Breaking News
KH. AR. Fachruddinn (Foto : istimewa)

Rumah di Surga Pak AR Fachrudin

Oleh: Syaefudin Simon

 

KH. AR. Fachruddinn (Foto : istimewa)

 

Di balik pria terhormat, ada wanita terhormat. Di balik pria saleh, ada wanita saleh. Di balik pria zuhud, ada wanita zuhud.

Bayangkan seandainya KH. Abdul Rozak Fachruddin (Pak AR) punya istri wanita seleb. Niscaya Pak AR akan pusing tujuh keliling karena permintaan istrinya pasti macam-macam. Ingin tas LV, dompet Hermes, sepatu Gucci, busana-busana branded model mutakhir, dan rumah real estate. Kebayang Pak AR akan pusing memikirkan keinginan istrinya. Karena pusing, Pak AR pun tidak akan tenang. Hidupnya kemrungsung dan sulit tidur. Mana mungkin Pak AR yang hidup hanya dari gaji pegawai negeri sipil (PNS) dengan tujuh anak mau memenuhi keinginan istrinya yang seleb itu?

Beruntung. Hal itu tak terjadi pada Pak AR. Allah sudah memasangkan Pak AR dengan wanita yang hebat, Siti Qomariyah. Bu AR – panggilan akrab Ibu Siti Qomariyah — adalah wanita yang mau hidup sangat sederhana asal suaminya memberi nafkah yang halal. Bahkan bila nafkah dari Pak AR tidak mencukupi, Bu AR pun siap membantu mengatasinya dengan berdagang apa saja yang bisa dilakukannya. Seperti dagang ikan di pasar, dagang hasil bumi, dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

 

Buku tentang Pak AR (Foto : geraibukubekasi)

 

Bu AR tidak pernah mengeluh apa pun yang dibawa Pak AR ke rumah untuk nafkah keluarganya. Bahkan ketika Pak AR pulang tak membawa apa pun, Bu AR tetap menyambutnya penuh rasa syukur karena Pak AR selamat dalam perjalanan hingga sampai ke rumah.

Bu AR selalu mendukung kegiatan dakwah Pak AR meski tak menghasilkan uang. Bu AR pun mendukung prinsip da’wah yang dilakukan Pak AR yang motivasinya karena Allah semata.

“Dakwah harus ikhlas dan tidak boleh menerima amplop,” kata Pak AR. Jika mau menerima amplop, takut menjadi kebiasaan, dan akhirnya mempengaruhi niat dakwah. Dan itu sangat berbahaya bagi seorang da’i yang berniat menyebarkan pesan-pesan Allah dengan ikhlas. Itulah sebabnya, meski laris diundang ceramah, Pak AR tetap miskin. Karena ceramahnya tak menghasilkan uang. Jangankan beli sedan Lamborghini atau Jeep Rubicon seperti penceramah seleb di Jakarta, beli sepeda motor pun, Pak AR tak mampu.

Beliau hanya hidup dari gaji pensiunan PNS. Jika beliau dipaksa menerima amplop dan kemudian mau menerimanya (karena tidak enak pada panitia), sesampainya di rumah amplop itu langsung diberikan kepada kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pak AR minta agar uang dari amplop itu dibagikan kepada karyawan-krayawan kecil di kantor PP yang hidupnya kekurangan.

Kami, anak-anak Asrama Yasma Putra, Masjid Syuhada, Yogya juga pernah kebagian amplop Pak AR. Suatu ketika Pak AR diundang ceramah di TVRI Yogya. Kami mengantarkan Pak AR ke stasiun TVRI Yogya di Jalan Magelang. Usai ceramah, Pak AR menerima bingkisan dan amplop. Dalam perjalanan pulang, bingkisan dan amplop itu diberikan kepada kami, anak-anak asrama Yasma. Pak AR tak menyisakan uang itu sedikit pun untuk dibawa pulang ke rumahnya.

Jika akan berdakwah di tempat yang memakan waktu lebih dari satu hari, Pak AR selalu memanggil Bu Qom dan anak-anaknya.

“Bapak mau pergi berdakwah di tempat yang jauh. Mungkin tiga hari tidak pulang. Bapak sudah menitipkan kalian kepada Allah. Insya Allah, Yang Maha Kuasa akan menjaga Ibu dan anak-anak,” pesan Pak AR setiap mau bepergian berdakwah untuk waktu yang lama.

