Breaking News
Bantuan sosial, hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan dan tak bisa membeli (Foto : Tempo)

MENTAL MISKIN BERJIWA PENGEMIS

Bantuan sosial, hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan dan tak bisa membeli (Foto : Tempo)

 Seorang sahabat yg tinggal di Australia bercerita tentang pengalamannya, “Suatu sore, sesudah menikmati secangkir capucino di Gloria Jeans Café yang capucino-nya paling enak (menurut saya), kami mampir ke toko roti. Membeli sebatang roti kismis dan minta kepada si mbak penjaga toko roti, untuk dipotongkan, sehingga nanti di rumah gampang, tinggal comot dan makan.

 Selesai dipotong dan dibungkus rapi, lalu diserahkan kepada saya. Langsung saya berikan uang lembaran 10 dollar. Tapi ditolak dengan senyum manis, sambil berucap, ”It’s free nothing to pay.” “Are you sure?” kata saya. 

 Gadis remaja yang tugas jualan disana, menjelaskan, bahwa kalau sudah ditutup, roti tidak boleh lagi dijual. Boleh diberikan kepada siapa yg mau atau diantarkan ke Second Hand shop untuk orang yang membutuhkan.

 Agak tercengang juga saya dengar penjelasannya. Terbayang, kalau di Indonesia, wah bisa bangkrut ini, karena orang bakalan menunggu toko tutup supaya dapat yang gratis.

 Belum selesai ngobrol dengan si mbak, tiba-tiba ada suami istri, yang juga mau belanja roti. Rupanya meraka tanpa saya sadari sudah mendengar percakapan kami. Kelihatan si pria adalah orang Australia, sedangkan istrinya adalah tipe orang Asia. Si wanita juga minta roti di mbak, tapi dicegah oleh suaminya, sambil berkata, ”No darling, please. We have enough money to buy. Why do we have to pick up a free one? Let’s another people who need it more than us take it”.

 Wah … wah, merasa tersindir wajah saya panas … Egoisme saya melonjak ke permukaan, merasa tersindir dengan perkataannya. Dalam hati saya bergumam, ”Hmm saya ini dulu pengusaha tau”.

 Tapi, syukur cepat sadar diri, gak sampai terucapkan. Karena orang yang bicara suami ke istrinya, masa iya saya tiba-tiba nyelak ditengah tengah? 

 Hampir saja saya berbuat kesalahan. Karena toh mereka tidak omongin saya. Kalau saya merasa tersindir, itu salah saya sendiri.

 Hingga menjelang tidur, kata-kata si suami kepada istrinya masih terngiang-ngiang rasanya, “We have enough money to buy, why do we have to pick up a free one.”

 Setelah saya renungkan, saya merasakan bahwa kata-kata ini benar. Kalau semua orang yang punya duit, ikut antri dan dapatkan roti gratis, yang biasanya diantarkan ke Second Hand Shop untuk dibagi-bagikan gratis, berarti orang yang sungguh-sungguh membutuhkan tidak bakalan kebagian lagi roti gratis.

 Walaupun saya sesungguhnya mau membayar, namun si mbak yang nggak mau terima uang saya. Pelajaran hidup ini tidak mungkin akan saya lupakan. 

 Kalau kita sanggup beli, jangan ambil yang gratis. Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya. Sungguh sebuah kepedulian akan sesama yang diterapkan dengan kesungguhan hati.

 Kini saya baru tahu, kenapa kalau di club ada kopi gratis, tapi jarang ada yang ambil, mereka lebih suka membeli. Bukan karena gengsi-gengsian, tetapi terlebih karena rasa peduli mereka pada orang lain, yang mungkin lebih membutuhkan. Pelajaran yang sungguh-sungguh memberikan inspirasi bagi diri saya.

 Tuhan sudah memberikan berkah yang cukup untuk kita, tidak perlu lagi kita mengambil bagian berkah yang diperuntukkan bagi orang lain. 

 Ketika kita mendengar ada program pemerintah untuk membantu orang miskin, apa yang ada dalam benak kita? Apa kita akan ikut bersiasat agar mendapat bagian? Ataukah kita merekayasa data agar kerabat dan saudara kita dapat bagian juga? Atau kita sok jadi pahlawan dengan mengajukan diri sebagai pendamping program, tapi dalam pikiran kita tersimpan niat busuk untuk memperkaya diri sendiri?

 Kemiskinan itu bukan untuk dipolitisir dan dieksploitasi. Orang miskin dan kemiskinan adalah ladang amal. Keberadaan orang miskin adalah cara Tuhan untuk menguji sejauh mana kepedulian dan keimanan kita. “Jangan mengaku beriman jika tetangga kanan kirinya masih ada yang kelaparan”, begitu ajaran Islam.

 Sementara kemiskinan adalah mental yang mesti dirubah dan diberantas. Mental minta-mingta, mental gratisan, mental pemalas, mental potong kompas, termasuk mental jualan data orang miskin, semua itu adalah Mental Pengemis yang membuat bangsa ini rendah dan terhina, itulah kemiskinan kultural. 

 “Sudah saatnya kita bangkit dan sadar, tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Menjaga harga diri lebih baik dari pada menjatuhkan kehormatan hanya demi sesuap nasi.” 

 “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

(Artikel dari WAG tanpa menyebut nama dan sumber tulisan)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur