thayyibah.com :: Kekayaan yang sejati adalah merasa cukup lahir dan batin. Dalam arti, seseorang mendapatkan rizki yang mencukupi kebutuhan hidupnya, dan dia tidak mengharapkan apa yang ada di tangan orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk menjadi orang kaya. Dan permitaan kaya yang beliau inginkan bukan banyak harta, namun keadaan cukup, sehingga tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Diantara doa beliau, disebutkan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, terjaga kehormatan, dan kekayaan.” (HR. Muslim 2721).
An-Nawawi menjelaskan makna kata ’kaya’ dalam doa ini,
والغنى هنا غنى النفس والاستغناء عن الناس وعما في أيديهم
”Kaya di sini adalah kaya jiwa, tidak membutuhkan bantuan orang lain, dan tidak mengharapkan harta yang ada di tangan mereka” (Syarh Shahih Muslim, 17/41)
Hal ini bisa dipahami, karena beliau juga berdoa agar rizki beliau cukup untuk makan,
اللَّهُمّ اجْعَل رِزْقَ آل مُحَمّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (HR. Muslim 1055, Turmudzi 2361, dan yang lainnya).
Kemudian, secara bahasa, lawan dari kata al-ghina (kaya) adalah al-faqr, yang secara bahasa artinya membutuhkan. Sehingga sebanyak apapun harta seseorang, sementara dia masih terus merasa membutuhkan apa yang bukan miliknya, berarti dia masih fakir. (Syarh Shahih Muslim, 7/140).
Sumber: berdakwah.net