KETIKA KITA DIUJI SEDIKIT SAJA

Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)

Hari-hari ini kita sedang diuji Allah dengan “sedikit” rasa takut. Sebab, betapa pun kita berusaha acuh, gempuran berita tentang virus Corona (Covid-19) tak pernah berhenti menghampiri. Media cetak, elektronik, dan terutama media sosial membuat kita seakan berhadapan dengan kiamat. Berbeda dengan perang kemerdekaan dulu, musuh kita kali ini sungguh “misterius”, suatu makhluk Allah yang sangat kecil, virus.

Dalam salah satu ayat, Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS Al-Baqarah: 155).

Ayat di atas menarik untuk dicermati setidaknya pada tiga hal, terutama kaitannya dengan kondisi kita saat ini.

Pertama: Setiap mukmin diuji.

Pada ayat di atas, Allah SWT memulai firman-Nya dengan huruf “و” yang berarti “dan” serta huruf “ل” yang berarti “sungguh”. Seperti kita tahu, kata “dan” adalah lanjutan kata dari kalimat sebelumnya. Jika kita perhatikan, pada ayat sebelumnya (QS Al-Baqarah: 154), Allah menceritakan tentang orang-orang yang gugur di jalan-Nya, mereka sesungguhnya tidak mati, hanya kalian saja yang tak merasakannya.

Bagi mereka yang telah syahid, gugur di jalan Allah dalam berperang, mereka telah menghapus semua rasa takutnya dan membeli kenikmatan surga dengan jiwa raganya. Karena itulah, Allah SWT menyebut mereka senantiasa hidup di sisi-Nya. Ingatlah kisah Hanzalah bin Abu Amir yang menyambut seruan jihad di malam pengantinnya. Dia berhasil menukar seluruh rasa takutnya (takut kehilangan istri, harta dan jiwa) dengan kenikmatan surga, dan dia kemudian menemukan kematiannya.

Lalu, bagi mereka yang masih diberikan kesempatan usia di muka bumi, Allah uji keimanan mereka. Dengan apa? Dengan rasa takut dan lapar. Pada ayat di atas, Allah menggunakan huruf “ل” untuk menunjukan kepastian ujian itu. Dalam ilmu Nahwu, huruf lam masuk dalam kategori huruf ta’kid atau suatu penegasan akan suatu peristiwa. Maka, pada setiap mukmin menemukan ujian hidup adalah sebuah keniscayaan. Imam As-Sa’adi dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Ujian Allah itu untuk memilah siapa saja yang sungguh beriman, dan siapa pula yang berpura-pura”.

Kedua : Ujian hanya “sedikit”. (شيء من)

Lalu, Allah SWT menegaskan bahwa ujian kepada kita itu hanya “sedikit” saja. Ujian yang sedikit itu terdapat pada rasa takut, lapar, berkurangnya jiwa dan harta serta buah-buahan. Mengapa Allah SWT menggunakan kata “sedikit”?

Pertama: Kata imam Al-Qurthubi, penyebutan kata “sedikit” untuk menegaskan bahwa ujiannya MELIPUTI seluruh bagian dari hal-hal yang umumnya manusia khawatirkan, yaitu kecukupan sandang, pangan dan papan. Di saat kita diminta untuk #dirumahajah seperti sekarang ini saja, ketakutan akan hal-hal itu sudah kita rasakan.

Secara ilmu bahasa, hal ini berbeda ketika Allah menjelaskan tentang haramnya hewan babi di mana Allah SWT berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi….

Pada ayat itu, Allah mengharamkan konsumsi “daging babi”. Penyebutan hanya kata “daging babi” itu sesungguhnya dimaksudkan kepada SEMUA bagian tubuh babi, termasuk segala produk turunannya. Dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan istilah, “yudzkar al-ba’adh wa yasmil al-jami” (Disebut sebagian dimaksudkan untuk seluruhnya).

Kedua : Dunia yang kita jalani ini sesungguhnya hanya “sedikit” jika dibandingkan dengan keabadian akhirat kelak, termasuk di dalamnya ujian kehidupan. Maka, imam Ibnul Qayyim berkata,

الدُنْيَا مِنْ أوَلِهَا إلَى آخِرِهَا لاَ تُسَاوِِي غَمُ سَاعَة؛ فَكَيْفَ بِغَمِ الْعُمْرِ؟

“Dunia dari awal sampai akhir tak setara dengan satu detik (waktu) kiamat; apalagi hanya sekedar umur (manusia)”.

Di antara yang “sedikit” itu adalah ketakutan akan kematian. Gempuran berita tentang virus Corana membuat kita sadar bahwa setiap manusia pasti mati. Bagi seorang yang menjadikan akhirat adalah cita-cita kehidupannya, kematian bukanlah hal yang sangat menakutkan.

Bukankah Rasulullah SAW berpesan:

مَن أحَبَّ لِقاءَ اللَّهِ أحَبَّ اللَّهُ لِقاءَهُ، ومَن كَرِهَ لِقاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقاءَهُ قالَتْ عائِشَةُ: إنَّا لَنَكْرَهُ المَوْتَ، قالَ: ليسَ ذاكِ، ولَكِنَّ المُؤْمِنَ إذا حَضَرَهُ المَوْتُ بُشِّرَ برِضْوانِ اللَّهِ وكَرامَتِهِ، فليسَ شيءٌ أحَبَّ إلَيْهِ ممَّا أمامَهُ….

“Barang siapa yang cinta untuk bertemu Allah, niscaya Allah juga cinta untuk bertemu dengannya. Dan barang siapa yang benci bertemu Allah, Allah juga benci bertemu dengannya. Aisya berkata: Bukankah kita benci dengan kematian (Ya Rasulallah). Rasulallah SAW menjawab, “Tidaklah demikian. Tetapi bagi seorang yang beriman, jika telah datang padanya kematian, dia diberikan kabar gembira dengan keridhoan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka, tidak ada lagi yang dia lebih cintai kecuali apa yang ada di hadapannya….”

Karena itulah, imam Ibnu Jauzi berkata,

همَّةُ المُؤْمِنِ مُتَعَلِّقَةٌ بِالآخِرَةِ فَكُلُّ مَا فِي الدُّنْيَا يُحَرِّكُهُ إِلَى ذِكْرِ الآخِرَةِ فَإِنْ سَمِعَ صَوْتاً فَظِيعاً ذَكَرَ نَفْخَةَ الصُّورِ وَإِنْ رَأَى لَذَّةً ذَكَرَ الجَنَّةَ

“Cita-cita tertinggi seorang mukmin (wajib) selalu terkait dengan (kehidupan) akhirat. Maka, segala hal yang ada di dunia ini (seharusnya) menggerakkan dirinya mengingat (kehidupan) akhirat. Apabila dia mendengar suara gelegar memekakkan (telinga), maka dia teringat tiupan sangkakala. (Demikian juga), apabila dia melihat kenikmatan (dunia), maka hendaklah dia teringat (kelezatan) surga”.

Ketiga: Buah-buahan

Lalu, mengapa pada ayat di atas Allah menyebutkan juga takut akan kekurangan buah-buahan? Memang seberapa perlu kita dengan buah-buahan? Bukankah kita tetap dapat bertahan hidup tanpa makan buah?

Untuk menjawab soalan seperti itu, saya ingin cerita sedikit pengalaman saya. Suatu hari, seorang marketing produk “herbal” dengan semangat menjelaskan produknya pada saya. “Ustadz, kenapa Nabi Ibrahim meminta agar penduduk Mekkah diberikan banyak buah?! Itu karena nasi berbahaya, ustadz. Tak bagus banyak makan nasi. Beralihlah ke buah yang sudah diektraks ini”. Kata marketing itu sambil menunjukan produknya. Dia pun tak ragu mengutip al-Quran surah al-Baqarah ayat 126 yang inti ayatnya adalah tentang doa Nabi Ibrahim agar penduduk Mekkah dikaruniai buah-buahan. Maka, dengan penuh semangat dia menjelaskan pentingnya buah dalam menjaga kesehatan kita, dan bahayanya mengkonsumsi nasi.

Saya menjawab pelan, “Mba, nasi juga buah kok. Bukankah nasi adalah buah pohon padi, diolah menjadi beras dan akhirnya menjadi nasi?”. Lalu saya jelaskan, kenapa nenek moyang kita memilih memakan nasi sebagai makanan utama, bukan buah yang lainnya. Jawabannya sederhana saja, karena buah padi yang paling mudah disimpan untuk waktu lama, tanpa memerlukan proses pengawetan yang rumit. Cukup dijemur dan disimpan di gudang. Buah lain seperti mangga atau alpukat tak bisa diperlakukan seperti itu. Sama halnya dengan mudahnya orang-orang Arab menyimpan buah kurma dan orang Eropa menyimpan buah gandum untuk dijadikan roti. Serta orang-orang Romawi kuno dulu menyimpan buah tin dan zaitun sebagai makanan utamanya. Itu sebabnya Nabi Ibrahim meminta pada Allah agar penduduk Mekkah diberikan keberkahan buah-buahan. Pada masyarakat tradisional dulu, orang tak mengenal jam makan, tetapi kapan mereka merasa lapar, mereka makan. Dan yang paling mudah dimakan adalah buah-buahan, termasuk buah pohon padi.

Pada kondisi saat ini, kita perlu asupan gizi yang cukup. Makan, minum, olahraga dan istirahatlah yang cukup. Omong-omong, program #dirumahajah jangan takut gendut. Biarkan mekar sedikit. Toh, dengan mengubah kata-kata Presiden Ghana yang viral itu, “Saya tahu mengembalikan orang gendut agar kurus lagi. Hal yang saya tidak tahu adalah mengembalikan orang mati untuk hidup lagi”. Wallahua’lam bis showwab.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur