Breaking News
KH. Maimoen Zubair atau Mbah Moen (Foto : DeviantArt)

Mengenang KH. Maimoen Zubair

Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)

 

KH. Maimoen Zubair atau Mbah Moen (Foto : DeviantArt)

 

Kabar itu datang dari Mekah. Selasa (6/8) pagi, KH Maimoen Zubair, 90 tahun, wafat. Keberadaannya di Mekah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Mbah Moen, begitu ia akrab disapa, adalah ulama nahdliyin yang dikenal cerdas, tegas, memegang prinsip, sekaligus santun.

Di usianya yang sudah 90 tahun, Mbah Moen adalah ulama nasional yang fatwa-fatwanya selalu ditunggu. Karena itu, ketika menjelang Pilpres lalu, semua pasangan calon presiden mendatangi, meminta nasihat dan sekaligus minta restunya. Semuanya diterima, diberi nasihat, dan didoakan.

Semua yang datang beliau terima, meskipun beda pilihan politiknya. Ia ramah dengan siapa saja, menerima tamu dari kalangan mana saja. Keluarga Bung Karno dan keluarga Pak Harto, sekadar memberi contoh, ketika datang dan bersilaturahim ke Sarang, Rembang, dimana beliau bermukim, selalu ia terima dengan ramah.

Mbah Moen adalah putra dari Kyai Zubair, seorang ulama besar di zamannya. Lahir di Karang Mangu Sarang 28 Oktober 1928. Kyai Zubair adalah murid dari Syaikh Sa’id Al-Yamani dan Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Ibunda Mbah Moen adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, juga seorang ulama yang sangat disegani karena ilmu dan pendiriannya.

Mbah Moen sejak dini sudah di didik dalam sistem pesantren. Ayahnya sendiri yang memberi bekal ilmu-ilmu keagamaan, termasuk mempelajari ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan balaghah. Itu sebabnya, tidaklah heran jika di usia masih remaja ia sudah menguasai kitab-kitab induk seperti Alfiyyah Ibnu Malik dan Rohabiyyah fil Faroid.

Setelah menguasai beberapa kitab babon yang biasa diajarkan di pesantren, Maimoen remaja dikirim ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di sini, ia berguru kepada KH. Abdul Manaf, KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuki. Di Lirboyo, Maimoen remaja menghabiskan waktu 5 tahun. Setelah itu, dia pergi ke tanah suci, berhaji dan menimba ilmu kepada ulama-ulama Haramain selama 2 tahun. Pulang ke tanah air, ia tetap berguru kepada ulama-ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu di bidangnya.

Setelah berlanglangbuana menimba ilmu, pada tahun 1965, Maimoen muda mulai merintis berdirinya pesantren yang terletak di sebelah rumahnya. Namanya Pesantren Al-Anwar, Sarang. Sampai sekarang pesantren An-Anwar tetap berdiri kokoh dan telah melahirkan banyak ulama dan cendekiawan.

Kyai Maimoen, dalam perjalanan hidupnya, juga meniti karir sebagai politikus. Pernah jadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun dan berlanjut sebagai anggota MPR Utusan Daerah Jateng selama 3 periode. Sejak awal, pilihan politiknya jatuh pada PPP.

Di era reformasi, ketika NU mendirikan PKB pada tahun 1998, Kyai Maimoen tidak tertarik untuk bergabung di dalamnya. Ia tetap mencintai PPP, bahkan, ketika PPP mengalami perpecahan, Kyai Maimoen adalah tokoh yang selalu menganjurkan untuk bersatu. Dalam berbagai kesempatan, Kyai Maimoen selalu mengedepankan persatuan. Dan ia selalu konsisten dengan apa yang diperjuangkannya.

Meski tidak bergabung dengan PKB, Kyai Maimoen adalah ulama yang didengar fatwa dan petuahnya, oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para petinggi PKB. Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, salah seorang yang selalu meminta nasihat-nasihat beliau.   Kyai Maimoen adalah sosok ulama yang negarawan. Ia yang selalu mengedepankan persatuan dalam keberagaman, wibawanya melintas batas, tidak hanya di kalangan Nahdliyin saja. Ia sosok ulama NKRI yang santun yang selalu enak untuk diajak dialog.

Ada kisah menarik yang berkaitan dengan “merayu” Kyai Maimoen untuk bergabung dengan institusinya. Di awal berdirinya ICMI tahun 1990-an misalnya. Waktu itu ada seorang tokoh dari Jakarta datang ke Sarang untuk meminta Kyai Maimoen bergabung di Ormas yang dipimpin oleh BJ. Habibie tersebut. Sang tokoh merayu Kyai Maimoen, “Pak Kyai ini orang yang mumpuni, cocok jika bergabung dengan ICMI.”

“Saya cukup di Nahdlatul Ulama saja, bergabung dengan rombongannya para pewaris nabi.” Jawab Kyai Maimoen.

“Apa di ICMI tidak bisa?” tanya si tokoh.

“Lha, kan tidak ada hadits Al-ICMI warotsatul anbiyaa’? Kalau Al-Ulamaa’ ada!” jawaban Kyai Maimoen membuat sang tokoh dari Jakarta tersebut kehabisan argumentasi.

Itulah Kyai Maimoen Zubair, punya prinsip, tegas, tapi juga santun.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur