Breaking News
Sebuah video yang beredar sejak 20 Mei 2020, perlihatkan Habib Umar dipuku oleh oknum Satpol PP Kota Surabaya (Foto : Istimewa)

PEMUKULAN TERHADAP HABIB UMAR ASSEGAF DAN LARANGAN PSBB

Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center)

Sebuah video yang beredar sejak 20 Mei 2020, perlihatkan Habib Umar dipuku oleh oknum Satpol PP Kota Surabaya (Foto : Istimewa)

Tindakan pemukulan yang dilakukan oleh oknum aparat Satpol PP terhadap Habib Umar Abdullah Assegaf merupakan salah satu contoh betapa buruknya budaya hukum aparat. Terlebih lagi, tindakan yang sangat tidak pantas itu dilakukan terhadap Ulama Besar pengasuh Majelis Roudhotus Salaf dan ketua Al-Bayyinat Bangil Jawa Timur. Beliau bersama dengan Almarhum Habib Ahmad bin Zen Al Kaff dan Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dalam Al-Bayinat -merupakan organisasi ternama- menentang perkembangan ajaran sesat Syiah Iran di Indonesia.

Aparat yang bertugas dalam rangka PSBB seharusnya lebih arif dan mampu untuk menahan diri. Tindakan pemukulan itu tergolong penganiayaan ringan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 352 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara selama-lamanya tiga bulan. Oleh karena itu, pelaku harus diproses secara hukum.

Terkait dengan pelanggaran PSBB, penulis sudah berkali-kali mengatakan tidak ada sanksi hukum yang mengaturnya. Pembatasan kegiatan di luar rumah dalam konteks PSBB sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sama sekali tidak mengandung norma hukum ancaman pidana. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan – yang menjadi dasar belakunya Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2020 – tidak pula ditemukan adanya norma hukum dimaksud. Begitu pun dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Oleh karena itu, terhadap masyarakat yang tidak mengindahkannya tidak dapat kenakan sanksi hukum, termasuk terhadap Habib Umar Abdullah Assegaf.

Polri yang akan menindak pelaku pelanggaran PSBB dengan kekuataan Pasal 212 KUHP juga tidak tepat. Pasal tersebut harus menunjuk adanya regulasi yang menjadi dasar kewajiban seseorang dengan disertai sanksi hukumnya. Dengan demikian, tidak dapat diterapkan dalam mengawal kebijakan social distancing, sebab norma larangan dengan ancaman pidana memang tidak terdapat dalam regulasi tentang PSBB. Jadi, bagaimana mungkin ketentuan Pasal 212 KUHP maupun pasal lainnya dapat diterapkan.

Sejak awal penerapan penanggulangan pandemi Covid-19 terlihat memang tidak sesuai dengan sistem kedaruratan kesehatan masyarakat. Seharusnya kebijakan PSBB diterapkan secara bersamaan dengan sistem karantina. Penerapan PSBB tanpa disertai dengan kekarantinaan baik wilayah, rumah maupun bandara telah menyebabkan ketidakpastian hukum dan lemahnya penanggulangan. Terlebih lagi pemberlakuan PSBB telah melebar dalam bentuk penutupan masjid dan mushala baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi demikian, tidak sebanding dengan tempat lainnya. Sebutlah pembukaan bandara bagi masuknya orang asing terlebih lagi Tenaga Kerja Asing RRT yang terus berdatangan, ini sangat merisaukan. Beroperasinya pusat perbelanjaan (mal) dan lain-lain, juga mengkhawatirkan. Kesemuanya itu juga terjadi kerumunan orang, tapi juga tidak dilakukan tindakan yang sama. Di sini jelas terlihat adanya perbedaan perlakuan.

Kembali pada aksi pemukulan terhadap Habib Umar Abdullah Assegaf, ini merupakan preseden buruk yang dapat mengarah kepada kekurangajaran terhadap para Habaib, keturunan Nabi Muhammad SAW. Dikhawatirkan akan semakin berkembang perbuatan permusuhan, kebencian atau penghinaan dari pihak-pihak tertentu terhadap Alim Ulama. Apakah ini merupakan tanda yang semakin menunjukkan adanya upaya ke arah tersebut? Jelasnya, baru kali ini ada aparat yang berani terang-terangan di muka umum melakukan tindakan pemukulan. Begitu bencinya pelaku terlihat dari gaya dan tindakan fisiknya kepada Habib Umar Abdullah Assegaf.

Sepanjang pengetahuan kami, orang-orang yang benci terhadap Alim Ulama dan Habaib yang berjuang melawan Syiah rata-rata adalah penganut Syiah. Itu pun mereka taqiyyah, tidak menunjukkannya secara terang-terangan di depan publik. Kecuali, dirinya telah merasa hebat dan kuat. Selain itu, para pembenci terhadap Alim Ulama dan Habaib adalah juga komunis. Kita harus waspada.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur