Mengingkari dengan Lisan
Setidaknya ada empat langkah yang harus ditempuh dalam mengingkari kemungkaran dengan lisan.
Pertama: Mengenalkan (bahaya dan jeleknya) kemungkaran dengan tenang dan lemah lembut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” (HR. al-Bukhari no. 5565)
Sekelompok Yahudi datang lalu mereka berkata, “As-samu ‘alaikum, wahai Muhammad! (Mereka maksudkan doa kematian).” ‘Aisyah mendengar ucapan mereka, ia pun berkata, “Alaikum as-samu wal la’nah’ (untuk kalian hal yang serupa dan laknat).” Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, “La’anakumullah wa ghadiba ‘alaikum’ (semoga laknat dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala atas kalian).” Rasulullah bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” ‘Aisyah menjawab, “Bukankah engkau mendengar apa kata mereka?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan kepada mereka?” Yaitu ‘wa ‘alaikum’ (Bagi kalian juga yang semisal). Sesungguhnya doa kita akan dikabulkan, sedangkan doa mereka tidak. (HR. al-Bukhari no. 5570)
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan sikap lembut kepada mereka, padahal mereka Yahudi, dengan harapan mereka mendapat hidayah dan tunduk pada kebenaran. Lalu, bagaimana kiranya sikap beliau terhadap orang-orang yang beriman?!
Dengan demikian, yang lurus dalam beramar ma’ruf nahi mungkar akan selalu berusaha untuk menampakkan sikap lembut dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang cocok, kata-kata yang baik, dan nasihat yang bijak di dalam sebuah majelis, di jalan atau di tempat mana pun.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125)
Inilah metode yang ditempuh para pendahulu yang saleh (salaf) dalam beramar ma’ruf nahi mungkar: menampilkan sikap lembut, tenang dibarengi oleh ilmu, pemahaman terhadap situasi, kondisi, dan amal.
Kedua: Mencegah kemungkaran, yang dikemas dalam bentuk nasihat dan wejangan serta menanamkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Langkah ini ditujukan kepada pelaku kemungkaran yang mengetahui hukum syariat terkait dengan perbuatannya.
Langkah ini berbeda dengan yang pertama, yang umumnya diterapkan kepada pelaku kemungkaran yang tidak mengetahui hukum syariat.
Ibaratnya, langkah kedua ini untuk mengingatkan kembali pelaku akan hukum syariat yang sudah diketahuinya. misalnya tentang janji Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang taat kepada-Nya dengan metode yang hikmah dan arahan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)
Ketiga: Teguran yang keras.
Langkah ini ditempuh ketika pelaku kemungkaran tidak jera dengan metode/langkah sebelumnya. Terapkan teguran yang keras dengan memerhatikan etika dan kaidah syar’i, tidak menyampaikan sesuatu melainkan dengan jujur, dan tidak melebar kesana-kemari jika tidak perlu.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagai bapak para nabi menempuh langkah ini, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“(Ibrahim berkata), ‘Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?’.” (al-Anbiya: 67)
Keempat: Ancaman dan menakut-nakuti.
Langkah keempat ini adalah langkah terakhir yang bisa ditempuh dalam melakukan pengingkaran kemungkaran dengan lisan. Caranya, menyampaikan kepada pelaku kemungkaran, “Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, aku akan bertindak!” atau “Aku akan melaporkanmu kepada pihak berwajib agar menghukum dan memenjarakanmu.”
Tetapi, ancaman yang disampaikan harus benar-benar wajar dan masuk akal, supaya si pelaku memercayai ancaman dan tindakan yang akan diambil oleh pihak yang mengingkarinya.
Mengingkari dengan Hati
Para pembaca, sampailah kita pada tingkatan mengingkari kemungkaran dengan hati, yaitu bagi seorang mukmin yang tidak memiliki kemampuan untuk mengingkari dengan tangan dan lisannya.
Tidak ada jalan lain bagi siapa yang keadaannya demikian, selain membenci dan menampakkan ketidaksukaan kepada kemungkaran dan pelakunya dengan hatinya—dan Allah Maha Mengetahui hal tersebut.
Kewajiban ini tidak bisa gugur dari seorang mukmin, siapa pun dia, karena tidak ada halangan apa pun yang mencegahnya. Tidak ada lagi cara lain untuk mengingkari kemungkaran. Bahkan, pengingkaran dengan hati adalah akhir batas keimanan. Seperti sabda Nabi, “Dan mencegah dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70)
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ditanya, “Siapakah yang disebut mayat hidup itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.”
Sebagai penutup pembahasan ini, saya (penulis) ingin menegaskan kembali bahwa amar ma’ruf nahi mungkar wajib bagi laki-laki dan wanita.
Bagi para wanita, ada kewajiban untuk mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh sesamanya dan oleh kerabatnya dari kaum lelaki.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia pernah melihat seorang wanita di antara Shafa dan Marwah mengenakan pakaian yang ada garis (berbentuk) salib. Beliau segera menegurnya dan berkata, “Lepaskan (jangan dipakai) pakaian ini!
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat yang seperti ini di pakaian, beliau langsung memotongnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, lihat Shahih al-Bukhari no. 5496)
Suatu ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun pernah melihat saudara laki-lakinya (Abdurrahman) tampak tergesa-gesa ketika berwudhu supaya tidak tertinggal menyalati jenazah Sa’ad bin Abi Waqqas. ‘Aisyah pun menegurnya, “Wahai Abdurrahman, sempurnakan jika berwudhu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh dengan air wudhu) dengan (ancaman) api neraka’.” (HR. Muslim no. 353 dan seterusnya)
Di dalam kitab Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Seluruh hadits ini (tentang amar ma’ruf nahi mungkar) menunjukkan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Adapun mengingkarinya dengan hati adalah suatu keharusan (dalam setiap keadaan). Siapa yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, berarti telah hilang keimanan dari hatinya.” (Qawa’id Muhimmah fi al-Amri bil Ma’ruf wa an-Nahyi ‘anil Munkar)
Wal ’ilmu indallah.
© Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar – BERDAKWAH
Sumber: http://news.berdakwah.net/2018/01/tingkatan-amar-maruf-nahi-mungkar.html?m=1