Oleh sebab itu kita harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari akidah dan rambu-rambu keimanan agar kita tidak tergelincir ke dalam penyimpangan pemahaman seperti yang mereka alami. Dari sini pun kita bisa menyibak salah satu alasan mengapa para ulama hadits senantiasa mengawali pembahasan syari’at/ajaran Islam dengan menyebutkan Kitabul Iman di bagian awal-awal kitab mereka seperti halnya Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (setelah Kitab Bad’ul Wahyi dan Kitabul Ilmi) dan Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya pada awal kitab setelah mukadimah Shahihnya. Adapun pembahasan pembatal-pembatal keislaman biasanya diletakkan di akhir setelah tuntas pembahasan tentang hakekat iman.
Pengertian Kemurtadan
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338). Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah: menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penjatuhan vonis kafir/murtad
Vonis hukum kafir/takfir dapat dibagi menjadi dua kategori: takfir muthlaq dan takfir mu’ayyan. Yang dimaksud dengan takfir muthlaq adalah kaidah umum yang diberlakukan bagi orang yang melakukan suatu jenis perbuatan yang dimasukkan dalam kategori kekafiran (kufur akbar). Seperti misalnya ucapan para ulama, “Barang siapa yang meyakini al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.” Ungkapan semacam ini bisa dilontarkan oleh siapa saja selama dilandasi dalil al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar serta tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau individu tertentu. Adapun takfir mu’ayyan maka ia merupakan bentuk penjatuhan vonis kafir kepada individu atau kelompok orang tertentu. Jenis takfir yang kedua ini bukan hak setiap orang, namun wewenang para ulama yang benar-benar ahlinya atau badan khusus (ulama) yang ditunjuk oleh penguasa muslim setempat. Untuk menjatuhkan vonis kafir kepada perorangan diperlukan tahapan-tahapan yang tidak mudah dan syarat-syarat, sampai benar-benar terbukti bahwa yang bersangkutan benar-benar telah melakukan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama (lihat Mujmal Masa’il Iman al-‘Ilmiyah fi ushul al-‘Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Macam-macam riddah/kemurtadan
[1] Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu. [2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya. [3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya. [4] Riddah dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)Sepuluh Pembatal Keislaman
Berikut ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal keislaman. Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas pada sepuluh perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan pokok-pokoknya, yaitu:
- Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah: 72).
- Mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan/doa dan tempat meminta syafa’at selain Allah.
- Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka.
- Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu.
- Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa.
- Sihir.
- Membantu kaum kafir dalam menghancurkan umat Islam.
- Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganalogikannya dengan Nabi Khidr bersama Nabi Musa ‘alaihimas salam.
- Berpaling total dari agama, tidak mau mempalajari maupun mengamalkannya (lihat Nawaqidh al-Islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah hal. 2-4 software Maktabah asy-Syamilah).
Hukum yang terkait dengan orang murtad
[1] Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman. [2] Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud). [3] Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum. [4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya. [5] Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33). Demikian penjelasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat.Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Oleh Ari Wahyudi
Buletin.muslim.or.id
Artikel Rujukan:
1. https://buletin.muslim.or.id/aqidah/pembatal-pembatal-keislaman
2. https://almanhaj.or.id/3165-pembatal-pembatal-keislaman.html
3. https://rumaysho.com/81-aku-tidak-ingin-amal-ibadahku-sia-sia.html
Sumber: http://news.berdakwah.net/2017/12/pembahasan-tentang-pembatal-pembatal-keislaman.html?m=1