thayyibah.com :: [lanjutan dari artikel Penjelasan Hadits “Innamal A’malu Binniyat” (1)]
Beberapa faedah tentang niat
- Mengikhlaskan amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala yang paling baik.
- Syarat diterimanya amal ada dua; ikhlas1 dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits di atas, sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)
- Dari hadits di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal dibutuhkan batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang ikhlas, dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Amal yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar menjadi kecil karena niat.
- Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
- Amal dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)
Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah, dan benar adalah di atas Sunnah.”
- Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat. Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah.
- Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
- Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau shalatnya.
- Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
- Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur (negeri yang tampak semarak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam, hukumnya ada dua:
- Wajib, yaitu apabila seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
- Sunat, yaitu apabila seseorang bisa menegakkan agamanya.
Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidaklah terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7469)
Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu: - Berpindah dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
- Berpindah dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
- Meninggalkan apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang muslim (yang paling utama) adalah seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
- Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan ketenteraman batin dan dada yang lapang.
- Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan, “Orang-orang yang ‘aarif(mengenal Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.” Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan minum.” Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap makanan.”
- Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam dengan ayat berikut:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
- Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”. Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’ pula.”
- Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan. Misalnya,
- Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
- Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
- Menunaikan ibadah haji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
- Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia? Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang). Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)
.
“Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji).” (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya shahih.”)Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ* (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
- Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”
—
1 Ikhlas artinya beramal karena mengharap keridhaan Allah dan pahala-Nya.
Penulis: Ustadz Marwan Hadidi S.Pdi.
Artikel Muslim.Or.Id
Penjelasan Hadits “Innamal A’malu Binniyat” (2)
Beberapa faedah tentang niat
- Mengikhlaskan amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala yang paling baik.
- Syarat diterimanya amal ada dua; ikhlas1 dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits di atas, sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)
- Dari hadits di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal dibutuhkan batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang ikhlas, dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Amal yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar menjadi kecil karena niat.
- Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
- Amal dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)
Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah, dan benar adalah di atas Sunnah.”
- Sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat. Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah.
- Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
- Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau shalatnya.
- Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
- Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur (negeri yang tampak semarak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam, hukumnya ada dua:
- Wajib, yaitu apabila seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
- Sunat, buy zyban usa. yaitu apabila seseorang bisa menegakkan agamanya.
Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidaklah terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7469)
Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu: - Berpindah dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
- Berpindah dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
- Meninggalkan apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang muslim (yang paling utama) adalah seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
- Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan ketenteraman batin dan dada yang lapang.
- Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan, “Orang-orang yang ‘aarif(mengenal Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.” Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan minum.” Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap makanan.”
- Apabila seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam dengan ayat berikut:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
- Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”. Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’ pula.”
- Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan. Misalnya,
- Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
- Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
- Menunaikan ibadah haji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
- Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah urusan dunia? Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang). Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)
.
“Sesungguhnya kami ini orang yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji).” (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya shahih.”)Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ* (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
- Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’ juga.”
—
1 Ikhlas artinya beramal karena mengharap keridhaan Allah dan pahala-Nya.
Penulis: Ustadz Marwan Hadidi S.Pdi.
Artikel Muslim.Or.Id