terkait dengan hak keluarga yang dia bunuh, maka taubat ini dapat ditunaikan dengan mendatangi keluarga orang yang dia bunuh dan mengatakan bahwa saya telah membunuh salah satu keluarga mereka dan ingin bertaubat, maka lakukanlah apa yang kalian ingin lakukan terhadapku. Maka, keluarga memiliki hak baik minta diqishosh atau meminta tebusan (diyat) atau memaafkan sang pembunuh. Semuanya terserah pada keluarga yang dibunuh.
  3. Taubat yang terkait dengan hak orang yang dibunuh, maka taubat yang terkait dengan orang yang dibunuh tidak dapat lagi ditunaikan di dunia.

Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa jika sang pembunuh taubat dengan taubat yang sebenar-benarnya, maka hal ini dapat menggugurkan dosa-dosanya dan taubatnya diterima. Bahkan taubat yang terkait dengan hak orang yang dibunuh. Karena taubat yang benar dari seorang pelaku dosa, tidak akan menyisakan dosanya sedikit pun. Adapun orang yang dibunuh, dengan rahmat dan keutamaan dari Alloh, Alloh dapat menaikkan derajatnya lebih tinggi ataupun mengampuni dosa-dosanya yang lain. Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala,

وَالَّذِينَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَيَزْنُونَ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ يَلقَ أَثَامًا {68} يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا {69} إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {70}

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 68-70)

Penutup

Demikianlah, syariat Islam yang mulia telah memperingatkan manusia untuk menjaga nyawa, kehormatan dan darah manusia. Salah satu cabang keimanan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyingkirkan gangguan dari jalan. Menyingkirkan gangguan dari jalan akan menjadikan orang-orang dapat melewati jalan tersebut dengan aman. Jika perbuatan seperti ini merupakan cabang keimanan, maka dapatlah kita bandingkan dengan orang-orang yang meletakkan bom dan lain sebagainya yang kemudian bom tersebut membunuh sekian puluh bahkan sekian ratus kaum muslimin dengan dalih pembelaan Islam, maka ini merupakan cabang kekufuran. Maka bagaimana mungkin membela dan memperjuangkan Islam dengan cabang kekufuran, wallohul musta’an.

Dalam ayat ini (QS. An Nisa: 93) juga dapat disimpulkan bahwa Alloh ta’ala memiliki sifat Al Ghodhob (Murka). Hal ini berdasarkan firman-Nya pada ayat ini,

وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

“Allah murka kepadanya, dan melaknatinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93). Namun patut diperhatikan bahwa kemurkaan Alloh, tidak sama dengan kemurkaan makhluknya.

Hikmah lainnya yang dapat kita ambil dari pembahasan kita adalah perlunya merujuk pada para ulama salaf, mereka adalah para ulama yang memiliki ilmu yang mendalam tentang ayat-ayat Alloh. Orang-orang yang tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada para ulama, ketika mereka melihat adanya pertentangan antara dua dalil yang sahih atau antara dalil yang sahih dengan akal mereka, maka mereka akan menolak salah satu dalil ataupun men-takwil dalil dengan takwil batil yang berasal dari akal dan pemikiran mereka yang rusak. Bahkan sebagian di antara mereka mencela para ulama yang telah mencurahkan waktunya dalam ilmu agama ini (Sebagaimana pernah kami jumpai dalam sebuah tulisan yang meremehkan Syaikh Al Albani dengan mengatakan bahwa penilaian beliau tentang sebuah hadits tidak bisa diterima karena beliau hanya seorang tukang jam, la haula wa la quwwata illa billah). Kita semua berlindung pada Alloh dari takwilnya orang-orang bodoh dan penyimpangan orang-orang yang berlebihan dalam agama ini. Amiin ya mujibbassaailiin.

Referensi:

Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rohimahulloh cet: Darul ‘Aqidah, Kairo hal: 165-170.

***

Disusun oleh: Abu Fatah Amrullah
Murojaah: Ustadz Abu Saad
Artikel www.muslim.or.id

About A Halia