Breaking News
Akibat merebalnya Virus Corona, shaf jamaah sholat berjauhan. Suasana sholat Jumat di Masjid Agung Tsikmalaya, Jumat 22 Maret 2020 (Foto : PR)

CORONA MEREBAK, IBADAH JADI MALANG KADAK

Oleh :DR. KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie Al Hafidz

Akibat merebalnya Virus Corona, shaf jamaah sholat berjauhan berjauhan. Suasana sholat Jumat di Masjid Agung Tsikmalaya, Jumat 22 Maret 2020 (Foto : PR)

 

Tentang virus Corona, fatwa sudah banyak dan dalil sudah bertumpuk. Ada yang fiqih oriented, mengedepankan ikhtiar dan kehati-hatian, hingga tak jelas, apakah saking qadariahnya (free act) atau “ketakutan”. Ada juga yang pasrah opo jare Gusti Allah, sehingga tidak jelas juga, apa saking jabariahnya (fatalistik) atau “dungu”. Hikmahnya, umat menjadi makin berpengetahuan. Baik dari madzhab jaga-jaga, maupun dari madzhab pasrah.

Yang jaga-jaga mengikuti protokol pemerintah, sangat loyal sekali, hingga membolehkan, bahkan menganjurkan umat Islam tidak shalat Jum’ah, tidak shalat jama’ah di masjid. Karena, yang dilarang menurut “madzhab corona” adalah “ngumpulnya”. Tak peduli ngumpul mubah, ngumpul maksiat atau ngumpul ibadah. Masing-masing harus melakukan social distancing (jaga jarak aman). Dalil mereka antara lain :

Pertama, tidak boleh ada bahaya menimpa diri sendiri dan atau membahayakan orang lain. Kedua, Umar bin al-Khattab tidak mau masuk Damaskus yang waktu itu sudah terpapar wabah akut Tho’un.

Ketika Umar ditegur, Umar malah membentak : “Min qadarillah ila qadarillah” (saya lari dari taqdir Allah, menuju taqdir Allah). Ketiga, katanya ada riwayat, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mau berjabat tangan dengan pria terpapar penyakit kala prosesi bai’ah al-ridlwan. Keempat, katanya beliau juga melarang istrinya, Aisyah mengunjungi ayahnya, Abu Bakr yang sedang demam tinggi. Kelima, qaidah fiqiyah yang mengedepankan prefensi (dar’ al-mafasid) dll.

Apa Nabi Muhammad SAW dan Umar tidak ngerti taqdir? Sementara madzhab yang tetap menyeru Shalat Jum’ah WAJIB dan jamaa’ah maktubah Harus, berdasar :

Pertama, dalam perang berkecamuk saja, shalat berjama’ah masih disyari’atkan dilaksanakan (al-Nisa’:102). Kedua, ada jaminan resmi dari Rasululah SAW, bahwa Masjid adalah benteng perlindungan orang beriman dari wabah apapun. Ahli masjid, pejama’ah aktif/rutin, tidak akan terkena wabah. Ketiga, memang Rasulullah SAW dan Umar R.A. menghindari wabah, tapi kala itu Jum’ahan dan berjama’ah jalan terus. Ke-empat, hukum dasar berobat adalah mubah (al-ashl fi al-tadawi al-ibahah). Juga segudang contoh orang-orang shalih yang tidak mau berobat.

Memilih tidak Jum’atan, tidak berjama’ah memang benar, tapi nampak kurang percaya terhadap jaminan perlindungan keamaan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Kurang punya ghirah terhadap pahala-pahala yang diguyurkan Tuhan di dalam masjid. Di masjid, ada pahala berlipat-lipat, ada rahmat dan ada keberkahan.

Sebaliknya, memilih Jum’atan dan sok “lillaahi ta’ala” juga tidak benar. Karena Tuhan mengajari kita agar menjaga diri. Tanpa ikhtiyar, hanya pasrah, namanya TAWAAKAL (ada alif setelah huruf wawu). Sedangkan Ikhtiar dulu, baru pasrah, namanya TAWAKKAL (huruf wawu ditasydid).

Rasanya, di negeri ini lebih maslahah masjid-masjid tetap ramai dengan shalat jama’ah maktubah dan jum’ah, tadarus dan munajah dengan tetap usaha sesuai protokol pemerintah.

Semua masjid, mushalla : disemprot anti virus, disediakan sanitasi bersih, disediakan cairan anti septic di pintu,membawa sajadah sendiri-sendiri, shaff sedikit renggang, tanpa jabat tangan usai shalat, penutup do’a tanpa mengusap muka dengan dua tangan. Dsb. dsb.

Jangan samakan antara masjid dengan tempat umum. Masjid adalah tempat ibadah, tempat suci yang hanya dihadiri oleh orang-orang yang sudah bersuci lebih dahulu sebelum masuk masjid. Masjid tempat berkomunikasi intensif dengan Tuhan yang menurunkan Corona.

Justeru dengan pendekatan dan lobi di tempat ini Tuhan lebih respon dan welas asih. Masjid tidak sama dengan tempat lain.

Ketika Dhuhur di Masjid Istiqlal Jum’at kemarin, ada yang janggal, aneh dan tidak dimengerti apa yang terjadi di masjid Istiqlal Jakarta, jum’ah kemarin itu. Para jama’ah sudah ngumpul di masjid, shaff renggang, lho kok shalat Dhuhur dan tidak shalat jum’ah. Ini fiqih apa?

Konversi shalat Jum’atan ke Dhuhur itu karena alasan “udzur”, wabah dan lain-lain yang tidak memungkinkan ngumpul dalam kerumunan. Maka kaum Muslimin mengisolasi diri dengan shalat dhuhur di rumah masing-masing. “Shallu fii Rihalikum”, atau “Shallu fii buyuutikum”.

Lha, wong jumat kemarin sudah ngumpul semua di masjid kok tidak dilaksanakan Jum’atan. Apa alasannya? apa tidak dosa sengaja meninggalkan Jum’atan macam itu? Ini namanya Ibadah malang kadak.

Kayak upaya pemerintah yang me-lockdown sebagian komunitas, sekolah, kampus, pondok pesantren termasuk masjid dan lain-lain. Padahal mereka orang-orang bersih dan terdidik. Sementara pasar dan tempat kumuh lainnya dibiarkan. Ini namanya juga Lockdown malang kadak!

 

Memang penyakit itu lintas agama. Tak pandang agamanya apa. Bila lemah, ya kena. Tapi kami yakin, haqqul yaqin, bahwa Islam lebih sempurna memberi panduan. Tidak hanya pakai kurikulum “puskesmas” saja, melainkan juga kurikulum “Masjid”.

Usulan tetap memakmurkan Masjid di tengah Corona bukan melawan kurikulum puskesmas, karena setelah lebih dahulu mematuhi kurikulum puskesmas. Seperti diseteril, cuci tangan, jaga jarak, tidak salaman dll. Tidak pula melawan fatwa pembolehan tidak Jum’atan atau berjamaah, justru membantu pemerintah dalam penanganan Corona.

Kita ke masjid, karena, pertama, Masjid adalah tempat sujud, tempat mengadukan semua problem kehidupan didunia dan akherat, kepada Dzat yang maha kuasa. Apalagi dilakukan secara kolosal dan demonstratif (berjama’ah), maka Tuhan tak tega menolak. Jika Anda yakin ini, maka izinkan masjid membantu percepatan penyelesaian Corona dengan caranya sendiri.

Untuk itu, datanglah bersopan-sopan ke Rumah-Nya, (masjid) seperti anda beramai-ramai datang ke istana menuntut sesuatu. Di masjid, Tuhan telah lama menunggu kedatangan kalian. Saatnya berik’tikaf menyeluruh, muhasabah dan isftighfar, serta membuka pintu masjid di malam hari. Saatnya semua ber-Qunut Nazilah secara tadlarru’ wa khufyah.

Simak salah satu penggalan kata dalam qunut nazilah. “.. Allahumm idfa’ ‘anna al-bala’ wa al-waba’ wa al-ghala’…” (tangkislah kami dari bala’, waba’ dan ghala’). Ada keterkaitan antara ketiganya : al-bala’ = (cobaan, belai : Jawa), al-waba’ = (wabah, /korona), al-ghala’ = (harga mahal). Terbaca, bahwa Masjid tidak hanya memproyeksikan dihilangkannya Corona saja, melainkan juga bala’ yang lain, bahkan memohon stabilitas ekonomi yang bisa terjadi akibat dampak wabah.

 

Betapa banyak orang yang tega mengeruk untung dari sekedar penjualan masker, jahe dan temulawak. Belum lagi kalau “lock down”, maka kebutuhan pokok jadi rebutan. Sungguh hal yang tidak terjangkau oleh kurikulum puskesmas. Dan itu hanya bisa dilakukan bersama, di Masjid.

Dalam sejarah orang-orang shalih terdahulu, tidak ada Qunut Nazilah yang tidak efektif. Semua problem terselesaikan di luar nalar. Padahal zaman dulu, penanganan wabah secara medis tidak secanggih sekarang.

Kedua, benar-benar ada jaminan dari hadlrah Rasulillah SAW, bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan wabah kepada Ahli Masjid, ‘ummar al-masjid. Jika anda percaya sabda Nabi ini, maka yakinlah bahwa Tuhan tidak mungkin menebar Covid-19 di rumah-Nya sendiri.

Maka, bagi yang sudah positif terpapar, ya jangan ke masjid. Sekali lagi, karena ahli masjid adalah orang-orang bersih, lahir dan batin, ” fihi rijal yuhibbun an yatatahharu” (al-Taubah:108). Sementara kerumunan di luar masjid, mall, pasar, resepsi, wisuda, do’a bersama, dan tempat ibadah agama lain tidak ada jaminan.

Ketiga, Corona ini bisa jadi sebagai tes keimanan bagi ummat Islam terkait kepeduliannya dengan masjid. Bukankah, hanya orang yang beriman saja yang setia memakmurkan masjid (al-Taubah:18)? Bagi yang tidak pernah ke masjid memang tak ada beda, diwajibkan, apalagi dilarang. Tapi tidak begitu, bagi yang biasa ke (sobo : jawa) masjid Ahli Masjid. Bukankah Tuhan juga welas asih kepada seseorang yang hatinya “Gumantung” di masjid, “rajul qalbuhu mu’allaq fi al-masaajid” (Hadis).

 

(Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, Jombang, shared GerbangAmar)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur