thayyibah.com :: Sejumlah pihak meragukan klaim Jepang perihal minimnya jumlah kasus COVID-19 yang terungkap. Spekulasi pun bermunculan. Salah satunya terkait keengganan pemerintah setempat melakukan tes massal demi menyelamatkan penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020.
Untuk meyakinkan anggapan itu, negeri jiran, Korea Selatan pun menjadi pembanding. Dengan populasi 50 juta jiwa, Korsel sudah menemukan 8.500 kasus COVID-19 dari 270 ribu orang yang diuji. Sementara Jepang, dengan populasi 126 juta jiwa, baru menguji 18 ribu orang dan mendapati 1.000 kasus, minus temuan di Diamond Princess.
Terlepas dari benar-tidaknya anggapan itu, di tengah pandemi virus korona baru, ternyata masyarakat Jepang diuntungkan dengan perilaku hariannya. Apa saja perilaku itu? Berikut ulasannya.
1. Warga Jepang terbiasa hidup menyendiri yang kemudian memudahkan mereka untuk mematuhi kebijakan pembatasan interaksi sosial akibat pandemi COVID-19
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat sebanyak 15 persen warga Jepang mengaku tidak pernah berinteraksi dengan orang lain selain anggota keluarganya. Bahkan sebanyak 20 persen orang Jepang hidup seorang diri sampai akhir hayatnya. Salah satunya disebabkan karena cerai yang angkanya 1 berbanding 3 pasangan.
Dengan begitu, jikapun kebijakan pembatasan interaksi sosial diberlakukan demi menghambat penyebaran virus korona baru, warga Jepang tampak tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri.
2. Pengalaman panjang menghadapi virus flu berat atau influenza memungkinkan warga Jepang hidup apik menjaga imunitas tubuh di tengah pandemi COVID-19
Musim dingin di pengujung 2019 mencatatkan sejarah untuk kasus influenza di Negeri Sakura. Jumlah orang yang terinfeksi pada periode itu hanya 44 ribu orang. Angka tersebut turun 3 kali lipat dibanding dengan tahun lalu yang mencapai 130 ribu kasus.
Pengalaman menghadapi virus influenza itu turut membiasakan warga Jepang untuk menjaga imunitas tubuh, termasuk membiasakan diri mencuci tangan. Selain, tentu saja, pergi ke klinik untuk disuntikkan vaksin influenza yang sudah lama ditemukan.
3. Kebiasaan mengenakan masker memudahkan masyarakat Jepang beradaptasi di tengah penyebaran secara global virus COVID-19
Warga Jepang bisa dikatakan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam hidup bermasyarakat. Anggapan itu diperkuat dengan kebiasaan warga Jepang mengenakan masker saat sedang sakit, demam atau alergi. Langkah itu dilakukan untuk mencegah potensi penyebaran penyakit di masyarakat.
Maka, saat imbauan mengenakan masker berlaku di tengah pandemi COVID-19, warga Jepang sudah terbiasa dengan itu. Malah belakangan, ada sejumlah warga yang mulai mengenakan sarung tangan untuk mencegah penyebaran virus.
4. Warga Jepang dikenal jarang berjabat tangan yang kini menjadi imbauan wajib saat berinteraksi sosial guna menangkal penyebaran COVID-19
Alih-alih berjabat tangan, warga Jepang lebih banyak membungkukan badan saat bertemu, berpapasan, dan berpamitan dengan orang lain. Perilaku itu, dengan derajat bungkuk tertentu, merupakan bentuk penghormatan, ucapan terima kasih, dan permohonan maaf.
Oleh karenanya, warga Jepang tidak harus membiasakan salam alternatif selain jabat tangan, seperti salam “namaste”, untuk menuruti imbauan mengurangi bersentuhan dengan orang lain.
5. Tanggap saat kasus COVID-19 muncul pertama kali dengan langsung menyediakan cairan antiseptik di kantor-kantor dan pusat perbelanjaan
Tidak perlu waktu lama bagi warga Jepang untuk menanggapi kabar penyebaran virus korona baru di Tiongkok. Beberapa hari setelah kasus pertama COVID-19 ditemukan di Jepang, warga setempat langsung menyediakan cairan antiseptik di rumah mereka.
Bahkan manajemen pusat perbelanjaan dan perkantoran turut menyiapkan cairan yang mampu membunuh virus penyakit di telapak tangan tersebut. Ketersediaannya pun tidak hanya di pintu masuk, tetapi juga di setiap ruang atau toilet.
Jadi, mulai sekarang, yuk kita praktikkan perilaku baik warga Jepang ini untuk menekan penyebaran virus korona baru. Stay safe everyone!