Peristiwa seperti itu, pergi berdakwah berhari-hari, sudah biasa terjadi. Dan keluarga Pak AR pun memakluminya. Bu Qom pun tak pernah menanyakan apakah ada amplop atau bingkisan dari pengundang ceramah tadi. Padahal, tempat ceramah Pak AR kadang jauh sekali, di pelosok desa di Kabupaten Purworejo, Kebumen, bahkan Purwokerto. Semua itu dijalani Pak AR dengan ikhlas meski harus menggowes sepeda ontel puluhan kilometer. Keringat Pak AR pun membasahi seluruh tubuhnya. Panas terik atau hujan lebat bukan penghalang bagi Pak AR untuk berdakwah dan menyebarkan kesejukan Islam di mana saja.

Melihat kondisi seperti itulah, seorang saudagar kaya asal Yogya, Pak Prawiroyuwono kasihan kepada Pak AR. Pak Prawiroyuwono pun membelikan sepeda motor Yamaha 70 CC warna oranye untuk mempermudah mobilitas Pak AR dalam berdakwah. Sepeda motor itulah yang dipakai Pak AR untuk berdakwah dan keperluan sehari-hari sampai beliau wafat. Jadi, motor Yamaha 70 CC warna oranye yang sering dikira milik satu-satunya Pak AR itu, ternyata pemberian orang. Pemberian Pak Prawiroyuwono. Pak AR tak sanggup membeli motor itu.

Meski miskin, Pak AR tidak pernah tertarik dengan iming-iming harta. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, beliau sering diberi uang jutaan oleh para pejabat dan pengusaha. Orang-orang kaya itu nitip uang kepada Pak AR untuk disampaikan kepada Muhammadiyah. Jumlahnya kadang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Sampai di rumah, uang itu segera disampaikan kepada Muhammadiyah dan fakir miskin di sekitarnya tanpa sisa.

Sampai-sampai Mas Fauzi, putra bungsunya, pernah nyeletuk: “Talang kok ora teles” (talang kok tidak basah).

“Yo ben, wong iki talang plastik,” timpal Pak AR (Biar saja, wong ini talang plastik).

Pak AR memang talang “air rejeki” dari plastik kualitas premium. Bila talang tertimpa air, tidak basah. Juga tak mudah patah dan robek. Talang itu fungsinya mengalirkan air untuk orang-orang yang membutuhkannya.

Itulah Pak AR, memilih hidup miskin padahal punya kesempatan untuk hidup kaya. Pak AR tampaknya lebih suka menjadi talang. Talang yang mengalirkan air penyejuk dahaga ke segala penjuru untuk kemaslahatan umat.

Beliau pernah bercerita dalam kultum di rumahnya. “Di hati manusia hanya ada satu cinta. Cinta kepada Allah. Jika cinta kepada Allah ini tercemari oleh cinta kepada dunia, maka Allah akan cemburu,” kata Pak AR. Jika hamba mencintai Allah dan Allah mencintai hambaNya, maka Allah tak mau cinta hamba kepadaNya disaingi oleh cinta hamba kepada selain dirinya.

Dalam membangun mahligai rumah tangga dengan Pak AR, satu-satunya hal yang sangat disesali Bu Qom terhadap dirinya sendiri adalah ketika beliau menanyakan tentang perkembangan rumah yang dicicilnya.

“Pak, bagaimana perkembangan rumah kita?,” kata Bu Qom suatu ketika kepada Pak AR yang baru datang dari ceramah di luar kota.

Pak AR pun terdiam. Keriangan di wajahnya kelihatan pudar. “Bu, sabar ya. Soal rumah jangan dipikirkan lagi. Developernya lari. Tak usah disesali, Allah akan mengganti rumah kita dengan rumah yang lebih baik di sorga nanti,” jawab Pak AR lirih.

Bu Qom merasa menyesal mempertanyakan soal rumah tersebut. “Saya sangat menyesal mempertanyakan rumah itu kepada Pak AR. Padahal Pak AR masih capai, baru datang dari luar kota,” kata Bu Qom menyesali munculnya pertanyaan itu.

Dalam kondisi biasa, wajar bila seorang istri menanyakan rumah yang akan ditempatinya. Rumah adalah tempat berlabuh dan tempat berkumpulnya keluarga. Rumah adalah sebuah tempat untuk mereguk kebahagiaan keluarga. Pak AR dan Bu Qom pun menyadari hal seperti itu. Sebagai manusia biasa, wajar jika Pak AR dan Bu Qom ingin punya rumah sendiri. Bukan rumah kontrakan. Bukan rumah dinas. Bukan pula rumah pinjaman Muhamadiyah.Tapi sayang, harapan punya umah itu kandas karena developer yang membangun rumah keluarga Pak AR lari.

Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah Pak AR wafat, Bu Qom masih menceritakan peyesalannya soal pertanyaan rumah itu. Mungkin karena penyesalan tersebut, Bu Qom meneruskan pilihan hidup miskin tanpa memiliki rumah.

Setelah Pak AR wafat dan rumah Cik Ditiro 19A – pinjaman Muhammadiyah itu — diberikan kembali oleh keluarga Pak AR kepada perserikatan, organisasi “pemilik lembaga pendidikan terbanyak di dunia itu” ingin membalas jasa kepada keluarga Pak AR. Muhammadiyah – atas usulan Prof. Malik Fajar, mantan Rektor UMM Malang dan Menkbud RI – akan memberikan tanah seluas 1000 meter persegi dekat Universitas Muhammadiyah Yogya. Muhammadiyah juga akan membiayai pembangunan rumah keluarga Pak AR sebagai ungkapan terima kasih atas kepemimpinan beliau yang membesarkan Muhammadiyah selama 22 tahun.

Tapi, apa kata Bu AR?

“Tidak usahlah. Muhammadiyah lebih membutuhkan tanah itu ketimbang keluarga saya,” kata Bu AR.

Bu AR menolak dengan halus pemberian tanah dari Muhammadiyah tersebut. Dan alkhamdulillah, sampai Bu AR wafat, rumah Pak AR dan Bu Qom ternyata tidak ada di dunia ini. Rumahnya ada di sorga! Di balik suami zuhud, ada istri yang zuhud.[]

***

Catatan Redaksi,

 KH. Abdul Rozak Fachruddin (Pak AR) lahir di Pakualaman, Yogyakarta pada tanggal 14 Februari 1916. Ayahnya adalah K.H. Fachruddin adalah seorang lurah naib atau penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII, berasal dari Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman. Ia belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran. Setelah ayahnya tidak lagi menjadi penghulu dan usaha dagang batiknya juga jatuh, maka ia pulang ke Bleberan. Pada tahun 1925, ia pindah ke Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede dan setamat dari sana tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah belajar di Muallimin, dia pulang untuk belajar kepada beberapa kiai seperti K.H. Fachruddin, ayahnya sendiri pada tahun 1934 AR Fachruddin, dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) selama sepuluh tahun.[2] Dan ketika Jepang datang, ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah, memimpin dan melatih Hizbul Wathan, dan barulah ia pulang ke kampung halaman.

 

Masjid AR Fachruddin di Universitas Muhammadiyah Malang. Mengenang Pak AR (Foto : UMM)

 

Pada tahun 1944, ia masuk BKR Hizbullah selama setahun. Sepulangnya dari Palembang, berdakwah di Bleberan, menjadi pamong desa di Galur selama setahun. Selanjutnya, ia menjadi pegawai Departemen Agama.

Pada tahun 1950, ia pindah ke Kauman dan belajar kepada tokoh-tokoh awal Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Basyir Mahfudz, Badilah Zuber dan Ahmad Badawi.[1][3] Pengabdiannya bukan saja di lingkungan Muhammadiyah, tetapi juga di pemerintahan dan perguruan tinggi. Dia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama, Wates (1947). Tidak lama di jabatannya itu, dia ikut bergerilya melawan Belanda. Pada 1950-1959, ia menjadi pegawai di kantor Jawatan Agama wilayah Yogyakarta, lalu pindah ke Semarang, sambil merangkap dosen luar biasa bidang studi Islamologi di Unissula, FKIP Undip, dan Sekolah Tinggi Olahraga. Sedangkan di Muhammadiyah, dimulai sebagai pimpinan Pemuda Muhammadiyah (1938-1941). Ia menjadi pimpinan mulai di tingkat ranting, cabang, wilayah, hingga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan sebagai ketua PP Muhammadiyah dipegangnya pada 1968 setelah di-fait a ccompli menggantikan KH Faqih Usman, yang meninggal.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang, Fachruddin terpilih sebagai ketua. Hampir seperempat abad ia menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, sebelum digantikan oleh almarhum KH Azhar Basyir. Setelah dirawat di RS Islam Jakarta, Fachruddin tutup usia pada 17 Maret 1995, meninggalkan 7 putra dan putri.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur