Breaking News
Ikan teri nasi (Foto : Bukalapak)

Menikmati Teri Nasi

Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen FHUniv. Djuanda Bogor)

 

Ikan teri nasi (Foto : Bukalapak)

 

Suatu hari, isteriku masak makanan istimewa: 1. Teri nasi campur kacang tanah. 2. Sayur adem, yaitu oyong dicampur bihun, dan 3. Sambel plus kerupuk. Saya sebut istimewa sebab jarang sekali kami makan ikan teri nasi. Padahal, ikan ini enak sekali apalagi dihidangkan dengan nasi panas. Dan lebih istimewa lagi sebab ternyata hukum ikan teri telah menjadi perdebatan para ahli fiqh sejak beberapa abad lalu.

Dasar perdebatannya adalah cara memahami hadits Rasulallah ﷺ berikut ini.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِي – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Dari Abu Hurairah radiallahu anhu, telah berkata, telah bertanya seseorang kepada Nabi ﷺ, ya Rasulallah, (suatu hari) kami melaut dan kami hanya membawa sedikit air, apabila kami berwudhu dengan air itu, kami akan merasakan haus, apakah kami berwudhu dengan air laut? Rasulallah ﷺ menjawab, “Laut itu suci airnya an halal bangkainya”.

Hadits di atas setidaknya memberikan dua pelajaran pada kita.

Pertama: Rasulallah ﷺ menyatakan kehalalan binatang laut yang biasa dikonsumsi manusia yang mati tanpa sempat “disembelih” seperti ikan, cumi-cumi dan udang. Khusus udang, sebagian besar ulama madzhab Hanafi menyatakan makruh hukumnya. Bahkan, Imam Kasani dari madzhab Hanafi melihatnya haram. Dalil mereka, sebab Nabi ﷺ dalam kesempatan lain mengatakan,

أحلت لنا ميتتان ودمان: الميتتان السمك والجراد، والدمان الكبد والطحا

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua (gumpalan) darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang…”

Pada hadits itu, tegas Rasulallah ﷺ menyebutkan kata “ikan dan belalang”. Sementara udang tak disebut Nabi sehingga udang tak mereka konsumsi. Karena itu, di negara bermadzhab Hanafi seperti Turki, Afghanistan dan Pakistan, udang tak dikonsumsi orang. Bahkan, waktu saya di Pakistan, hampir tak pernah melihat pedagang ikan yang menjual udang.

(Lebih jauh lihat buku بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع Karya Imam Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani)

Kedua: Para ulama mengatakan, mengapa Rasulallah ﷺ mempertegas ucapan “ميتته” (bangkainya)? Sebab hal itu untuk memperjelas perbedaan dengan “bangkai” dalam surah al-Maidah ayat ketiga dimana Allah SWT berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….” (QS al-Maidah: 3)

Kata “bangkai” pada surah al-Maidah di atas adalah bangkai hewan daratan seperti sapi, kambing, unta dan kerbau. Berbeda dengan bangkai lautan seperti ikan yang dipertegas oleh Rasulallah ﷺ kehalalannya.

Sampai di situ, para ulama fiqh sepakat kehalalan ikan laut yang sudah mati.

Lalu, timbul perbedaan pendapat tentang mengkonsumsi perut ikan. Apakah boleh mengkonsumsi perut ikan?.

Ulama mengatakan kotoran ikan adalah najis (tidak suci), termasuk kotoran ikan teri. Karena itu, dalam madzhab Hanafi dan Maliki, ikan-ikan kecil tidak boleh dikonsumsi sebab ada najis di perutnya yang tak bisa dibersihkan itu.

Karena itu pula, setahu saya, di negara-negara Timur Tengah tidak ada orang yang menjual ikan teri, apalagi mengkonsumsinya. Kalaupun Anda pernah menjumpai menu ikan teri saat umrah, misalnya, pasti yang menikmatinya jamaah umrah atau haji dari Indonesia. Di Timur Tengah, umumnya orang makan ikan besar seperti kerapu, marlin dan tuna yang telah di-pillet. Maklum juga, duit mereka banyak sih.

Sementara itu, madzhab Imam Syafii yang umumnya dianut oleh kita membolehkan memakan perut ikan, terutama ikan-ikan kecil. Hal itu karena kesulitan untuk membersihkannya.

Lebih lengkap saya kutip dari kitab: إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (‘Ianatut Thalibin) karya Imam Utsman bin Syata al-Bakri As-Syafii. Beliau berkata,

جواز اكل الصغير مع ما في جوفه لعسر تنقية ما فيه

“Diperbolehkan memakan ikan kecil bersama apa yang ada dalam perutnya karena kesulitan membersihkan perutnya itu.”

Jadi, fiqh madzhab Imam Syafii memang cocok untuk negara maritim seperti Indonesia yang banyak punya biota laut (dan rakyatnya sedikit miskin) seperti kita ini. Lagi pula, siapa sih yang bisa bersihkan kotoran ikan teri, apalagi teri nasi.

Wallahua’am bis showab.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur