Breaking News

40 hari Menjadi Kaya Raya Ala Yusuf Mansur

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

 

Di Triwulan keempat 2019 ini, Yusuf Mansur gencar menggeber seminar tentang The Power of Giving, The Miracle of Giving, 40 Hari Menjadi Kaya Raya, baik secara online maupun offline. Juga meluncurkan produk yang bernama “Nabung Investasi” yang berkaitan dengan proyek-proyeknya.

Jika The Power of Giving, The Miracle of Giving, mengajak orang bersedekah untuk membiayai proyek-proyek yang diinisiasinya, 40 Hari Menjadi Kaya Raya mengajak orang untuk memembenahi tauhid dan memperbaiki ibadah serta sedekahnya. Tahapannya, dari Tauhid di hari pertama sampai sedekah (di awal, di tengah, dan di hari ke-40).

Yusuf pun berkisah, sudah banyak orang yang berhasil dengan konsepnya itu. Pokokya, dengan melaksanakan 40 hari berdekat-dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, lewat shalat, puasa, dan dzikir-dzikir yang diajarkannya, semua masalah teratasi. Apapun masalahnya itu. Yang miskin jadi kaya, yang punya hutang bisa melunasi hutangnya, yang mau naik gaji naik gajinya, dan seterusnya. Lalu, muncullah testimoni disana-sini, sebagai pembenar.

Yang menjadi pertanyaan, apakah resep tersebut manjur untuk dirinya? Ini dia masalahnya. Menurut beberapa orang yang mencermati Yusuf Mansur, resep tersebut tidak manjur untuk Yusuf sendiri. “Buktinya, dia sendiri banyak masalah, dan selalu lari dari masalah,” begitu sebagian komentar dari orang-orang yang selama ini mengamati gerak-gerik Yusuf Mansur.

Untuk membuktikan pernyataan tersebut diatas, mari kita ikuti kisah bisnis Yusuf Mansur yang katanya selalu bermasalah tersebut.

Setelah “sukses” menjadi spiritualis dan motivator tentang sedekah, di Triwulan akhir tahun 2009, Yusuf mencoba terjun ke bisnis batu bara. Diundanglah jamaah dari kalangan berpunya, diajak makan siang atau makan malam di sebuah hotel bintang 5 di kawasan Jakarta Pusat. Mereka datang suami istri, perorangan, jamaah masjid, atas nama yayasan-yayasan yang bernaung di bawah institusi ke-islaman, dan seterusnya. Singkat ceritera, tersebutlah Jabal Nuur, nama bisnis batu bara itu, diambil dari nama gunung di Makkah, yang di dalamnya ada Goa Hiro’, tempat dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebelum diangkat menjadi Rasul, sering mengunjungi tempat tersebut.

Bisnis dibuka per bulan. Bulan pertama, Oktober 2009, bisnis batu bara ini sukses. Sukses di bulan pertama membuat investor semakin antusias. Keuntungan yang diperoleh sebesar 27% dibagi dua dengan pengelola, di tanam kebali, untuk bulan kedua. Bahkan, sebagian menambah penyertaan modal. Di bulan kedua ini masih untung, tapi sudah ada tanda-tanda kejanggalan yang menyebabkan beberapa orang mengundurkan diri di bulan ketiga dengan cara menarik investasi yang ditanam. Di bulan keempat, Januari 2010, bisnis batu bara bermasalah. Tidak ada bagi untung. Investasi tak bisa ditarik dengan berbagai alasan dan sebab.

Bisnis batu bara gagal. Tetapi para investor, yang menanam investasinya mulai dari Rp 500 juta sampai puluhan milyar, tak ada yang mau mengurusnya sampai ke pengadilan. Kasusnya pun seakan menguap begitu saja. Ada apa? Berbagai alasan dikemukakan. Tapi yang jelas, para investor dari kalangan berpunya ini nampaknya tak mau repot-repot untuk urusan yang beginian. Bisa jadi ada “persoalan” lain di balik investasinya tersebut.

Kegagalannya di batu bara tidak menyurutkan Yusuf berhenti. Tetapi malah menjadi-jadi. Tahun 2012 Yusuf keliling Indonesia untuk memasarkan patungan usaha. Nilainya antara Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per saham. Setelah berjalan satu tahun, patungan usaha ini disemprit oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada paruh Juli 2013. Yusuf menyalahi regulasi tentang penghimpunan dana masyarakat. Yusuf tak kalah akal, dibuatlah Koperasi Merah Pjutih untuk menampung dana yang terkumpul lewat patungan usaha, juga patungan aset yang nilai per sahamnya kisaran Rp 2 juta.

Dari poatungan usaha dan patungan aset, terkumpul dana Rp 24 milyar dari 1900 investor. Dana ini untuk membeli apartemen yang mangkrak dan disulap menjadi Hotel Siti di jalan M Thoha, Tangerang, Banten. Nasib dari patungan usaha dan patungan aset ini sampai hari ini juga tak jelas. Ada 400 investor yang kehilangan kontak, dan dari jumlah itu sebagian sedang mencari keadilan di ranah hukum. Di tahun yang sama Yusuf juga menghimpun dana untuk pembangunan Condotel Moya Vidi di Jogjakarta. Condotelnya gagal dibangun, uang investor sebesar Rp 1,558 milyar dari 600-an orang dialihkan untuk pembelian hotel Siti di Tangerang, itu. Ini pun sampai hari ini belum ada penyelesaiannya.

Rupanya, soal nabung menabung dan investasi ini Yusuf tak mengenal jera. Meski gagal di dalam negeri, ia malah Go Internasional dengan menjual “Nabung Tanah” di Hong Kong, tahun 2014. Yang disasar adalah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hong Kong. Investasi ini katanya untuk membangun hotel di kota Malang, Jawa Timur. Satu paket “Nabung Tanah” senilai Rp 2.400.000. Untuk bisa ikutan nabung, harus jadi anggota koperasi Merah Putih dengan uang pendaftaran Rp 200.000.

Sampai hari ini, nasib “Nabung Tanah” tidak pernah jelas. Ada beberapa investor yang berhasil menarik kembali uangnya setelah 5 tahun. Itu pun setelah berjuang dengan tingkat kelelahan yang cukup menguras emosi dan enerji. Tapi, sebagian besar investor, lagi-lagi memilih diam daripada berepot-repot berurusan dengan Yusuf Mansur.

Dari narasi-narasi diatas, pernyataan para pemerhati Yusuf bahwa resep tersebut tidak manjur untuk dirinya, terkonfirmasi.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur