thayyibah.com :: Bolehkah memberi upah karyawan di bawah UMR? Jika kita memiliki perusahaan yang baru pemula, sehingga penghasilan msh sedikit, bolehkah di bawah UMR?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah akad ijarah, bantuknya akad jual beli jasa. Dan idealnya dalam jual beli jasa, karyawan dan perusahaan sama-sama mengetahui nilai upah yang disepakati. Agar tidak menimbulkan sengketa ketika kerja sudah dilakukan.

Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda melarang mempe-kerjakan orang, sampai dijelaskan berapa nilai upahnya. (HR. Ahmad 11565).

Bagaimana jika tidak disebutkan?

Beberapa perusahaan, ketika ada karyawan yang diterima kerja, mereka langsung diminta kerja tanpa dijelaskan berapa nilai upahnya. Terkadang karyawan ngertinya hanya terima gaji tiap bulan.

Jika semacam ini terjadi maka nilai upah karyawan mengacu kepada nilai upah semisal yang umumnya berlaku di masyarakat untuk tingkat pekerjaan seperti yang disebutkan. Upah semacam ini disebut ujrah al-mitsl [أجرة المثل].

Terdapat kaidah mengatakan,

العادة محكَّمة

“Kebiasaan masyarakat bisa menjadi hakim”

Ibnu Mas’ud pernah ditanya,

Ada seorang lelaki yang menikahi wanita namun belum disebutkan maharnya dan belum berhubungan badan dengannya, hingga lelaki ini meninggal.

Jawaban Ibnu Mas’ud,

لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نِسَائِهَا لاَ وَكْسَ وَلاَ شَطَطَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا الْمِيرَاث

“Wanita ini berhak mendapatkan mahar seperti umumnya wanita di daerahnya, tidak boleh dikurangi maupun didzalimi (tidak kurang dan tidak lebih), dia wajib menjalani iddah dan dia berhak mendapat warisan.”

Setelah itu datang Ma’qil bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan yang sama untuk seorang wanita bernama Barwa’ bintu Wasyiq. (HR.Turmudzi 1176, Nasai 3524, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Keterangan Ibnu Mas’ud,

“Mahar seperti umumnya wanita” menunjukkan bahwa ketika terjadi ketidak jelasan dalam hak atau kewajiban dalam muamalah, dikembalikan kepada urf (aturan yang berlaku di masyarakat).

Di tempat kita, nilai ujrah mistl distandarkan – salah satunya – dalam bentuk UMR (Upah Minimum Regional).

Bolehkah Upah di bawah UMR?

Bukan syarat dalam ijarah, upah harus mengikuti ujrah mitsl. Sebagaimana bukan syarat dalam pernikahan, mahar harus mengikuti mahar mitsl.

Hanya saja, jika tidak sesuai dengan ujrah mitsl, harus ditegaskan di awal, agar tidak terjadi sengketa..

Umar bin Khatab pernah memberikan kaidah,

إِنَّ مَقَاطِعَ الْحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ

Sesungguhnya bagian-bagian hak itu harus dipersyaratkan (di awal). (HR. Bukhari secara muallaq).

Normalnya, seorang karyawan menerima upah senilai UMR. Namun jika perusahaan hendak memberikan yang kurang dari itu, maka dia harus jelaskan di depan, sewaktu penerimaan karyawan. Selanjutnya, karyawan berhak untuk menentukan pilihan, antara melanjutkan jadi karyawan dengan upah di bawah UMR ataukah mundur..

Jika calon karyawan setuju dan tetap memilih bekerja di perusahaan itu, berarti dia telah ridha dengan upah di bawah UMR. Sehingga nantinya dia tidak boleh menuntut. Yang bisa dilakukan adalah mengajukan resign, jika kedepannya ingin mendapat lebih.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)