Menurut Muhammad Qutb ada perbedaan yang signifikan antara umat Islam masa lalu dengan umat Islam masa sekarang dalam menghadapi krisis. Meskipun saat itu mereka dalam kondisi terpuruk, akan tetapi bagi mereka kebenaran Islam bukanlah sesuatu yang diperdebatkan. Mereka tidak ragu akidah Islam sebagaimana mereka tidak ragu juga bahwa Islam adalah sistem tata kelola kehidupan.
Meski mereka kalah pada perang Salib dan agresi Tartar, amun kekalahan tersebut tidak membuat mereka ragu akan Islam sebagai akidah dan sistem pemerintahan. Kekalahan mereka, tidak membuat mereka ingin mengkuti pola hidup, norma, nilai, falsafah hidup dan budaya musuh-musuh mereka. Mereka paham betul bahw Islam adalah harga mati, kebenran mutlak hanya ada pada Islam. Mereka tidak punya pikiran bahwa selain Islam dapat menjamin kebenaran akidah dan manhaj hidup yang lurus. Mereka juga tidak ragu bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah sebuah kewajiban. Karena berhukum dengan hukum Allah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Islam itu sendiri.
Oleh karena itu mereka merasa tidak inferior di hadapan musuh mereka, karena mereka yakin akan keimanan dan akidah mereka. Mereka sadar bahwa penyebab kekalahan mereka adalah jauhnya mereka dari tuntunan agama dan tenggelam dalam kehidupan duniawi.
Sedangkan hari ini, umat Islam sendiri ragu bahwa Islam mampu mengeluarkan mereka dari krisis. Mayoritas umat Islam seolah tidak percaya Islam akan membawa kebaikan dunia dan akhirat mereka, bahkan ada yang beranggapan bahwa Islam itu sumber perpecahan.
Ada Permasalahan tashowwur (cara pandang terhadap Islam) ada juga permasalahan moral dan prilaku yang tidak Islami, dua aspek ini membuat umat Islam hari ini seolah-olah berputar di kegelapan malam yang tak tahu kapan fajar kan terbit.
Tashowwur tentang konsep La Ilaha Illallah yang menjadi pondasi serta rukun utama dalam Islam dipahami hanya sebatas kalimat yang diucapkan di lisan. Konsekuensi dari kalimat tersebut tidak lagi memperhatikan. Kalimat yang seharusnya menjadikan amalan seseorang murni karena Allah, justru digunakan sebagai mantra dalam ritual-ritual kesyirikan.
Demikian juga pola pikirnya terhadap konsep ibadah. Pengertian ibadah hanya dipahami sebatas ritual ibadah mahdhah semata. Cukup sempit. Seolah-olah ibadah hanya berhenti dalam lingkup masjid saja. Sementara persoalan politik, sosial, ekonomi tidak dianggapnya lagi sebagai bagian dari ibadah.
Konsep Qadha dan Qadar juga sama. Akidah yang seharusnya mampu membangkitkan semangat juang orang mukmin. Melejitkan amal dan menempuh beragam cara untuk memenangkan pertempuran. Justru banyak dari kaum muslimin yang salah persepsi. Konsep Qadha dan Qadar dianggap sebagai ketatapan Allah yang sudah baku. Kita tidak bisa mengubahnya. Sehingga tidak perlu berjuang untuk memperbaiki keadaan. Padahal dalam persoalan ini, Allah Ta’ala selalu memerintahkan hambaNya untuk berusaha jika ingin memperbaiki keadaan dirinya. Setelah berusaha lalu beratawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal. Misalnya dalam Hadis Nabi SAW bersabda:
“Berobatlah kalian wahai hamba-hamba Allah, karena Allah Ta’ala tidak menciptakan penyakit melainkan juga menciptakan obatnya,…” (HR. Abu Daud)
Penyimpangan gaya berpikir berikutnya adalah masuknya gaya berpikir liberal di kalangan umat Islam. Mereka menganggap dunia tidak ada hubungannya dengan akhirat. Keduanya bertolak belakang dan tidak bisa disatukan. Sehingga siapa saja yang menginginkan dunia, tinggalkan akhirat. Demikian sebaliknya, siapa saja yang menginginkan akhirat maka tinggalkan dunia. Sehingga sistem kepemerintahan tidak perlu dicampuri dengan urusan agama. Hasilnya, lahirlah generasi umat yang sekuler. Mengaku islam tapi anti dengan syariat.
Bilamana Umat Harus Bangkit dari Krisis?
Imam Ibnu Jarir Thabari dalam kitab tafsirnya menyebutkan, “Suatu ketika sebagian sahabat datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengeluh kepada beliau tentang beberapa kejadian memilukan yang menimpa mereka dari pihak musuh, berupa rasa takut yang mencekam dan meneror jiwa mereka, serta hal-hal yang menyakitkan yang mereka jumpai karena siksaan dan pemaksaan.” (Tafsir At-Thabari: 19/209) keluhan tersebut direspon oleh Allah ta’ala dengan menurunkan ayat:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Janji Allah dalam ayat ini tidak terbatas hanya untuk Khulafaur Rasyidin radhiallahu’anhum saja, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan seluruh Muhajirin dan kaum muslimin yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini…” lalu beliau melanjutkan, “Maka pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad dan tidak bersifat khusus,” (Tafsir al-Qurthubi: 12/299)
Tafsir yang serupa juga diungkapkan oleh Imam As-Sa’di, “Janji Allah dalam ayat ini akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama kaum muslimin menegakkan iman dan amal shalih.” (Tafsir as-Sa’di hal: 573)
Lalu kapan kaum muslimin bisa bangkit dari krisis dan mampu mewujudkan janji kemenangan tersebut?
Masih berlanjut dengan penjelasan Muhammad Quthb. Ia mengungkapkan bahwa krisis kaum muslimin hari ini sulit dihilangkan kecuali umat ini kembali kepada ajaran Islam yang benar. Meluruskan akidahnya, memperbaiki akhlak dan muamalahnya serta senantiasa menempuh manhaj Rabbani dalam berjuang.
Karena itu Muhammad Quthb berargumen, “Kekuatan akidah merupakan instrumen utama yang mampu membangkitkan umat dari keterpurukan. Akidah yang murni dan bersih dari kesyirikan akan memunculkan sikap optimisme dalam berjuang. Menguatkan rasa tawakkal dan menjauhi diri dari segala macam syahwat yang menghancurkan. Ketika akidah ini mampu dijiwai kembali oleh umat islam, maka kemenangan itu pun akan datang. Saat pasukan salib menyerang al-Quds, Shalahudin berdiri di hadapan pasukannya lalu ia berseru, “Sungguh kalian telah hancur karena jauhnya kalian dari jalan Allah. Dan kalian tak akan mampu menang kecuali kembali kepada jalan Allah.”
Wallahu a’lam bissowab. []
Penulis: Fakhruddin / Kiblat
Editor: Arju
Sumber: http://news.berdakwah.net/2018/04/menganalisa-faktor-kemunduran-umat-islam.html?m=1