Breaking News
Presiden, Wakil Presiden dan para menterinya yang baru dilantik (Foto : Tempo)

MENTERI TERPAPAR PAHAM PLURALISME AGAMA

Oleh: Tarmidzi Yusuf

Presiden, Wakil Presiden dan para menterinya yang baru dilantik (Foto : Tempo)

 

Presiden dan Wapres sudah dilantik. Menteri dan Wakil Menteri juga sudah dilantik. Kabinet bagai sebuah kampung di Surabaya, kampung warna-warni. Tidak hanya asal-usul menteri dan wakil menteri yang berbeda latar belakang politik, ideologi, keahlian dan agama.

Ada yang dari partai koalisi, ada pula dari partai non koalisi. Ada yang terang-terangan dari partai, ada pula yang setengah partai alias malu-malu dari partai karena kuota partai sudah terpenuhi. Demikian pula ideologi, ada yang seperti semangka luarnya hijau dalamnya merah. Pura-pura Islam untuk menarik simpati dan diterima oleh ummat Islam. Agama yang abu-abu atau hanya Islam KTP bin sekuler alias Islam pluralis bin Islam Nusantara.

Bagaimana mungkin seorang muslim memusuhi agamanya sendiri. Belum sepuluh 10 hari jadi menteri telah melarang istilah kafir disampaikan di masjid. Kafir itu bukan bahasa manusia tapi bahasa al-Quran. Gerah dengan bahasa kitab sucinya sendiri. Merasa hina dihadapan para penganut agama lain. Menganggap kata kafir sebagai intoleran dan radikal terhadap ummat beragama lain.

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.

Bila seorang menteri terpapar paham pluralisme agama pastilah menolak dan melarang penggunaan istilah kafir. Jangan-jangan nanti apabila ada penceramah dan masjid mengadakan pengajian dianggap terpapar paham radikal karena membahas selain Islam, kafir. Islam dihantam pluralisme agama oleh yang beragama Islam. Adu domba pola Belanda masih ampuh di era digital ini. Ummat Islam mayoritas rasa minoritas. Berkonspirasi menghancurkan Islam melalui propaganda radikalisme.

Mengutip muslim.or.id. Status kafir, adalah istilah Qurani yang telah disebut dalam banyak ayat, yang telah disepakati oleh seluruh ulama Islam di setiap generasi. Kafir adalah status untuk orang yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana mukmin adalah sebutan untuk orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam berkata;

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ منْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya. ‘Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?’ Tanya para sahabat. Beliau menjawab, ‘Lantas siapa lagi?!’” (HR. Muslim no. 2669)

Bedanya, orang Yahudi dulu men-tahrif kata hittoh (ampuni kami) menjadi hintoh (gandum). Kalau sebagian umat Islam sekarang mengubah kata kafir dengan warga negara (muwatinun) atau non muslim.

Karena tahrif adalah,

تغيير الكلم عن مواضعه في مبناه أو معناه حتى يظن أنه حق

“Mengubah makna sebuah teks dari makna yang sebenarnya, bisa dengan cara mengubah huruf yang menyusun kata atau mengubah maknanya, supaya diprasangkai sebagai kebenaran.” (Asbaab Al-Khoto’ fit Tafsir, hal. 498)

Dari pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa tahrif ada dua macam; sebagaimana diterangkan oleh para ulama :

Pertama, tahrif makna. Seperti memaknai istiwa’ dengan istaula (menguasai).

Kedua, tahrif huruf. Seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi, hittoh (ampuni kami) menjadi hintoh (gandum).

Lalu muncul di akhir zaman ini orang-orang yang melakukan tahrif dengan dua macamnya sekaligus, yaitu mengubah istilah “kafir” menjadi “warga negara (muwatinun)”, yang secara susunan huruf jelas berubah dan secara makna jelas jauh berbeda. Sebutan warga negara sebagai ganti “kafir” mengaburkan hakikat makna dari istilah kafir itu sendiri.

Padahal Allah Ta’ala sendiri yang secara tegas membagi :

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ فَمِنكُمۡ كَافِرٞ وَمِنكُم مُّؤۡمِنٞۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ

Allah Ta’ala lah yang telah menciptakan kalian, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu (juga) ada yang mukmin. Dan Allah Ta’ala senantiasa mengawasi apa yang kalian kerjakan.” (QS. At-Taghabun : 2)

Setiap agama memiliki istilah sendiri untuk menyebut orang yang menganut di luar agamanya. Seperti, “domba yang tersesat” yang digunakan oleh agama Kristen. Kita sebagai muslim tak merasa didiskriminasi dengan sebutan itu. Demikian pula mereka para penganut agama selain Islam tak merasa terdiskriminasi dengan sebutan kafir. Karena masing-masing telah meyakini dengan agama mereka anut. Justru mereka akan tersinggung saat disebut muslim padahal kafir, sebagaimana kita sebagai muslim tidak rela bila disebut tidak kafir oleh penganut Kristen, Hindu, Budha dll.

Namun yang aneh, justru yang mengaku Islam gerah dengan sebutan ini. Entah apa yang mereka perjuangkan, sementara orang-orang yang mereka perjuangkan tak merasa risih dengan status itu? Sayang, perjuangan kosong yang harus mengorbankan hal yang paling berharga yang dimiliki manusia, yaitu agama! Tak bisa dimaklumi oleh orang yang berakal, seorang menukar batu berlian dengan sampah yang menjijikkan.

Jika ada non muslim yang tersinggung dengan status kafir, tak salah jika kita curigai bahwa dia ragu dengan agama yang dia yakini. Karena jika seorang yakin dengan kepercayaan yang dia anut, tak peduli lagi dengan penilaian manusia.

Bisa jadi nalurinya yang tersinggung. Karena manusia mempunyai naluri untuk bertauhid. Seakan nalurinya membenarkan bahwa status itu memang benar melekat pada dirinya. Jika ini terjadi, sungguh ini adalah bukti bahwa Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan nurani manusia. Seperti yang dikabarkan Nabi shalallahu alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

Tak seorang anakpun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitroh. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu penganut Yahudi, Nashrani atau Majus. Sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (HR. Bukhori)

Setelah menyampaikan hadis di atas, sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu membacakan sebuah ayat,

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

Itulah fitroh Allah Ta’ala yang telah menciptakan manusia menurut fitroh itu.” (QS Ar-Rum: 30)

Hanya karena jabatan menteri, agama tergadai. Agama dianggap jadi penghalang untuk ambisi duniawi. Lantas dimana Tuhanmu ketika anda jadi menteri yang tidak dibawa mati?.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur