Breaking News
JMemakai celana/sarung di bawah mata kaki tidak termasuk isbal oleh sebagaian ulama. Karena illat hukumnya ada yaitu tidak sombong. (Foto : Abu Anas Aljironi)

SUFI MODERN (12)

Sufi dan Kontektualitas Pengamalan Islam

Oleh: Tabrani Sabirin, Lc, M.Ag.

JMemakai celana/sarung di bawah mata kaki tidak termasuk isbal oleh sebagaian ulama. Karena illat hukumnya ada yaitu tidak sombong. (Foto : Abu Anas Aljironi)

 

Sufi ada dalam realita kehidupan. Menjadi seorang entrepreneur Muslim juga berarti mengamalkan ajaran Islam dalam keseharian. Keberanian menjalankan ajaran Islam dalam dunia bisnis jelas suatu kemenangan strategis Islam.

Agar Islam dapat dijalankan dengan mudah dan tidak menjadi beban maka pengamalannya harus melihat kontektualitas.

Dalam dua tulisan sebelumnya sudah kita jelaskan basic dan kerangka berfikirnya. Sekarang kita lihat contoh lebih jauh yang lebih sesuai dengan kehidupan sekarang.

Adalah Menteri Agama 1983-1993, Prof. Dr. Munawir Sjadzali yang keras bersuara tentang perlunya kontektualisasi ajaran Islam agar sejalan dengan era moderen. Permasalahan yang diusung Pak Munawir adalah masalah persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan perempuan. Begitu juga masalah kepemimpinan perempuan, masalah perbudakan dan lain-lain.

Hanya saja pandangan Munawir ini ditolak oleh berbagai kalangan. Salah satu alasan penolakkan itu adalah karena illat hukum dan atau qiyas yang dipakai pak Munawir lebih banyak mengacu kepada Piagam Hak Asasi Manusia dan prinsip-prinsip politik yang berlaku di dunia Barat yang sekuler.

Menurut Dr. Ahmad Ar-Raysuni, ketua Ulama Internasional yang mengganti DR. Yusuf Qardhawi, “illat hukum atau qiyas harus berdasarkan Nash dari Al-Quran dan hadits”. Alasan hukum diluar yang disebut oleh Al-Quran dan hadits tentu tidak di benarkan. Misalnya ayat-ayat jihad. Pengamalan nya harus mengacu kepada fatwa ulama yang diterima oleh umat Islam.

Hal ini perlu ditegaskan agar pengusaha muslim tidak terjebak dalam jaringan kelompok radikal yang membahayakan masa depan bisnisnya. Ketika Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan ke khalifahan di daerah Iraq dan Syiria atau lebih dikenal dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Suriah) tidak sedikit anak-anak muda Islam yang bergabung dengan ISIS. Bahkan banyak juga bantuan dana yang diberikan oleh kelompok pengusaha muslim karena terpanggil untuk menegakkan khilafah lalu akhirnya berbuah penyesalan.

Tapi siapa yang mendengar pendapat ulama yang tunduk dan patuh kepada Allah maka akan selamat. Adalah fatwa dari ulama Haramain (ulama Makkah dan Madinah) yang menjelaskan bahwa ISIS itu bukan perjuangan Islam. Begitu juga Abu Bakar Baghdadi itu pasti bukan khalifah. Siapa yang ikut fatwa ulama akan selamat.

Di Timur Tengah, ulama yang didengar fatwanya adalah yang tergabung ke dalam lajnah daimah lil ulama Haramain. Yaitu lembaga Fatwa dari dua kota suci Makkah dan Madinah.

Hal yang sama dapat dilihat dalam gerakan demo di tanah air. Apakah karena mereka protes terhadap kecurangan Pilpres ataupun protes terhadap RUU KUHAP atau revisi RU KPK. Dalam kasus-kasus seperti ini sumbangan logistik pengusaha muslim sangat diharapkan. Karena kaum demonstran ini berusaha menyeret pengusaha untuk ikut cawe-cawe. Minimal ikut membantu logistik.

Sekali lagi para pengusaha yang menginginkan keselamatan harus mendengar fatwa ulama yang dikenal luas ilmunya, tawadhu hidupnya serta tidak terlibat dalam gerakkan politik.

Peran penting ulama dalam mengeluarkan fatwa sehubungan dengan ayat-ayat jihad adalah demi kemaslahatan dan keselamatan umat Islam. Dalam menafsirkan ayat-ayat jihad ulama adalah tempat bertanya yang paling selamat. Karena ulama sangat mengetahui alasan hukum atau pengecualian hukum sehingga dalam berfatwa tetap berlandaskan hukum.

Fatwa tentang pengamalan ayat-ayat jihad sangat penting mendengarkan fatwa ulama. Karena berjihad itu wajib bersama penguasa sebagai ulil amri umat Islam.

Penerapan ayat-ayat jihad secara individu akan mendatangkan fitnah baik kepada pelakunya maupun terhadap agama Islam itu sendiri.

Sisi lain yang lebih mudah memahami nilai kontektualitasnya adalah penerapan sunnah dalam berpakaian. Ada sebagian kelompok yang men-sunnahkan bahkan hampir mewajibkan untuk bercelana jingkrang dengan dasar hadits bahwa yang di bawah mata kaki itu adalah neraka.

Pendapat seperti ini ada juga yang menolak dengan alasan bahwa illat hadits itu juga sudah disebutkan oleh Nabi yaitu kesombongan. Sombong adalah penyebab seseorang masuk neraka.

Abu Bakar sering pakaiannya ngelemprang, karena badanya kurus. Lalu dia bertanya, “Apakah dia termasuk orang yang sombong”? Nabi menjawab, “Tidak ya Abu Bakar”.

Jadi memakai celana di bawah mata kaki tidak termasuk isbal oleh sebagaian ulama. Karena illat hukumnya ada yaitu tidak sombong.

Hal yang sama juga bisa kita telusuri dalam hadits yang lain, misalnya kalau berjumpa orang kafir maka dorong supaya mereka berjalan di pinggir. Kalau hadits ini diamalkan tanpa melihat sisi kontektualitasnya maka setiap hari akan terjadi keributan atas dasar Islam. Dapat dibayangkan apa jadinya kalu setiap naik busway anda akan mendorong orang kafir ke pinggir. Karena itu dalam berIslam harus pakai logika atau otak yang cerdas dan waras. Wallahu a’lam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur