Breaking News
Ustadz Abdus Shomad di Youtube (Foto : Darso Arief)

Pasar Bebas para Ustadz

Ustadz Abdus Shomad di Youtube (Foto : Darso Arief)

Di zaman old, orang yang mau ngaji harus mendatangi tempat pengajian. Para jamaah datang berbondong-bondong. Kiai ceramah. Hadirin duduk manis mendengarkan ceramah. Jamaah nggak bisa milih ustadz. Wong ustadznya sudah dipilih panitia. Ya sudah, para hadirin nurut saja panitia pengajian.

Zaman now beda. Orang nggak perlu datang ke tempat pengajian. Dengan HP ditangan, sampeyan bisa ngaji lewat Youtube. Ustadznya bisa milih. Mau pilih ustadz NU ada. Ustadz Muhammadiyah ada. Ustadz Muhammadinu ada (gabungan NU dan Muhammadiyah). Ustadz FPI, HTI dan “Wahabi” ada. Ustadz liberal yang bikin orang ragu-ragu terhadap ajaran agamanya juga ada. Pokoke segala macam ustadz dengan segala potongan dan gaya ada.

Pilihan ustadznya banyak. Youtube menawarkan fenomena baru dunia pengajian: “pasar bebas ustadz”. Benar-benar free market. Sampeyan bisa milih sesuai dengan selera Anda.

Dalam soal pengajian, saya tidak “Ormas minded”. Lha wong saya itu orang Muhammadiyah. Tapi kalau ngaji Youtube ustadz pilihan saya lintas ormas. Saya hobi ngaji Gus Baha yang orang NU di Youtube. Orangnya sangat cerdas. Referensinya luas. Fikih menguasai. Tasawuf paham. Kalau lagi stres saya ngaji Kiai Anwar Zahid. NU juga. Geeeeer. Lucu. Strespun minggat.

Kalau ingin memahami isi Quran, saya nonton Ustadz Adi Hidayat. Otaknya encer sekali. Mirip google. Penjelasan runtut. Jelas. Sistematis. Kalau ingin bener-bener tadzabur kitab suci ya cocoknya ustadz Muhammadiyah ini.

Ustadz Felix Siauw cocok untuk mereka yg semangatnya lagi letoy. Sistematis. Ideologis. Motivasi dosis tinggi.

Kalau ingin pendekatan “nyunnah”, simak ustadz Firanda Andirja, Khalid Basalamah, Syafieq Reza dkk. ” Wahabi yoben!

Kalau ingin ustadz yang retorikanya mantap, humoris sekaligus isinya bernas, ya Ustadz Abdul Shomad lah.

Saya juga hobi ngaji Youtube dari ustadz Amerika: Nouman Ali Khan. Isu-isu kontemporer dikaitkan dengan pesan-pesan Quran. Luar biasa. Bahasa Inggrisnya juga enak. Mudah dipahami. “Ledis en jentelmen, aiyem veri veri hepi, plis inves tu mai kantri”.

Jangan lupa, favorit saya Cak Nun. Nggak tau, menurut saya, dia itu legenda. Jenius. Original. Genuine. Idealis dan….nggak bisa diiming-imingi kekuasaan.

Youtube bikin “disruptive” dunia dakwah. Para jamaah sekarang lebih milih ngaji lewat youtube. Kiai dan ustadz “konventional” berkurang jamaahnya. Berkurang pengaruhnya.

Lucunya, di era dakwah virtual, masih ada orang yang hobinya membubarkan pengajian. Mungkin orang-orang itu masih hidup di zaman Purba “Megalodon Dobolobos” (Pak Ndul, 2019). Pengajian konvensional mungkin bisa dibubarkan. Namun si ustadz bisa ceramah lewat youtube. Jangkauannya lebih masif. Mau mbubarin Youtube? Owalah dobolobos-dobolobos (Ibid, 2019).

Tak usah heran, karena era disrupsi yang dibawa Youtube dalam dunia dakwah, Ustadz Felix Siauw lebih banyak disimak oleh kalangan mahasiswa daripada Pak Quraish Shihab dan Gus Mus. Bukan karena keilmuan Felix lebih otoritatif. Ada banyak faktor yang bikin jamaah suka pada ustadz tertentu.

Saya pernah bikin “penelitian kecil-kecilan” pada anak-anak muda milenial tetangga desa dan mahasiswa kos-kosan. Teknik pengambilan data: obrolan angkringan sego kucing. Ternyata, mereka suka ustadz yang merdeka dalam berpikir. Mandiri. Tak bisa “dibeli” kekuasaan. Kritis pada kondisi status quo yang nggak adil. Berani menyuarakan kebenaran. Mereka menyebutnya ulama organik. Bukan “ulama istana”.

Ustadz yang celupan (sibghah) keislamannya jelas juga disukai. Nggak kecampuran micin. Micin liberal. PD bicara tentang nilai agama. Jelas. Tegas.

Responden angkringan saya juga bilang mereka suka ustadz yang “walk the talk”. Satunya kata dalam perbuatan. Uswatun hasanah. Memberi contoh kebaikan. Contoh, Ustadz Adi Hidayat, di sela-sela ceramah memberi hadiah. Hadiah ini tidak diberikan pada jamaah yang bisa menyebutkan 3 nama ikan. Tapi diberikan pada yang sudah hafal Quran. Dan hadiahnya bukan hanya sepeda, tapi beasiswa melanjutkan kuliah dan biaya berangkat umroh.

Wis ngene wae.

 

(Artikel ini diterima redaksi di WAG tanpa menyebut nama dan sumber tulisan)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur