Hukum Islam, Syariah sebuah ilustrasi (Foto : Islami)

SUFI MODERN (10)

Sufi dan Permasalahan Hukum

Oleh: Tabrani Sabirin. Lc. MAg.

Hukum Islam, Syariah sebuah ilustrasi (Foto : Islami)

Dalam menghadapi persoalan hidup, seseorang akan bertemu dengan permasalahan hukum. Apa hukumnya suatu perbuatan? Sementara di sisi lain ada perjuangan hidup yang wajib dicapai. Di sinilah setiap muslim harus berilmu. Ilmu apa? Hujjah Islam Abu Hamid Al-Ghazali membatasi ilmu yang wajib dipahami oleh setiap muslim itu ada tiga :

  1. Ilmu Tauhid. Agar setiap hamba mengetahui tentang Allah dan hak-hak Allah terhadap hamba serta kewajiban seorang hamba terhadap Allah.
  2. Ilmu Syariah. Agar setiap Muslim bisa membatasi diri dangan batasan hukum. Atau dikenal juga dengan ilmu halal-haram. Apakah suatu perbuatan atau makanan bisa dikategorikan halal atau tidak?
  3. Ilmu Ekonomi (علم الإقتصاد ). Agar seseorang bisa berusaha dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada tulisan sebelumnya sudah kita singgung sedikit tentang masalah hukum bernegara, yaitu hukum pajak. Sekarang akan kita bahas hukum Islam dalam memahami persoalan hidup sehari-hari. Dalam hal ini perlulah kiranya dikemukakan dua kaidah yang berlaku dalam hukum Islam, yaitu tentang perubahan hukum (taghayyur al-ahkam) dan pendekatan ta’abbudi – ta’aqquli dalam memahami pensyariatan hukum Islam.

Persoalan perubahan hukum dibicarakan oleh para ulama dalam kajian Qawaid Fiqhiyyah, kaidah-kaidah fiqh. Dalam Qawaid Fiqhiyyah ditegaskan bahwa hukum dapat berubah disebabkan perubahan situasi dan kondisi (taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinati wal zaman).

Situasi dan kondisi, atau menurut istilah lain disebut dengan “sebab”, yang dapat membawa perubahan hukum tersebut dirumuskan oleh para ulama dengan istilah:

  1. safar (sedang dalam perjalanan),
  2. al-maradh (sakit),
  3. al-ikrah (dipaksa, terpaksa),
  4. al-nisyan (lupa),
  5. al-jahl (tidak mengetahui hukum),
  6. al-‘usr wa ‘umumul balwa (kesulitan untuk menghindarkan sesuatu yang seharusnya dihindarkan),
  7. ‘adamul qudrah (ketidakmampuan).

Faktor-faktr yang menyebabkan perubahan hukum ini telah ditegaskan dalam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis.

Apabila suatu hukum ditetapkan untuk situasi dan kondisi tertentu maka ketika situasi dan kondisi itu berubah, hukum pun menjadi berubah. Dengan kata lain, setiap situasi mempunyai hukum sendiri.

Perubahan ini dapat berbentuk (1) isqat (pengguguran hukum), seperti gugurnya kewajiban haji bagi orang yang tidak mampu, (2) naqs (pengurangan hukum), seperti shalat qasar, (3) ibdal (penggantian hukum), seperti wudhu diganti dengan tayamum bagi orang sakit, (4) taqdim (penyegeraan hukum) seperti shalat jamak taqdim di Arafah ketika sedang haji dan mengeluarkan zakat sebelum haul, (5) ta’khir (penundaan hukum), seperti shalat jamak ta’khir di Muzdalifah ketika sedang haji dan pengunduran pelaksanaan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan, (6) tarkhis (pembolehan melakukan hal-hal yang dilarang), seperti memakan babi bagi orang yang sangat kelaparan dan minum khamr bagi orang yang tercekik makanan, atau (7) taghyir (perubahan bentuk pelaksanaan hukum), seperti melakukan shalat sambil berbaring bagi orang sakit yang tidak kuat berdiri atau duduk dan seperti shalat khauf.

Perubahan-perubahan hukum itu, yang disebut juga dengan takhfif atau keringanan, merupakan bentuk nyata dari salah satu prinsip hukum Islam, yaitu prinsip al-yusrdan ‘adamul haraj (kemudahan dan ketidaksempitan), dan sekaligus merupakan perwujudan prinsip utamanya, yaitu kemaslahatan. Prinsip ini telah ditegaskan dalam sejumlah ayat dan hadis antara lain sebagai berikut :

يريد الله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

“…Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj [22]: 78).

“Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas).

Kemudian dalam ilmu Ushul Fiqh terdapat suatu kaidah hukum yang cukup populer, yaitu “Al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman”. Kaidah ini menegaskan bahwa hukum itu berputar bersama dengan ‘illatnya, jika ada ‘illat maka ada hukum dan jika ‘illat itu tiada maka hukum pun menjadi tiada. Dengan demikian, ‘illat hukum adalah hal yang sangat berperan dan berpengaruh besar terhadap ada ataupun tiadanya sesuatu hukum. Suatu hukum yang bersendikan pada ‘illat dapat berubah apabila ‘illat itu berubah atau telah hilang.

Contoh yang sangat populer yang biasa dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini ialah mengenai hukum haramnya khamr (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur). Keharaman khamar ini dikarenakan adanya ‘illat, yaitu iskar, yakni unsur memabukkan yang terdapat dalam minuman tersebut. Apabila unsur itu hilang, khamar yang semula haram itu kemudian telah menjadi cuka hukumnya menjadi halal. Jelas di sini terdapat perubahan hukum yang disebabkan perubahan ‘illat hukum.

Persoalan “illat hukum” ini sebenarnya digunakan, antara lain, untuk memahami pensyariatan hukum. Apakah hukum yang disyariatkan itu mempunyai ‘illat sehingga berlakulah padanya kaidah di atas, yakni al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, ataukah tidak mempunyai ‘illat – atau tidak diketahui ‘illatnya – sehingga kaidah itupun tidak berlaku.

Bertitik tolak dari sini para ulama mengemukakan dua teori pendekatan dalam memahami setiap pensyariatan hukum Islam, ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi (irrasional), artinya hukum itu disyariatkan tanpa (perlu) diketahui ‘illatnya atau tidak bersandar pada ‘illat. Hukum semacam ini harus dilaksanakan apa adanya dan tidak mengenal perubahan. Sedang dimaksud dengan ta’aqquli (rasional) ialah bahwa hukum tersebut disyariatkan dengan bersendikan pada ‘illat atau dapat diketahui ‘illatnya. Hukum semacam ini hanya berlaku selama ‘illat itu ada sebagaimana dikemukakan di atas.

Dari kaedah dasar hukum Islam seperti ini menjadi muslim kaffah itu lebih mudah. Soal yang belum ada dalam bab fiqih misalnya zakat perusahaan dibagikan kepada karyawan atau digunakan untuk mbangun usaha dengan kepemilikan saham untuk karyawan. Begitu juga membangun koperasi karyawan dari uang zakat perusahaan.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur